Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia - 3

Setelah shift kafe berakhir dengan pikiran yang masih kalut oleh beberapa kejanggalan yang dialaminya akhir-akhir ini, Riska memutuskan untuk pulang ke kosannya, namun berniat akan pergi lagi.

Ancaman tersirat dalam kata-kata Shifa dan Ustadz Risman membuat bulu kuduknya merinding.

Demi keselamatan jiwanya, Riska buru-buru mengemasi tas kecilnya, pakaian seadanya, kaus celana jeans, dan jaket tipis, serta ponsel yang dimatikan agar Zidan tak bisa langsung melacaknya.

Riska naik angkot ke arah pinggiran Bandung, menuju kosan Diska, teman SMA-nya yang kini kuliah di salah satu universitas negeri di kota ini. Setidaknya, Zidan tak tahu alamat Diska; mereka jarang membahas detail teman-teman lama, kecuali kebetulan bertemu.

Malam itu, jalanan sepi di luar dugaan. Lampu-lampu toko sudah padam, hanya tersisa sorotan temaram dari warung pinggir jalan yang mulai merapikan kursi. Angkot yang ditumpanginya melaju pelan, sesekali berguncang saat melewati lubang kecil. Riska duduk di pojok belakang, menatap kosong ke luar jendela.

Beberapa menit kemudian, perasaannya mulai tidak enak. Dari pantulan kaca belakang, tampak cahaya lampu motor yang terus mengikuti sejak ia naik tadi di dekat halte kecil.

Awalnya Riska pikir itu kebetulan. Tapi setiap kali angkot berbelok ke gang yang lebih sempit, motor itu ikut. Ketika sopir memperlambat laju, suara knalpotnya juga ikut melambat, seolah meniru ritme mereka. Ia menelan ludah. Tangannya spontan meremas tali tas.

“Bang, bisa agak cepet, ya?” suara Riska nyaris tenggelam oleh deru mesin.

Sopir menoleh sekilas lewat spion. “Takut ketinggalan bus ya, Neng?” katanya santai.

Riska menggeleng, tapi matanya tak lepas dari bayangan lampu itu. Jaraknya tak lebih dari sepuluh meter.

Saat angkot berhenti menurunkan penumpang di depan minimarket, motor itu ikut berhenti di belakang, mesinnya masih menyala. Riska menunduk, menahan napas. Darah di tubuhnya serasa berlari lebih cepat daripada angkot yang kembali melaju.

Riska turun di gang yang sebenarnya masih cukup jauh dari kos Diska. Setidaknya di sini masih ada sedikit keramaian: minimarket yang terang benderang, beberapa orang muda nongkrong sambil menyeruput kopi botol, suara kasir berbunyi setiap kali ada yang membayar.

Ia pura-pura tenang, melangkah masuk mni market. Dari balik kaca, ia bisa melihat bayangan motor itu berhenti di seberang jalan. Dua orang berhelm fullface masih duduk di atas motornya, tak menoleh ke mana pun. Tapi entah kenapa, Riska merasa tatapan mereka menembus kaca dan berhenti tepat di punggungnya.

Riska pura-pura memilih minuman di rak pendingin, membuka tutup botol seolah akan membeli, tapi tangannya gemetar. Keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. Sekilas ia lihat lewat pantulan kaca kulkas, motor itu masih di sana, belum pergi.

Seseorang di belakang Riska lewat dengan keranjang, menabrak sedikit pundaknya. Riska tersentak, hampir menjatuhkan botol. “Maaf, Mbak,” kata orang itu.

Riska hanya mengangguk pelan, mencoba tersenyum. Beberapa menit kemudian, suara mesin motor itu terdengar lagi meraung pelan tapi jelas.

Riska berpura-pura sibuk membayar di kasir, tapi matanya terus melirik ke luar. Motor itu masih berhenti sebentar, sebelum akhirnya berbalik arah dan melaju perlahan, menjauh di antara lalu lintas kecil.

Ia menahan napas cukup lama sampai kasir memanggil, “Mbak, uang kembaliannya.”

“Oh, iya,” sahut Riska cepat.

Setelah motor itu benar-benar tak terlihat lagi, Riska meminta izin ke toilet minimarket. Di dalam, ia menatap wajahnya di cermin kecil yang sudah berembun. Mata sembab, wajah pucat. Riska memakai jaket dan jilbab yang sebenarnya jarang sekali dipakainya, entah untuk menyamar atau sekadar membuatnya merasa punya kendali atas ketakutan ini.

Begitu keluar, Riska membeli dua botol air mineral kecil untuk alasan tambahan agar tak mencurigakan. Setelah itu, ia melangkah ke luar dan menatap gang kecil di samping mini market. Lampunya temaram, tapi Riska hafal jalannya.

Riska menarik napas panjang, lalu melangkah cepat masuk ke gang itu, menyusuri perkampungan padat yang berkelok-kelok. Bau tanah basah bercampur aroma gorengan dari dapur warga membuat udara terasa hidup, tapi langkah Riska tetap waspada.

Beruntung, Diska pernah beberapa kali mengajak Riska lewat jalur ini setiap mereka ke minimarket. Malam ini, Riska berusaha mengingat setiap belokan, setiap pintu pagar yang pernah mereka lewati, karena di belakangnya, entah kenapa, ia masih merasa seperti sedang diikuti bayangan yang enggan benar-benar pergi.

Riska menolak untuk melihat ke belakang lagi; langkahnya dibuat santai meski hatinya masih bertalu. Jalan gang itu sempit, lampu-lampu rumah bergelantungan, beberapa jendela masih menyala memuntahkan bau makanan dan suara televisi.

Jaket menutupi tubuh Riska, jilbab menutupi rambut yang disisir longgar, dan ponsel yang dipadamkan terasa berat di sakunya, seperti batu kecil yang dibawanya diam-diam.

Di ujung gang, dua anak remaja sedang duduk di emperan, tertawa kecil sambil menggenggam plastik minuman; mata mereka sempat melirik Riska, tetapi mereka tak menaruh curiga. Napas Riska sedikit turun. Itu pertanda baik. Diska pernah bilang, jalan ini selalu ramai oleh anak kost yang pulang kerja. Rasanya aman, setidaknya untuk saat ini.

Namun baru saja Riska ingin melewati pekarangan rumah terakhir sebelum gerbang kosnya, suara motor lagi-lagi menggigit kuping. Halus, tapi berbeda; bukan deru jauh yang sempat dilewatinya di angkot, melainkan suara mendekat dari arah jalan besar, kemudian berhenti, persis di tempat ia masuk ke gang tadi.

Jantung Riska seketika melonjak.

Ia bersembunyi di balik pagar rerumputan, menahan napas sambil mengintip. Dua penunggang berhelm fullface itu tak turun; mereka cuma menunggu. Satu menyalakan rokok, asap tipisnya melayang ke udara malam. Motor masih menyala. Mereka tidak bergerak masuk ke gang. Mereka menunggu, atau mengamati, entah mencari Riska atau sekadar kebetulan.

Kalau itu memang mereka, berarti ia harus cepat, pikir Riska. Ia menyelinap ke pekarangan sebelah pagar, lalu berlari tanpa suara menuju gerbang kecil kos Diska. Kunci yang dipelajarinya dari foto-foto lama, entah kenapa selalu tersimpan rapi di ingatannya.

Napas Riska tertahan ketika tangannya meraba gagang pintu; suara mesin dari jalan masih ada, tetapi makin menjauh, atau mungkin pikirannya saja yang berharap begitu. Pintu kamar kos Diska terbuka lebih cepat dari yang dikiranya.

Diska berdiri di ambang, rambutnya masih berkepang, matanya melebar saat melihat Riska.

“Riska! Lu ngapain datang malam-malam begini?” suara Diska panik tetapi terkontrol, seperti orang yang sudah siap menampung badai.

Riska masuk, menutup pintu, dan mendengar bunyi kunci yang diputar berkali-kali. Di balik pintu, Diska menarik napas panjang, langsung menyalakan lampu kecil di meja. Wajahnya berubah dari terkejut menjadi waspada.

“Jangan banyak bengong. Cepatan cerita ada apa sih?” kata Diska sambil menunjuk kursi.

Sambil duduk, Riska menceritakan singkat soal Ustadz Risman, ancamannya, dan motor yang mengikutinya sejak tadi. Diska mengangkat alis, lalu menutup pintu kamar kosnya dengan kain gorden yang ditarik rapat-rapat.

“Sejak kapan lu punya urusan sama seorang Ustadz?” tanya Diska heran.

”Panjang ceritanya, Dis. Bentar gue capek dulu!’ Suara Riska masih bergetar.

“Di sini aman, setidaknya untuk malam ini. Besok kita atur. Lu mau makan? Gue masak mie instan sama...” kata Diska.

Sebelum Diska selesai, suara klakson pendek terdengar dari luar, bukan klakson panjang yang mengancam, hanya dua kali, sebagai pesan. Keduanya terdiam. Jantung mereka bernyanyi bersama di keheningan kamar sempit itu.

Di luar sana, mungkin seseorang masih memperhatikan. Di dalam kamar ini, Riska merasakan dua hal sekaligus: lega karena sudah sampai dengan selamat, dan takut karena jelas ada yang mengintai berarti semua belum selesai.

Setelah sekian lama tidak ada tanda-tanda mencurigakan, akhirnya Diska kembali buka suara.

“Ris, ada apa sebenarnya? Siapa sih Ustadz Risman itu?” tanya Diska, nadanya campuran antara khawatir dan penasaran.

Riska menatap lantai. “Dis... hubungan gue sama Zidan lagi kacau banget. Aneh. Semua terasa serba salah, tapi gue nggak bisa berbuat apa-apa juga gak bisa lepas.”

Diska tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Hubungan baru seumur toge, kok udah mau bubaran sih? Yakin lu mau pisah sama si ganteng perkasa itu? Heheheh.”

Riska memaksakan senyum, tapi gagal. “Gue takut, Dis. Mereka ngancam gue, bukan cuma gue, tapi juga keluarga gue di kampung. Gue nggak mau ada apa-apa sama mereka. Makanya gue kabur ke sini. Gue cuma pengen tahu… Zidan bakal nyari gue atau nggak. Gue nggak mau semua ini makin rumit.”

“Maksudnya Zidan gak terlibat dalam semua ini?” Diska makin bingung.

“Gue juga masih bingung, ini sangat aneh sekali. Gue malah dilarang bicara apapun dengan Zidan oleh mereka.”

Wajah Diska berubah serius. Ia mencondongkan tubuh, lalu menatap Riska dalam. “Oke. Ceritain semuanya, dari awal pertama lu kenal Zidan, sampai munculnya orang-orang misterius yang ngancam lu itu. Jangan ada yang ditutup-tutupi biar gue paham akar masalahnya, oke?” Diska berusaha santai.

Riska mengangguk lemah. Ada perasaan lega karena akhirnya bisa bicara, ada seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi. Dari dulu, cuma Diska yang bisa begitu, sejak masa SMA, waktu Riska cuma berani nangis di depan dia. Ia menarik napas panjang.

“Semua berawal ketika gak sengaja gue kenal dan jatuh cinta sama Zidan, Dis…”

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel