Bab 20 Keraguan
Bab 20 Keraguan
Saputra tengah berpikir segala kemungkinan tentang Zio, setelah semalam Naya memberitahu dirinya tentang lamaran, Zio. Dan juga tentang masa lalu Zio, hati Saputra semakin ragu dan gelisah.
"Nay, apa yang terjadi antara kalian malam ini? Kenapa kamu terlihat begitu senang?" tanya Saputra setelah mereka memasuki rumahnya, tangan Saputra merangkul pundak putrinya sambil menggoda.
"Ayah, aku memang sangat bahagia malam ini, lihatlah!" Naya memperlihatkan cincin di jari manisnya dengan bangga.
"Apa artinya ini?" Kening Saputra berkerut.
"Zio melamarku, Yah," jawab Naya malu.
"Apa kamu menerimanya?"
"Tentu saja! Tapi tunggu, jangan bilang Ayah masih akan berpikir tentang hubungan kami, ya," kata Naya sedikit curiga dengan pertanyaan Saputra, karena dia sendiri tahu betul bagaimana perasaannya pada Zio selama ini.
"Ayah hanya bertanya. Kenapa kamu terlihat begitu curiga?" kata Saputra sambil tertawa.
"Ayah memang patut dicurigai, apalagi tadi saat bertemu Zio tiba-tiba seperti terkejut karena sesuatu, apa ada yang Ayah sembunyikan?" tanya Naya sambil memiringkan kepalanya menatap Saputra.
Saputra sedikit terkejut dengan pertanyaan Naya. "Apa yang bisa Ayah sembunyikan dari putriku yang satu ini? Bukankah kamu yang paling pandai mengerti Ayah?" jawab Saputra berusaha santai.
"Ayah akan merestui pernikahan kami, kan?"
"Selama kamu bahagia, apa pun pilihan kamu, Ayah akan selalu mendukungmu," kata Saputra lembut.
"Terima kasih, Ayah memang yang terbaik." Naya memeluk Saputra dari samping.
Melihat begitu bahagianya Naya membuat hati Saputra ikut bahagia, meskipun ada sedikit rasa ragu yang tiba-tiba hadir di dalam hatinya. Namun, ia tidak ingin merusak kebahagiaan putrinya hanya dengan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.
"Nay, boleh Ayah menanyakan sesuatu?" tanya Saputra setelah mereka duduk di ruang keluarga.
"Tanyakan saja, kelihatannya sangat penting sampai meminta izin dulu." Naya terkekeh saat melihat wajah Saputra yang gelisah.
"Di hutan mana tempat tinggal Zio dulu?"
Naya mendesah. "Kalau Ayah menanyakan itu karena menyangkut pernikahan, aku tidak mau menjawab apa pun," kata Naya dengan nada kecewa.
"Bukan begitu. Ayah hanya ingin tahu lebih banyak mengenai calon menantu Ayah, Ayah hanya takut menyinggungnya di masa depan," jawab Saputra beralasan.
"Oh, dia dulu tinggal di hutan Pakal. Naya dulu sering ke sana sepulang kuliah."
"Bagaimana awal kalian bertemu?"
"Waktu itu Naya dan teman-teman sedang ada penelitian, Naya tersesat dan hampir hanyut ke sungai. Untung saja Zio menyelamatkan Naya tepat waktu, dari kejadian itulah kita saling mengenal," jawab Naya dengan mata menerawang, mengingat kembali kenangan pertemuan pertama mereka.
"Emm, apa Zio tahu keluarga kandungnya di mana?" tanya Saputra santai sambil mengunyah camilan yang ada di meja. Mencoba tidak menimbulkan kecurigaan Naya atas pertanyaan itu.
"Dia belum tahu, Yah. Dulu Naya sempat janji mau mencarikan dia keluarganya sebelum dia diangkat anak oleh Tuan Sanders. Tapi, apa itu penting sekarang? Setelah Zio menemukan kebahagiaan lewat keluarga barunya?" kata Naya yang lebih tepatnya ingin meminta pendapat ayahnya mengenai janjinya dulu pada Zio, apa perlu ia wujudkan janji itu.
"Kalau itu, menurut Ayah tergantung bagaimana Zio. Dia ingin tahu siapa keluarga kandungnya atau tidak. Dan apa dia sudah nyaman dan bahagia dengan keluarga barunya, apa perlu membantunya mencari siapa keluarganya, itu harus kamu tanyakan padanya dulu sebelum bertindak," kata Saputra menasehati.
"Ide Ayah bagus juga, kalau begitu besok aku tanyakan padanya, aku hanya tidak ingin sampai hari pernikahanku masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, setidaknya tidak akan ada penyesalan nantinya." Naya berkata seraya memeluk ayahnya.
"Apa Zio punya sesuatu yang ditinggalkan orang tuanya? Ya … siapa tahu bisa menjadi petunjuk untuk menemukan siapa keluarganya?" tanya Saputra.
Mendengar pertanyaan ayahnya mendadak Naya teringat akan gelang yang Zio kenakan, gelang bergambar burung elang yang menjadi harta paling berharga baginya.
"Aku jadi teringat gelang Zio, Yah, dia memang punya gelang kayu yang berukir gambar di atasnya, dulu Zio pernah berkata kalau gelang itu sudah dia pakai sejak masih bayi, apa mungkin itu pemberian orang tuanya?" kata Naya sambil berpikir.
Saputra menoleh ke arah Naya dengan segera. "Gambar apa yang terukir di gelang itu?"
"Burung Elang."
Jantung Saputra seakan berhenti berdetak, ia merasa terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Ayah, apa Ayah tahu? Aku yang memberinya nama Ezio, aku terpikirkan nama itu juga karena melihat gambar elang yang ada di gelangnya," kata Naya dengan bangga, tidak menyadari perubahan wajah Saputra yang terlihat pucat.
Saputra tidak menghiraukan perkataan Naya, dia masih sibuk dengan pikirannya mengenai Zio.
'Mungkinkah dia masih hidup?' batin Saputra dalam hati, ia merasa sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Ayah, kenapa?" Naya menoleh ke arah Saputra karena tidak mendapatkan jawaban ataupun pujian dari ayahnya tentang nama yang Naya berikan pada Zio. Melihat wajah ayahnya yang pucat dan terlihat lemah, Naya merasa khawatir dan segera menyuruh Saputra agar segera istirahat di dalam kamarnya.
"Ayah, istirahatlah. Ayo kubantu ke kamar Ayah," ajak Naya seraya menggandeng lengan ayahnya karena merasa kalau Saputra sangat kelelahan bekerja.
Saputra yang pikirannya masih kacau hanya manut saja ketika Naya membawanya kembali ke kamarnya.
Setelah Naya memastikan ayahnya terbaring di tempat tidur, Naya segera menutup pintu. Dia memang tidak bertanya apa pun tentang sikap Saputra yang tiba-tiba lemah, itu karena ia tahu kalau ayahnya sudah tua dan memang mempunyai penyakit. Seharusnya Saputra sudah tidak diizinkan lagi untuk berkerja, namun ia selalu ngotot untuk tetap bekerja. Toh perkerjaannya juga selama ini selalu ringan, hanya menjadi sopir pribadi seorang keluarga kaya.
Setelah kepergian Naya, Saputra tetap tidak bisa memejamkan matanya. Ia terus dihantui perasaan bersalah karena dosanya di masa lalu. Perasaan yang sejak dulu ia ingin musnahkan, dan baru beberapa tahun ia bisa melepaskan bayang-bayang masa lalunya. Namun, kini perasaan itu kembali lagi, menggerogoti jiwanya dan membuatnya gelisah.
'Apakah Zio adalah anak itu? Jika iya, bagaimana mungkin ia masih bisa bertahan hidup di tengah-tengah hutan yang begitu banyak oleh binatang buas? Mungkin aku bisa percaya jika anak itu memang masih hidup, tapi seharusnya dia di adopsi oleh orang, bukan dengan para binatang,' gumam Saputra dalam hati.
Pertanyaan demi pertanyaan tidak ada yang mampu ia temukan jawabannya hanya dengan naluri. Air matanya mendadak menetes, teringat kesalahannya di masa lalu pada bayi merah yang tidak berdosa itu.
Suara tangisan bayi itu terasa menggema di telinganya, penyesalan kini tidak ada lagi artinya. Entah apa yang akan terjadi jika memang ternyata kenyataan itu seperti yang ia bayangkan. Haruskah ia mengorbankan kebahagiaan putrinya? Bagaimana dengan nasib putrinya jika kebenaran terungkap?
