Rahasia - 4
Awal sebuah cerita.
Zidan Zafral Kamil, 25 tahun, lelaki asal Tasikmalaya dengan wajah bersih dan teduh. Ada sesuatu dalam sorot matanya, ketenangan yang sulit dijelaskan, seperti permukaan air yang tak pernah benar-benar bergelombang. Senyumnya lembut, tapi punya daya yang aneh: bisa meluruhkan siapa pun yang menatapnya terlalu lama.
Rambutnya selalu rapi, suaranya tenang, dan cara bicaranya membuat orang merasa dihargai. Ia tidak pernah terburu-buru dalam menanggapi, seolah setiap kata yang keluar dari bibirnya sudah lebih dulu disaring oleh hati.
Zidan bekerja di sebuah factory outlet ternama di pusat kota. Gaya hidupnya sederhana, nyaris seperti santri yang tersesat di tengah hiruk-pikuk kota. Tapi justru dari kesederhanaan itu muncul kharisma yang sulit dijelaskan, tidak dibuat-buat, tapi nyata terasa. Ia bukan tipe lelaki yang banyak bicara, namun diamnya seperti doa: tenang, dalam, dan membuat orang ingin tahu lebih jauh.
Riska Purwanti mengenalnya pertama kali bukan di tempat kerja, bukan pula lewat perkenalan formal. Hanya dari kebiasaan kecil yang berulang.
Setiap pagi, di pertigaan jalan menuju tempat kerja, mereka hampir selalu berpapasan. Riska dengan seragam kafenya yang sederhana, Zidan dengan kemeja putih bersih dan tas selempang hitam di bahu. Kadang hanya saling mengangguk, kadang saling tersenyum sopan—tapi dari pertemuan-pertemuan kecil itulah, sesuatu mulai tumbuh diam-diam.
Riska, 20 tahun, datang dari keluarga sederhana di pinggiran Bogor. Lulusan SMA, dan sedang menabung agar bisa kuliah tahun depan. Ia bekerja di sebuah kafe menengah, tempat para pegawai dan anak muda kota biasa menghabiskan sore mereka.
Wajahnya cantik dengan garis lembut khas perempuan desa; kulitnya bersih, matanya jernih, dan tubuhnya proporsional, sehingga banyak orang tak mengira bahwa ia berasal dari kampung kecil di lereng perbukitan.
Namun Riska bukan gadis yang mudah terpesona. Ia sudah sering bertemu lelaki kota dengan tutur manis dan tatapan yang terlalu berani. Tapi Zidan berbeda. Ia menjaga jarak, bicara secukupnya, menunduk ketika menyapa.
Sikap itulah yang justru membuat Riska penasaran. Ada semacam rasa tenteram setiap kali berpapasan dengannya, sekaligus rasa ingin tahu yang tak bisa ia jelaskan.
Awalnya mereka hanya saling menyapa singkat di pertigaan jalan, Namun entah sejak kapan, rutinitas sederhana itu berubah menjadi sesuatu yang mereka tunggu-tunggu setiap pagi.
Beberapa minggu kemudian, Zidan mulai sering mampir ke kos Riska. Kadang membawakan makanan ringa, Mereka akhirnya resmi berpacaran.
Sudah tiga bulan berjalan, dan semuanya terasa tenang, bahkan nyaris terlalu tenang. Tak ada drama, tak ada cemburu, tak ada amarah. Seperti dua jiwa yang sudah menemukan tempat pulang, tanpa perlu banyak kata.
Suatu hari, Riska bercerita tentang rencananya pulang kampung.
“Zid, liburan ini aku mau pulang. Jauh banget, lima jam naik bus, lanjut angkot, kadang ojek juga,” keluhnya sambil menghela napas.
Zidan tersenyum lembut. “Aku ikut. Biar kamu nggak capek sendirian.”
Riska terdiam. Bahagia sekaligus takut. Bahagia karena Zidan mau menemaninya sejauh itu, takut karena tahu betapa sederhananya rumahnya di kampung. Rumah papan tua yang berderit, dapur pakai kayu bakar, orang tua kerja di sawah. Ia tak pernah menceritakan hal itu pada siapa pun.
Dari cara bicara dan sikap Zidan, Riska tahu lelaki itu datang dari dunia yang lebih rapi, lebih teratur. Tapi saat Zidan menatapnya dan menggenggam tangannya, semua rasa rendah diri sirna.
“Ris jangan dipikirin. Aku siap berangkat. Apapun adanya kamu, aku tetap mencintaimu. Titik.”
Kata-kata itu menenangkan seperti doa. Sampai akhirnya, bus yang mereka tumpangi melaju di jalan basah sisa hujan. Lampu-lampu kota mulai berlari di jendela, dan Riska bersandar di bahu Zidan, merasa perjalanan itu bukan sekadar pulang ke kampung, tapi juga pulang ke perasaan yang baru.
Setelah maghrib, sebagian besar penumpang sudah tertidur. Hanya tersisa dengkuran halus dan dengung mesin yang bergetar di udara.
Di tengah gelap yang hangat itu, dunia seolah menyusut hanya untuk mereka berdua. Zidan menggenggam tangan Riska erat. Hangatnya mengalir sampai ke dada Riska. Napasnya terasa di sisi wajah Riska, lembut, berirama dengan deru bus. Ia berbisik pelan, kata-kata yang mungkin hanya bermakna bagi mereka berdua.
Sesekali, bibir Zidan menyentuh pipi Riska, ringan, nyaris seperti mimpi. Lalu, sebelum Riska sempat berpikir apa-apa, ciuman singkat mendarat di bibirnya.
Bukan ciuman yang terburu, bukan pula yang menuntut. Hanya sentuhan yang singkat tapi dalam, seperti janji yang belum selesai diucapkan. Tiba-tiba, Zidan meraih tangan Riska dengan lembut tapi tegas, mengarahkannya ke selangkangannya.
Riska tersentak kaget, di balik celana Zidan, ternyata penisnya sudah berdiri keras, terasa panas dan menegang. Insting Riska langsung mendorong untuk menarik tangannya lagi, tapi senyum Zidan yang nakal dan penuh hasrat itu membuatnya lumpuh, tak berdaya melawan gelombang keinginan yang tiba-tiba menyergapnya.
Riska hanya bisa menatapnya sebentar, mata mereka bertemu dalam kegelapan samar kabin bus itu. Senyum Zidan melebar, penuh keyakinan yang selalu membuat Riska lemah.
Tangan Zidan masih memandu tangan Riska, menekannya pelan agar Riska merasakan denyutannya yang semakin kuat. Napas Riska tersengal, campuran antara kaget dan hasrat yang tak tiba-tiba mendesak nyaris terbendung.
“Ris... kamu tahu kan, aku nggak bisa tahan lama kalau deket kamu gini,” bisik Zidan serak, suaranya hampir hilang di antara dengung mesin bus. Ia menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat, agar tak ada yang curiga dari penumpang lain yang tertidur lelap.
Riska menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan getaran di dada. Tangannya bergerak pelan atas kendali Zidan, meraba bentuk yang sudah begitu familiar baginya. Panasnya merembes melalui kain, membuat wajah Riska memanas.
“Zid... ini gila, nanti ketahuan orang,” gumam Riska pelan, tapi suaranya justru terdengar seperti undangan, bukan penolakan.
Zidan terkekeh kecil, bibirnya kembali menyentuh leher Riska, meninggalkan jejak basah yang membuat bulu kuduk Riska merinding.
“Nggak ada yang bangun. Santai aja, sayang.” Kata-katanya seperti mantra, dan tanpa sadar, jari-jari Riska mulai menekan lebih dalam, merasakan bagaimana penis Zidan lebih mengeras lagi di bawah sentuhannya.
Zidan mengendurkan sabuknya dengan gerakan cepat tapi hati-hati, diikuti suara resleting yang pelan, hampir tak terdengar di tengah dengung bus. Riska langsung mencubit pinggang Zidan, jari-jarinya mencengkeram kain bajunya sebagai isyarat agar ia jangan bertindak nekat. Mereka di tempat umum, meski gelap dan sepi.
Tapi Zidan malah tersenyum licik, memelorotkan celananya hingga ke paha, membiarkan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya yang terbuka.
“Belai dengan mesra, Sayang... dia kedinginan,” bisik Zidan serak, suaranya penuh godaan yang membuat napas Riska tersendat. Senyumnya penuh keyakinan dan hasrat langsung meruntuhkan pertahanan Riska, membuatnya tak bisa lagi menolak.
Dada Riska berdebar hebat, seperti genderang perang di dadanya, dan entah perasaan apa lagi yang melanda jiwanya: campuran malu, takut ketahuan, tapi juga gelombang panas yang tak terbendung.
Ini untuk pertama kalinya Riska memegang penis Zidan secara langsung, tanpa penghalang kain apa pun. Kulitnya panas di telapak tangan Riska, denyutnya kuat dan hidup, membuat jari-jarinya gemetar saat mulai membelainya pelan, mengikuti irama napas Zidan yang semakin berat.
Zidan mendesah pelan di telinga Riska, tangannya menutupi mulut Riska agar suaranya tak lolos, sementara bus terus melaju dalam kegelapan malam yang seolah menjadi saksi bisu rahasia mereka.
Riska memejamkan mata sesaat, membiarkan sensasi asing itu meresap. Hangat, berdenyut, dan begitu... hidup. Jantungnya berdetak tak karuan, tapi tangannya seolah bergerak sendiri, membelai pelan dan ragu pada awalnya, namun kemudian semakin berani.
Jari-jari Riska melingkari permukaannya yang lembut namun tegang, merasakan setiap urat dan denyutan kecil di bawah kulit. Zidan mendesah pelan lagi, kali ini lebih dalam, suaranya seperti bisikan angin malam yang melenakan.
“Ah... begitu, Sayang,” bisik Zidan lagi, suaranya kini lebih berat, dipenuhi kenikmatan. Tangannya yang bebas kini melingkari pinggang Riska, menarik tubuhnya lebih dekat seolah ingin menyatukan mereka. Riska bisa merasakan napas panas Zidan di telinganya, dan aroma maskulinnya memabukkan indranya.
Riska membuka mata, menatap ke arah Zidan dalam remang-remang kabin. Matanya terpejam, kepalanya sedikit mendongak, menunjukkan betapa ia menikmati sentuhan Riska. Itu membuat Riska merasa kuat sekaligus rapuh. Jari-jarinya terus bergerak dengan irama yang lebih percaya diri, mengelus, mengurut, dan menggenggam perlahan, merasakan bagaimana penis Zidan semakin mengeras dan membesar di tangannya.
Setiap sentuhan terasa seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuh Riska, membangkitkan hasrat yang sebelumnya hanya dipendamnya.
Kegelapan dan kesunyian bus menjadi latar belakang sempurna bagi keintiman rahasia ini. Riska seolah lupa bahwa mereka berada di tempat umum, lupa akan penumpang lain yang tertidur. Yang ada hanyalah Zidan, tangannya, dan sensasi luar biasa yang mengalir di antara mereka.
Ini adalah batas baru yang mereka lewati, sebuah pengakuan tanpa kata bahwa ikatan di antara mereka semakin dalam, semakin tak terpisahkan, dan semakin berani.
“Sayang, kamu berani gak mencium adeku?” bisik Zidan mesra, suaranya seperti hembusan angin panas yang menyusup ke telinga Riska.
Riska langsung mencubit pinggang Zidan lebih keras kali ini, sebagai bentuk protes yang setengah hati. Zidan meringis sesaat, tapi senyum nakalnya tak pudar, malah semakin lebar, penuh tantangan yang membuat Riska gelisah.
“Pura-pura tidur di pangkuanku,” bisik Zidan lagi, nada suaranya begitu meluluhkan, seperti rayuan yang tak bisa ditolak Riska.
^*^
