Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Gosip

“Tumben tadi pulang sama Husin, Nay? Bukannya pas berangkat sama Yuni?” sapa Nurul, tetangga yang rumahnya tepat di sisi kiri rumah Kak Yuni saat aku baru melangkah memasuki warung.

“Kak Yuni ada urusan mendadak, Mbak. Jadi, aku disuruh pulang duluan dianterin Husin biar gak cape nunggu,” sahutku yang terpaksa menghentikan langkah. Rasanya, tak sopan saja jika sedang diajak bicara tapi aku berlalu begitu saja.

“Oh. Dikirain tadi abis janjian. Yuni sama Anto, kamu sama Husin,” kekeh bibir berpoles lipstik keunguan yang benar-benar tak cocok dengan warna kulit di wajahnya itu. Aku menghela napas panjang, sepertinya kabar perselingkuhan Kak Yuni begitu cepat tersebar ....

“Enggak, Mbak. Permisi,” pamitku yang segera melepas sandal saat memasuki pintu. Rumah kecil yang ada tak jauh dari SMA Satu ini satu-satunya warung yang menjual makanan ringan dan keperluan sehari-hari terdekat dari rumah.

Etalase di sisi kanan ruang yang sekaligus ruang tengah rumah dipenuhi susunan mie instan dan bumbu-bumbu dapur lainnya. Di atasnya, tali yang membentang menjadi tempat tersusunnya sampo-sampo dan sabun sachet. Aku yang mencari makanan ringan segera berbelok ke sisi kiri di mana benda yang kucari tersedia.

Setelah mengambil beberapa bungkus, tak lupa minuman dingin yang tersedia pada kulkas di samping kiri pintu aku segera menyerahkannya pada Bu Irau untuk dijumlahkan. Posisi Nurul yang duduk pada kursi di sisi kiri halaman berseberangan dengan Laila, tentu saja membuat percakapan mereka dapat dicuri oleh indra pendengaran.

“Tadi pagi aku liat Nayla baru datang dari pantai sama si Makmur. Apalagi kata Yuni kalau Nayla gak ada sejak dia bangun, bisa jadi mereka berduaan dari malam,” seru Nurul.

“Masa?” sahut Laila dengan raut wajah yang kulihat berubah antusias.

“Kira-kira, mereka ngapain di pantai malam-malam berduaan, ya?”

Aku sedikit tersentak saat gerak mata Nurul terarah tepat padaku. Segera kupalingkan wajah dan berpura-pura tak melihat apalagi mendengarkan.

“Aku gak nyangka deh kalau Nayla diam-diam ....” Belum selesai aku mencuri dengar ucapan Laila, Bu Irau yang telah membungkus belanjaan dan menghitungnya sudah memanggil.

Kuserahkan uang sebesar dua vaht untuk membayar sekaligus menerima kantong plastik itu. Meski berat, langkah yang terayun mau tak mau harus melewati dua wanita di sana. Saat tepat di depan mereka, tak kudengar lagi suara apa pun. Hanya sebuah senyum sekaligus tatapan aneh yang seolah tengah diselimuti banyak prasangka bergerak mengikutiku.

Baru meninggalkan halaman Bu Irau, Kak Makmur yang sebelumnya telah berjanji menemani sudah tampak memarkirkan sepeda motor di halaman.

“Eh, bukannya harusnya Makmur belum pulang kerja, ya?” Aku yang belum jauh dari mereka lagi-lagi mendengar ucapan Laila.

“Tadi kayanya Nayla ngomong berdua Makmur, apa jangan-jangan mereka janjian mumpung gak ada siapa-siapa di rumah?” Suara milik Nurul dengan semangat menanggapi ucapan Laila.

Aku menunduk menatap kedua kaki yang sedang menjejaki jalan tak beraspal. Sesekali, menendang kerikil kecil yang tampak di hadapan. Apa aku sudah mengambil keputusan yang salah?

Setelah diantarkan Husni pulang, Kak Makmur yang kebetulan datang dan ingin mengambil barang yang ketinggalan menyapaku. Tanpa berpikir panjang, aku yang takut sendirian karena Kak Ijul di belakang nekat memintanya untuk menemani. Mendengar permintaanku, tak diduga Kak Makmur segera menyetujuinya.

Dengan beralasan sakit, Kak Makmur mengambil jam pulang lebih awal dari tempat kerjanya hanya untuk menemaniku di rumah. Kupikir, dengan keberadaannya kondisi akan lebih aman karena Kak Ijul takkan berani datang.

“Abis dari mana, Nay?” tanya Kak Makmur menyadarkanku kalau sudah sampai tepat di depan halaman. Gontai aku berbelok menghampiri pria berseragam yang masih duduk pada sepeda motornya itu.

“Cari cemilan, Kak.”

“Kakak ganti baju dulu, ya. Kamu masuk aja dulu, nanti Kakak samperin,” ujar pria yang bergerak bangkit itu.

“A-aku tunggu di pelatar aja, Kak. Gak enak berduaan di rumah,” tolakku.

Kak Makmur yang sempat mengurungkan geraknya menoleh dan menatapku. Selepas mengulas senyum, dia mengangguk dan kembali berjalan menuju rumah. Aku turut melangkah di belakangnya meski berhenti saat sampai di pelatar, segera memilih duduk bersandar di sisi kanan pelatar yang hanya bersekat dinding kayu dengan bagian rumah Kak Makmur di baliknya.

Sejenak, kutengadahkan wajah menatap langit biru yang cerah tanpa sedikit pun awan. Di dalam kepala tengah ribut dengan banyak hal.

“Nayla!” panggil Kak Makmur yang sudah tepat di hadapan dan menggerakkan tangannya di depan wajah.

“Hm, iya, Kak?”

Pria yang sudah memakai kaos lengan pendek serta training biru malam panjang itu hanya menggeleng dan beranjak duduk di sisi kiri.

“Kakak gak masalah izin pulang?” tanyaku kembali memastikan.

“Udah. Jangan dipikirkan,” tuturnya.

“Maaf kalau aku ngerepotin, Kak. Aku ... a-aku cuma sering kepikiran mau mati aja kalau lagi sendirian,” ungkapku sebagai alasan meski kalimat itu sebenarnya juga bukanlah kebohongan.

“Sepertinya akan lebih merepotkan kalau kamu benar-benar bunuh diri saat sendirian,” keluh Kak Makmur dengan nada bicara rendah, terkesan lebih seperti tengah bercanda.

Aku hanya memberikan tawa kecil sebagai respon. Tangan bergerak meraih botol minuman dingin dari kantong plastik. Saat telah berada di genggaman, aku yang hendak membuka tutupnya sejenak terhenti karena Kak Ijul yang berjalan dari samping rumah kemudian berhenti dan menyapa.

“Udah pulang?” Pria yang hanya memakai celana boxer pendek dan kaos tanpa lengan itu menyalakan rokok, berdiri tak jauh dari Kak Makmur. Meski begitu pandangannya tengah terarah padaku.

Tak berani menatapnya membuatku hanya menunduk dan menyibukkan diri membuka botol. Hingga saat menenggak isinya, pandanganku hanya bergerak di sekitaran sisi rumah lain agar tak berserobok dengan matanya.

Dua pria yang usianya terbilang sebaya itu berbincang-bincang ringan disertai tawa kecil. Setiap mendengar tawa yang dilontarkan Kak Ijul, hatiku kembali diliputi nyeri luar biasa seakan tersayat sedikit demi sedikit. Kebencian yang bergemuruh di dada tengah meledak-ledak hebat meski pada kenyataannya aku hanya bisa berdiam diri.

Beberapa kali aku mengubah posisi duduk dari bersila hingga mengarahkan kedua kaki melipat ke samping kiri. Tangan yang kembali gemetar dan dibasahi keringat dingin hanya bisa memilin ujung baju. Tarikan napas semakin lama semakin terasa berat. Panas di dada semakin mendorong air hingga menumpuk di sudut mata. Tuhan, aku tak ingin menangis sekarang.

Sekitar sepuluh menit, Kak Ijul akhirnya menjauh dengan alasan yang lagi-lagi sama; ingin membeli rokok ke warung. Meski hanya sepuluh menit, rotasi waktu dalam hidupku yang serasa berhenti membuat semuanya seakan begitu lama.

“Nay, kamu keliatannya gelisah. Kenapa?” tanya Kak Makmur yang seketika membuatku tahu kalau sikapku sejak tadi disadari olehnya.

Aku menarik napas panjang sebelum menarik garis senyum yang kembali memecahkan kaca-kaca di pelupuk mata agar tak menjatuhkan tetesnya. Menggelengkan kepala sebagai satu-satunya jawaban karena bibir yang tak bisa lagi mengeluarkan sepatah kata.

“Saat nginap di belakang kemarin, apa yang terjadi antara kamu sama Ijul, Nay?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel