Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Liputan Perdana

Bab 3 Liputan Perdana

Rain tiba setengah jam lebih awal dari yang sudah dijadwalkan. Ia mengatur kameranya untuk berada di barisan paling depan. Ia harus mengambil posisi yang strategis untuk bisa melihat salah satu anggota keluarga penguasa itu dari dekat. Hari ini, ia akan memulai tujuan awalnya datang ke Indonesia.

Satu persatu rekan wartawan dari media lain mulai berdatangan. Tidak hanya surat kabar tetapi juga tim radio dan televisi yang termasuk dalam tipe media mainstream mau pun media dalam jaringan atau dunia maya, termasuk pembawa berita internasional yang memang mengolah berita tentang Indonesia.

Lima menit sebelum jam sembilan pagi, semua awak media sudah siap di tempat masing-masing dengan segala peralatannya termasuk Rain. Sementara di balik tembok, para ajudan dan penasihat presiden sudah siap dengan segala skenario yang telah mereka rancang. Penyusun pidato presiden sudah menyiapkan teks dan poin-poin yang harus disampaikan oleh sang Penguasa yang sebenarnya sudah dibaca oleh presiden sejak semalam.

Semua data yang diperlukan untuk mendukung argumentasinya dalam pidato nanti juga ada di dalam dokumen yang diserahkan oleh ajudan presiden. Ibu negara setia mendampingi namun dalam hal ini memastikan bahwa presiden tampil prima dan tidak terlihat kusut di depan kamera.

Putra presiden tidak ada ditempat karena dia sedang sibuk dengan teman-temannya.

Wisnu memang tidak terlalu terlibat dalam politik mengikuti jejak ayahnya. Pemuda lajang itu lebih fokus pada bisnis keluarga. Ia sama sekali tidak tertarik dengan politik.

Tepat pukul sembilan, Presiden keluar didampingi oleh para paspampres dan ajudannya. Rain menatap pria itu dari balik lensa kameranya. Gemuruh dalam dadanya menggelegak memendam rasa marah, membuatnya tak berkedip saat melihat Prabu menyampaikan pidato klarifikasinya.

Dua puluh menit setelah pidatonya, diberikan kesempatan kepada para wartawan untuk mengajukan pertanyaan. Rain tidak ingin identitasnya diketahui namun demi pamornya di kalangan awak media, ia tidak mau dirinya terlupakan sehingga ia menjadi salah satu yang mengacungkan jari untuk mengajukan pertanyaan.

“Bapak Presiden yang terhormat, saya dari Capital Post, apabila dalam 100 hari gelombang kedua Bapak belum bisa memenuhi janji Bapak, apa yang akan Bapak lakukan?”

Presiden menatap Rain lalu menjawab, “Negara ini sangat luas dan beragam, juga unik. Saya tahu kalau butuh waktu untuk mengatasi setiap permasalahan bangsa yang ada. Walaupun tidak semua indikator pembangunan yang tercetus belum bisa tercapai dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan, setidaknya saya dan seluruh jajaran kabinet akan mempertanggungjawabkan setiap kemajuan yang telah berhasil kami raih. Kami membutuhkan para kawan media yang gesit dan muda seperti kalian semua untuk mendukung kami menyuarakan sekecil apapun kemajuan yang telah kami capai.”

Penanya lainnya segera menyambar begitu presiden menunjuk. “Bapak Presiden, saya dari televisi Madika. Tantangan terberat apa dalam enam bulan pertama tugas kenegaraan yang menghambat pencapaian dari indikator yang sudah ditetapkan?”

Presiden mengangguk sekali lalu berkata, “Jujur kami harus akui bahwa butuh waktu untuk menelaah setiap peraturan yang telah ditetapkan selama ini. Kami berpikir untuk melakukan perubahan namun tidak boleh keluar dari aturan yang telah ditetapkan. Seperti yang kita semua telah ketahui kalau proses perubahan undang-undang juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Untuk itu kami ingin pastikan setiap standar operasional yang sedang berlangsung menjadi lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran. Tentunya semua perlu didukung dengan data yang akurat.”

Penanya ketiga juga bersuara. “Bapak Presiden yang terhormat, bagaimana Anda membagi waktu antara tugas kenegaraan dengan keluarga? Apakah itu menjadi salah satu penghalang untuk mencapai semua indikator yang sudah ditetapkan?”

Pertanyaan itu membuat Presiden dan beberapa orang dalam ruangan itu tersenyum. “Saya beruntung karena keluarga saya sangat mendukung saya apa pun jabatan saya. Semua waktu saya sekarang didedikasikan untuk negara dan mereka memahami hal itu. Keluarga tidak pernah menjadi penghalang saya untuk menunaikan kewajiban saya sebagai pelayan masyarakat,” ucap Prabu setelah memberikan senyum simpul sekilas.

Masih ada banyak wartawan yang ingin bertanya tetapi waktu sudah selesai sehingga konferensi pers itu dihentikan. Walaupun kecewa tapi para awak media akhirnya mengemas semua peralatan mereka dan meninggalkan istana negara termasuk Rain.

Rain memperlambat gerakannya untuk bisa mendeteksi setidaknya anggota keluarga yang bisa ia amati sebelum meninggalkan tempat itu, mengingat ini adalah pertama kalinya ia menapakkan kaki di rumah keluarga penguasa tersebut. Sampai Rain meninggalkan ruang oranye (ruangan yang digunakan untuk konferensi pers) ia tidak melihat anggota keluarga presiden lainnya.

Rain mengikuti reporter lain dan kembali ke ruangan pers Istana Negara. Menyusun draf berita untuk media online korannya. Selama menulis berita yang baru saja diliputnya, Rain sangat subyektif saat ia membaca kembali rancangan awal beritanya.

Ia akhirnya mengulang kembali tulisannya untuk lebih dalam mengritisi kinerja Presiden tetapi juga tetap menunjukkan rasa hormat pada pimpinan Negara Indonesia tersebut. Sejujurnya ia sangat ingin menuangkan semua kebenciannya pada bagian yang membahas tentang dukungan keluarga terhadap kinerja daripada presiden.

Rain menghabiskan waktu setengah hari waktu kerjanya untuk membuat kurang lebih 4000 kata untuk berita halaman pertama. Hari yang paling melelahkan untuk Rain selama ia menjalankan profesinya. Semuanya karena ia harus berdebat dengan dirinya sendiri pada saat ia mengeluarkan setiap kalimat yang ia beritakan.

Untuk melengkapi beritanya di koran besok, Rain mencari narasumber lain guna dimintai pendapat tentang isi konferensi pers. Mewawancara beberapa orang di tempat yang berbeda dan kembali ke kantor menjelang jam sepuluh malam, dua jam sebelum deadline.

Setengah menguap ia meninggalkan kantor setelah semua beritanya dikirim ke redaktur dan atasannya itu mengizinkan Rain pulang. Gadis itu merebahkan tubuh tanpa membersihkan diri di kasur. “Lelah,” keluhnya seraya bangkit dan berjalan menuju dapur. Perutnya bernyanyi minta diisi dan Rain lupa ia belum belanja bahan makanan apapun sejak kemarin hanya karena mempersiapkan diri untuk liputan hari ini.

Mendecih melihat kulkasnya yang kosong, hanya ada beberapa butir telur dan sebuah apel setengah kering di meja. Gadis itu melongok penyimpanan bahan makanannya yang lain dan mendapatkan hasil yang sama. “Aaah Rain! Kau bisa kelaparan kalau begini caranya,” mengutuk dirinya sendiri, gadis itu meletakkan kepalanya di meja makan. “Laaapaar,” erangnya kesal.

Setelah menyeduh coklat panas demi menenangkan cacing dalam perutnya yang berteriak-teriak, Rain membersihkan diri dan kembali ke tempat tidur. Hal pertama yang ia lakukan adalah berjalan ke kantor dan membaca beritanya semalam. Ia berharap tidak banyak yang disunting oleh redakturnya.

Dan gadis itu tersenyum puas karena 80% dari apa yang dia tulis masih tetap diberitakan.

Ia berharap hasil kerjanya cukup memuaskan dan ia tetap diperhitungkan untuk meliput berita-berita yang berkaitan dengan Istana Negara. Rain membawa korannya ke pantri dan sarapan di sana sambil berdiri. Membolak balik koran untuk menemukan berita menarik baginya yang mungkin bisa ia jadikan bahan liputan.

Rain kembali ke meja kerjanya dengan membawa secangkir kopi susu. Begitu ia duduk redaktur desk halaman satu mendekatinya dan menyampaikan pujian, “Kamu hebat Rain. Banyak yang memuji berita yang kamu tulis karena mengulas berbagai sudut pandang. Siapkan dirimu untuk liputan-liputan berikut yang terkait dengan Istana. Kami mengandalkanmu di sini.”

“Terima kasih Pak,” gadis itu bergegas berdiri dan sedikit mengangguk pada pria di sampingnya. “Senang jika tulisan saya dihargai dan dibaca oleh banyak orang,” sahutnya dengan wajah seperti biasa, datar dan tanpa senyum.

“Kita lihat nanti, kalau ada permintaan tambahan eksemplar dari jumlah normal cetakan yang kita keluarkan setiap hari maka kamu telah memberikan kontribusi besar untuk kantor kita ini.”

“Bukankah kita bisa melihat dari komentar yang disampaikan para pembaca online kita?” tanya Rain.

“Ya, kamu benar. Dari situ kita bisa tahu bagian mana yang mereka tidak sukai dan setidaknya kita bisa belajar dan mendapatkan masukan untuk perbaikan penulisan beritamu berikutnya.”

Sepeninggal atasannya, Rain tersenyum bangga dan senang karena ia berhasil membuktikan bahwa dia sanggup menjalankan pekerjaannya saat ini. Rain membaca berita dari redaksi lainnya untuk mempelajari informasi yang tidak sempat ia tangkap dalam penulisan beritanya. Dia melihat bahwa hampir semua apa yang ia sampaikan disampaikan oleh media yang lainnya tetapi ia masih bisa mengupasnya dengan lebih tajam dalam beritanya.

Ia sadar bahwa kemampuannya untuk menghubungkan pengalaman Prabu sebagai seorang pengusaha dan keberhasilannya selama enam bulan memimpin negara merupakan sudut pandang yang berbeda yang tidak disampaikan oleh media yang lain. Rain bersyukur rasa ingin tahunya telah membantunya untuk menuliskan berita pertamanya di halaman pertama. Ia memang telah membuat jejak positif yang akan membawanya pada kejutan yang menanti, untuk misi berikut yang terkait dengan Istana Negara.

Lagi-lagi secuil senyum penuh kebencian menguar dari wajah Rain.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel