Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia - 5

Kepala Riska sedikit menunduk, ragu-ragu, tapi akhirnya ia benar-benar merunduk ke pangkuan Zidan. Segera, Zidan menyelimuti kepala Riska dengan jaketnya yang tebal, menciptakan ruang gelap dan pribadi di tengah kabin bus yang sepi.

Tubuh Riska bergetar hebat, campuran antara gugup dan antisipasi yang membara. Aroma maskulin penis Zidan dan keringat ringan, kehangatan kulit, dan hasrat mentah, langsung membakar birahinya membuat napas Riska tersengal, jantungnya berdegup liar.

Di balik selimut jaket itu, dunia luar lenyap, dan yang tersisa hanyalah Zidan, Riska, dan dorongan naluriah yang tak lagi bisa dihindari lagi.

Zidan menegang seketika, seluruh tubuhnya mengeras seperti patung yang terpahat dari hasrat, saat untuk pertama kalinya lidah Riska menyentuh penisnya. Sentuhan basah dan hangat itu membuat Zidan tersentak pelan, napasnya tersengal dalam desahan tertahan yang hampir tak terdengar di balik jaket yang menyelimuti mereka.

Riska merasakan denyutannya semakin kuat di bawah lidahnya, kulitnya yang lembut tapi tegang bergetar halus, seolah setiap sarafnya terbangun oleh keberanian Riska yang baru.

Aroma maskulin Zidan semakin pekat, memenuhi ruang kecil di bawah jaket itu, membakar indra Riska hingga ia lupa segalanya: bus yang bergoyang, penumpang yang tertidur, dan risiko yang mengintai.

Lidah Riska bergerak pelan, menjilati permukaannya dari pangkal hingga ujung, merasakan rasa asin ringan yang anehnya membuatnya semakin haus. Zidan menggenggam rambut Riska lembut tapi tegas, membimbingnya tanpa kata, sementara tangan satunya menekan punggung Riska agar ia tetap dekat.

"Ah, Ris... jangan berhenti," bisik Zidan serak, suaranya pecah oleh kenikmatan yang tak tertahankan.

Tubuh Riska ikut bergetar, birahinya membara seperti api yang tak terkendali, dan di momen itu, Riska tahu mereka telah melintasi garis yang tak bisa kembali, keintiman yang mentah, penuh rahasia, dan begitu adiktif di tengah perjalanan malam yang panjang ini.

Riska benar-benar tenggelam dalam momen itu, mengulum penis Zidan dengan penuh gairah yang tak terlukiskan. Lidahnya bergerak lincah, menghisap dan melingkari setiap lekuk, setiap urat yang kini menegang sempurna di dalam mulutnya. Sensasi hangat dan lembab itu membanjiri indranya, sementara kepalanya bergerak naik-turun, mengikuti ritme hasrat yang mendalam.

Zidan pun tak tinggal diam. Tangannya yang bebas kini merayap ke balik baju Riska, dengan cepat menemukan payudaranya. Jantung Riska berdebar lebih kencang saat Zidan mulai meremas-remasnya, lembut namun posesif. Jemarinya yang hangat memilin puting Riska yang menegang, mengirimkan sengatan kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Desahan Zidan kini terdengar lebih jelas, bercampur dengan isakan kecil dari Riska yang tertahan di balik jaket. Ruang kecil mereka terasa memanas, dipenuhi oleh suara-suara basah dan sentuhan-sentuhan intim yang semakin berani, seolah tak peduli lagi pada dunia di luar sana.

Entah berapa lama Riska mengulum Zidan dengan penuh gairah, waktu seolah lenyap dalam kegelapan di bawah jaket itu. Mulutnya bekerja tanpa henti, lidahnya menari di sepanjang penis Zidan yang semakin membengkak, menghisap dengan ritme yang semakin cepat mengikuti desahan Zidan yang tertahan.

Tubuh Zidan menegang lebih keras, tangannya meremas payudara Riska dengan intensitas yang membuatnya mengerang pelan, getaran birahi Riska kini mencapai puncak.

Tiba-tiba, Riska dikejutkan oleh ledakan hangat yang menyembur deras cairan sperma Zidan memenuhi mulutnya, langsung mengalir ke tenggorokannya tanpa sempat die lakkan. Rasanya asin dan pekat, mengejutkan tapi membangkitkan gelombang kepuasan aneh di dadanya.

Riska tersedak sesaat, mata terpejam rapat, tapi Zidan menahan kepalanya lembut, membimbingnya hingga semburan terakhir reda. Napas Zidan terengah-engah, tubuhnya melemas pelan di kursi bus yang bergoyang.

Riska angkat kepala perlahan, jaket Zidan tergeser sedikit, dan tatap matanya penuh rasa syukur bercampur hasrat yang belum padam. "Sayang... kamu luar biasa," bisik Zidan serak, jarinya menyeka bibir Riska yang basah.

Wajah Riska memanas, campuran malu dan kebanggaan menyergap, sementara bus terus melaju dalam malam yang kini terasa lebih intim, lebih milik mereka berdua. Ia meraih botol air mineral dari tas kecilnya, meneguknya pelan untuk meredakan rasa lengket yang masih menempel di tenggorokannya.

Campuran asin dan hangat yang meninggalkan jejak aneh, tapi tak membuatnya jijik. Malah, seperti lem yang memperkuat ikatan mereka.

Zidan, dengan gerakan cepat tapi hati-hati, merapikan kembali celananya, menarik resleting dan sabuknya hingga semuanya kembali rapi, seolah tak pernah ada apa-apa di tengah kegelapan bus ini.

Setelah itu, Riska pun ambruk ke pelukan Zidan, tubuhnya lemas tapi puas, tertidur pulas dalam kehangatan dadanya yang naik-turun pelan. Zidan memeluknya erat, bibirnya tak henti menciumi pipi Riska berkali-kali, lembut dan penuh kasih sayang.

"I love you, Riska... terima kasih," gumam Zidan berulang-ulang, suaranya seperti lagu pengantar tidur yang manis.

Riska tak menjawab, hanya membiarkan rasa sayang dan cintanya pada Zidan membara semakin hebat di dada. Setelah merasakan gurihnya cairan birahi Zidan, segalanya terasa lebih dalam, lebih nyata, seperti api yang tak lagi bisa diredamnya. Malam perjalanan itu berlalu dalam pelukan mereka, meninggalkan kenangan yang akan dikenang Riska selamanya.

Bus bergoyang pelan melewati jalan berlubang, tapi dunia mereka terasa stabil, hanya ada mereka berdua di tengah malam yang panjang ini. Waktu seolah berhenti, dan perjalanan yang melelahkan tadi berubah menjadi momen rahasia yang paling manis, penuh keintiman yang tak perlu kata-kata lagi.

Akhirnya kemesraan di bus berakhir.

Sesampainya di terminal kecamatan, mereka langsung mencarter dua ojek untuk perjalanan terakhir menuju kampung halaman Riska.

Mereka tiba di kampung sekitar pukul sembilan malam. Begitu motor berhenti di depan rumah Riska, kedua orang tuanya menyambut di teras depan.

Zidan menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat, lalu mengangkat tangannya dengan lembut.

“Assalamu’alaikum, Pak, Bu,” ucapnya dengan suara tenang dan penuh adab, khas seorang santri.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Bapk dan Ibu Jaya, serentak, tampak terkejut tapi tersenyum hangat.

“Perkenalkan, saya Zidan. Insya Allah, saya calon menantu kalian,” lanjut Zidan sambil menundukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Terima kasih sudah menerima saya di sini. Rumah ini sederhana, tapi saya ingin mengenal keluarga Bapak dan Ibu lebih dekat.”

Pak Jana mengangguk pelan, sementara Bu Narti tersenyum ramah. Zidan masuk dengan langkah tenang, menatap sekeliling rumah dengan rasa hormat, tetap menjaga adabnya, tidak asal menatap, duduk dengan sopan, dan tidak terburu-buru.

Riska menatapnya diam-diam, hatinya hangat. Meski rumah mereka sederhana, kehadiran Zidan di sini membuat semuanya terasa berbeda. Hangat, aman, dan penuh rasa hormat, membuat hatinya semakin yakin pada Zidan.

Mereka makan malam bersama, suasana sederhana, tapi hangat dengan lauk pauk seadanya, tapi tersusun rapi dan penuh perhatian. Zidan duduk dengan sopan di depan orang tua, menundukkan kepala ketika berbicara, menggunakan bahasa yang santun dan penuh hormat.

Setiap gerak-gerik Zidan terlihat rapi dan terkontrol, benar-benar menunjukkan adab seorang santri, walau sebenarnya ia sudah bukan santri lagi. Ia bertanya tentang banyak hal, layaknya orang yang baru berkunjung ke suatu tempat.

Namun, begitu makan malam selesai, penyakit mesum Zidan mulai kumat, tapi tetap saja hanya saat mereka berdua. Sekilas tatapannya berubah, lebih nakal tapi tetap manis. Hanya pada Riska, ia berani menunjukkan sisi hangat dan mesumnya yang tidak ia perlihatkan pada orang lain.

Riska hanya bisa menahan tawa kecil, dan degup jantung yang bertalu-talu setengah kesal. Sikap Zidan yang berbeda ini membuatnya merasa aman di hadapan orang tua, tapi tetap terasa dekat dan mesra di sisinya sendiri.

Perbedaan itu justru membuat hati Riska hangat. Zidan mampu menjaga adab ketika perlu, tapi juga tahu bagaimana membuatnya tersenyum dan merasa istimewa ketika hanya berdua.

Malam itu berlalu dengan tenang, setelah makan malam, Bu Narti membersihkan meja dengan senyum tipis di bibirnya, sementara Pak Jana duduk di kursi kayu tua, sesekali melirik Zidan dengan tatapan penuh pertimbangan.

Zidan tetap sopan, membantu Bu Narti dan Riska membawa piring ke dapur meski ditolak halus, dan berbincang ringan tentang cuaca di kampung yang selalu lebih sejuk daripada kota.

Akhirnya, saat jam menunjukkan hampir pukul sebelas malam, Pak Jana menawarkan Zidan untuk istirahat.

"Sudah malam, Nak. Kamar tamu di belakang, sederhana tapi bersih," katanya ramah, meski matanya sempat melirik Riska sekilas, seolah bertanya-tanya tentang hubungan mereka. Zidan mengangguk hormat.

"Terima kasih, Pak. InsyaAllah besok pagi saya bantu Bapak di kebun, kalau boleh."

Pak Jana tersenyum tipis, "Boleh, Nak. Tapi jangan dipaksa."

Mereka berpisah di koridor sempit rumah itu, Riska ke kamar kecilnya yang berbagi dinding tipis dengan kamar orang tua, sementara Zidan ke kamar tamu di belakang. Tapi begitu lampu padam dan rumah mulai sunyi, hati Riska mulai gelisah.

Ia tak bisa tidur, pikirannya masih dipenuhi bayangan perjalanan bus tadi, rasa gurih yang masih membekas, dan kehadiran Zidan yang begitu dekat di rumhanya tapi terpisah dinding.

Tak lama, suara ketukan pelan di jendela kamar Riska membuatnya tersentak.

Riska bangun, membuka tirai sedikit, dan melihat Zidan berdiri di halaman samping, tersenyum nakal di bawah cahaya bulan yang temaram.

"Riska... aku nggak bisa tidur," bisik Zidan pelan, suaranya merayap melalui kaca.

Hati Riska berdegup lagi, campuran antara takut dan rindu yang membara.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel