Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia - 2

“Ris, sebenarnya ada apa sih?” tanya Rina pelan sambil menurunkan nada suaranya.

Riska tersentak kecil. “Apaan?” jawabnya terlalu cepat.

“Lu gak bisa bohong,” kata Rina lagi, menatapnya lekat-lekat. “Jujur aja, gue perhatiin lu berubah akhir-akhir ini. Banyak bengong, sering salah ngasih kembalian juga.”

Riska mencoba tersenyum, tapi senyum itu kaku. “Oh, lu terlalu perhatian sama gue, Rin.”

“Lu lagi ada masalah besar sama Zidan?” desak Rina.

“Enggak. Kami baik-baik aja kok,” jawab Riska sambil merapikan apron-nya, tangannya gemetar halus.

Rina menyipitkan mata, suaranya kini lebih rendah. “Oke, gue percaya. Tapi... siapa dua wanita bercadar yang beberapa minggu lalu nyamperin lu ke kafe? Sama satu lagi, bapak-bapak yang... entah kenapa, auranya kayak Ustadz tapi seram.”

Riska menahan napas sepersekian detik. “Oh, mereka... tetangga gue dari Bogor.”

Rina mengerutkan dahi. “What?” Ia melipat tangan di dada. “Sejak kapan lu punya tetangga kalangan agamis menyeramkan gitu?”

“Menyeramkan?” Riska berusaha terdengar ringan, tapi nada suaranya meleset, terlalu tinggi, seperti orang gugup.

“Yes,” jawab Rina cepat, mencondongkan tubuh sedikit. “Gue ngerasain aura mereka beda, Ris. Bukan kayak orang-orang masjid biasa. Maksud gue... waktu kalian ngomong di dalam sana itu, gue sampe merinding, loh.”

Riska terdiam. Pandangannya beralih ke pintu kafe, seolah takut seseorang mendengar.

Rina memperhatikan perubahan wajahnya, lalu menurunkan suaranya nyaris berbisik. “Mereka siapa, Riska?”

Riska menelan ludah. “Udah, Rin... jangan bahas itu lagi.”

“Kenapa?” Rina makin penasaran.

“Karena gue juga gak tahu... apa yang sebenarnya mereka mau dari gue.”

Rina belum sempat bertanya lagi ketika suara berat terdengar dari belakang mereka.

“Eh, ngomongin siapa, nih?”

Riska dan Rina sama-sama menoleh. Rasyid, barista shift siang, berdiri sambil membawa baki kosong. Wajahnya datar, tapi matanya tajam, seolah sudah lama mendengarkan.

“Lu nguping ya, Ras?” tanya Rina setengah kesal.

Rasyid mengangkat bahu. “Susah gak nguping kalau suaranya segitu kenceng,” ujarnya tenang, tapi nadanya dingin. Lalu ia menatap Riska lama, terlalu lama.

“Gue cuma mau bilang, kalau lu ada masalah, selesain di luar sini, Ris.”

“Masalah apa?” Riska mencoba tertawa, tapi suaranya kering.

“Gue gak tahu,” jawab Rasyid sambil menaruh baki di meja. “Tapi beberapa hari ini gue juga ngerasa kafe jadi aneh. Ada orang-orang yang datang tapi gak minum apa-apa. Cuma duduk, ngeliatin lu.”

Rina menatap Riska, matanya membulat. “Tuh, kan. Gue gak salah.”

Riska menghela napas pelan. “Udah, jangan mulai. Mungkin cuma kebetulan aja.”

Rasyid mendengus pendek. “Kebetulan gak sebanyak itu, Ris. Gue gak peduli lu punya urusan apa, tapi jangan sampe nyeret nama kafe. Bos bisa marah besar kalau tau ada pelanggan gak nyaman gara-gara pegawainya.”

Nada bicaranya bukan menuduh, tapi tegas dan berjarak. Riska merasa seperti murid yang sedang ditegur.

“Gue ngerti, Ras. Tapi sumpah, gak ada apa-apa,” katanya, matanya menunduk.

Rasyid diam beberapa detik, lalu mengangguk tipis. “Ya udah. Gue anggap gak ada. Tapi mulai sekarang, kalau mereka datang lagi, siapa pun itu, lu jangan tanggapi. Cukup kerja aja.”

Ia berbalik menuju dapur tanpa menoleh lagi. Suara pintu ayun berderit pelan, lalu menutup.

Riska berdiri kaku, jantungnya berdetak pelan tapi keras. Rina mendekat, menatapnya dengan khawatir.

“Lu denger sendiri, kan? Bahkan Rasyid aja ngerasa ada yang aneh. Pasti beritanya nyampe ke Bu Retno.”

Riska tidak menjawab. Ia hanya menatap ke luar jendela, ke arah jalan yang kini sedang sangat ramai.

Siang itu, kafe tempat Riska bekerja terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit Bandung menggantung berat, kelabu, seperti menahan sesuatu di dadanya.

Dari balik kaca besar yang menghadap ke jalan, Riska melihat orang-orang berlalu-lalang dengan langkah cepat, sebagian menunduk menatap ponsel, sebagian menunggu angkot yang tak kunjung datang.

Bau kopi hangat bercampur suara mesin espresso dan denting sendok di cangkir. Semua tampak normal—terlalu normal, sampai Riska sadar sesuatu terasa ganjil.

Dua lelaki masuk hampir bersamaan. Tak saling bicara, tapi memilih duduk di dua meja berbeda.

Yang satu berjaket hitam dengan topi ditarik rendah, yang lain berkaus abu-abu, memainkan ponsel seolah menunggu seseorang. Namun setiap kali Riska lewat membawa pesanan, ia bisa merasakan tatapan keduanya menempel di punggungnya seperti bayangan yang enggan pergi.

Ia berusaha berpikir positif. Mungkin hanya pelanggan biasa. Tapi nalurinya, yang terasah selama bekerja di kafe, tahu betul. Ada perbedaan antara tatapan orang yang sekadar tertarik, dan tatapan orang yang sedang ‘mengawasi’.

Riska menegakkan punggung, berusaha mengabaikan. Ia menata dua cangkir latte di atas nampan dan mengantarkannya ke meja pojok. Saat kembali ke kasir, lelaki berjaket hitam itu berdiri dan berjalan ke toilet belakang.

Sementara yang berkaus abu-abu membuka pesan suara di ponselnya.

Suara itu lirih, tapi cukup jelas untuk membuat darah Riska berhenti mengalir.

“Udah. Dia ada sedang ada di sini.”

Jari Riska yang memegang nota kontan membeku. Jantungnya berdegup tak beraturan, tapi ia berpura-pura sibuk mencatat pesanan berikut.

“Riska, lu gak apa-apa?” tanya Rina yang sedang menggiling kopi.

Riska memaksa senyum. “Enggak, cuma agak pusing.”

Lelaki berjaket hitam keluar dari toilet. Tatapan datar tanpa ekspresi, tapi menusuk, tajam seperti bilah tipis.

Dan seolah untuk memperparah ketegangan, suara dalam kepalanya tiba-tiba bergaung: ‘Hati-hati dengan langkahmu, Riska. Ada hal-hal yang lebih besar dari yang kamu tahu.’ ancam Ustadz Risman kemarin.

Kata-kata itu terus menempel di benaknya seperti mantra terkutuk. Malam tadi, Riska bahakn sengaja mematikan ponselnya, takut jika Zidan mencoba menghubunginya lagi. Bukan karena marah, tapi karena takut sesuatu menimpa mereka berdua. Ia sudah mencium bahaya, tapi tidak tahu dari arah mana datangnya.

Satu jam kemudian, pelanggan mulai berkurang. Hujan gerimis turun, menimbulkan aroma tanah basah yang biasanya menenangkan. Tapi kali ini aroma itu justru membuat Riska gelisah.

Ketika menurunkan tirai setengah, ia menangkap pantulan kaca: motor hitam berhenti di seberang jalan, dua orang di atasnya mengenakan helm fullface. Satu menunduk, menatap ponsel. Yang lain diam, menghadap lurus ke arah kafe.

Riska menelan ludah. Napasnya berat. Mungkin cuma kebetulan, pikirnya. Tapi dadanya terasa seperti diremas.

“Riska, tolong ambilin stok sirup hazelnut, habis!” teriak Bu Retno dari dapur.

“Iya Bu” sahut Riska cepat.

Ia berjalan ke gudang kecil di belakang. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar pintu kafe terbuka.

Lonceng kecil di atasnya berdenting sekali, pelan.

Suara langkah masuk, berat, teratur.

Pintu tertutup lagi.

Suara kursi digeser.

Lalu hening.

Riska berdiri mematung di balik pintu gudang, memegangi dadanya.

Lewat celah kecil papan kayu, ia mengintip. Lelaki berjaket hitam itu kini duduk di kursi dekat jendela, menghadap ke luar, tapi Riska tahu, yang ia tatap bukan jalan, melainkan pantulan kaca. Dan di sana, mata mereka bertemu sekilas.

Riska buru-buru menunduk. Nafasnya tercekat. Dada bergemuruh seperti diserang dari dalam. Ia tahu, sejak pertemuan dengan Shifa, Aulia, dan terakhir Ustadz Risman kemarin, hidupnya tak lagi punya tempat aman.

Tak lama kemudian, pintu kafe kembali berbunyi. Lonceng berdenting lirih, tapi dentingnya terasa seperti peringatan.

Masuk dua perempuan berpakaian gamis hitam panjang, bercadar rapi. Langkah mereka tenang, tapi dingin, seolah setiap tapaknya sudah diperhitungkan. Bau minyak wangi arab menyelinap ke udara, menutup aroma kopi dengan sensasi aneh: lembut tapi mengancam.

Sekilas saja Riska menatap, dan tubuhnya langsung membeku.

Siluet itu... ia hafal betul. Shifa dan Aulia. Dua anak perempuan Ustadz Risman.

Riska menunduk cepat, pura-pura membersihkan meja. Namun bayangan hitam mereka terekam jelas di kaca etalase: berdiri tegak, kepala menoleh sedikit, seakan memastikan sesuatu.

Mereka tak memesan apa pun. Hanya berjalan ke arah dua lelaki tadi, tanpa suara. Tak ada sapaan, tak ada basa-basi. Percakapan singkat dalam nada rendah, tak terdengar jelas, tapi cukup untuk membuat udara di dalam kafe terasa beku.

Riska berusaha tidak menatap, tapi matanya sempat menangkap momen ketika keempatnya berdiri bersamaan. Salah satu lelaki melihat jam tangannya, yang lain mengangguk kecil ke arah Shifa.

Mereka kemudian berjalan keluar perlahan, meninggalkan aroma parfum yang menggantung di udara seperti kabut ancaman.

Namun sebelum benar-benar pergi, Shifa menoleh. Tatapan dari balik cadarnya, meski hanya sekejap, namun cukup menusuk Riska sampai ke tulang sumsum.

Tak ada kata-kata, tapi maknanya jelas: “Kami akan terus mengawasimu, Riska!”

Riska mematung. Napasnya terhenti. Pintu kafe menutup pelan. Lonceng kembali berdenting, tapi kali ini terdengar seperti suara rantai kecil yang terayun di udara dingin.

Dari luar, motor hitam itu menyala lagi, menggeram pelan sebelum akhirnya melaju menjauh.

“Riska?” panggil Rina dari dapur, bingung melihat wajah Riska yang memucat. “Lu kenapa lagi?”

Riska menoleh pelan, berusaha tersenyum. “Gak apa-apa… cuma tiba-tiba tubuh gue dingin aja.”

Tapi hatinya tahu, tak ada yang kebetulan lagi. Pertemuan dengan Ustadz Risman, Shifa, dan Aulia bukan akhir dari masalah. Itu baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih gelap. Berbahaya dan sangat mengerikan.

Riska menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gemetar yang mulai merambat dari ujung jari. Pikirannya bercampur antara takut, marah, dan bingung.

“Apa gue harus cerita sama Zidan? Tapi dia sendiri susah dihubungi. Atau… gue mending kabur aja cari selamat?”

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel