Rahasia - 1
“Ris, ini ada kiriman nasi lagi,” suara ibu kos, terdengar hangat dari lorong. Namun kali ini, ada nada yang berbeda, lembut, tapi seolah menyimpan sesuatu.
Riska menoleh. Di tangan Bu Haji, ada kotak nasi yang sama persis dengan yang dikirim enam dan empat hari lalu. Bungkusnya tampak akrab, seolah memanggil namanya dalam diam.
Ia berhenti, menatap kotak itu sejenak. Aroma rempah yang samar naik ke hidung, menyusup lembut ke dalam, menghadirkan sensasi hangat yang membuat jantungnya berdebar tanpa sebab. Ada sesuatu di balik aroma itu, seolah bukan sekadar makanan.
“Ini… sebenarnya dari siapa, Bu Haji?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik.
Bu Haji tersenyum tipis, matanya seperti menyimpan rahasia kecil. “Entahlah, Ris. Yang ngantar selalu pergi begitu saja. Tapi katanya sih, dari seseorang yang peduli sama kamu.”
Riska menggenggam kotak itu. Hangatnya terasa aneh, hampir seperti hidup. Penasaran bercampur waswas menjalari dadanya.
Itu adalah kiriman nasi kotak misterius ketiga kalinya. Kiriman pertama ia biarkan tak tersentuh, takut ada yang janggal. Diam-diam, ia memberikannya pada kucing liar di belakang kos. Aneh, para kucing itu memakannya lahap tanpa masalah. Rasa curiganya sedikit reda, tapi tidak hilang sepenuhnya.
Kiriman kedua datang sehari kemudian. Kali itu, Riska nekat mencicipinya. Rasanya… persis seperti yang ia suka. Bumbunya pas, pedasnya seimbang, bahkan porsi nasinya sesuai dengan kebiasaannya makan. Hangatnya menyusup ke perut, mengusir rasa cemas. Tapi di balik kenyamanan itu, muncul pertanyaan yang terus mengganggu: siapa yang tahu selera makannya sedetail itu?
Saat kiriman pertama pun, Riska langsung mau bertanya pada Zidan, namun kekasihnya itu sedang berada di tempat tak ada sinyal untuk beberapa hari ke depan. Dan Riska juga sangat yakin itu bukan kebiasaan Zidan.
Dan kini, kiriman ketiga datang lagi. Menu sama. Rasanya mungkin sama. Ukurannya pun identik. Seolah kotak itu tahu Riska lebih dari siapa pun.
Ia menelan napas panjang. Siapa yang sampai peduli sejauh ini? Dan mengapa rasanya begitu familiar, seperti pelukan dari kenangan yang tak pernah ia miliki? Tetangga di kampungnya?
Dan seperti saat kiriman kedua, setelah makan kiriman yang ketiga, tubuhnya terasa hangat. Lelah perlahan berganti kantuk yang berat. Ia mencoba menahan, tapi tubuhnya tak mau kompromi. Dalam hitungan menit, matanya terpejam, nyenyak, tanpa mimpi. Persis seperti kemarin.
Ketika terbangun, jantungnya berdetak cepat. Jangan-jangan nasi itu memang dicampur sesuatu. Tapi… untuk apa? Siapa pengirimnya Shifa, Ustadz Risman atau Zidan yang sudah beberapa hari ini tak sempat bertemu karena katanya pulang kampung?
Keesokan harinya, Riska menceritakan semuanya pada Rina, rekan kerjanya di kafe. Mata Rina membesar, suaranya terdengar serak karena khawatir.
“Ris, lu gegabah! Lu tahu nggak, sekarang tuh banyak kejadian aneh. Bukan cuma racun, tapi juga… pelet, guna-guna dan sejenisnya!”
Ucapan itu membuat perut Riska terasa mual. Ia hampir memuntahkan isi perutnya, meski tubuhnya tak benar-benar bereaksi apa-apa. Hanya rasa takut yang tertinggal, samar tapi mencengkeram.
Hesti menepuk bahunya cepat. “lu harus hati-hati, Ris. Siapa tahu, ini bukan sekadar perhatian biasa.”
Riska menarik napas panjang. Penasaran yang semula halus kini berganti rasa cemas. Siapa pengirim nasi itu sebenarnya, dan apa maksud di balik semua ini?
Sore harinya, kiriman nasi misterius itu datang lagi. Ia bertekad untuk tidak memakannya. Namun, rasa ingin tahu tetap berbisik di kepalanya.
Tak lama, Hafiz muncul di lorong. Lelaki pendiam itu baru pulang kerja, wajahnya lelah, tapi matanya langsung tertuju pada kotak nasi di tangan Riska.
“Eh, Ris, itu bawa nasi dari mana?” tanyanya sambil mendekat.
Riska menceritakan semuanya. Hafiz mendengarkan tanpa memotong, lalu bergumam pelan, “Hati-hati, Ris. Bisa aja diracun atau semacamnya.” Nada suaranya berat, menambah ketegangan di lorong sempit itu.
Riska menatap kotak itu lagi. Ia sudah dua kali memakannya tanpa masalah. Rasanya absurd untuk takut sekarang.
“Tapi udah dua kali aku makan, aman-aman aja, kok, Fiz,” ujarnya dengan senyum tipis yang lebih mirip pembelaan pada dirinya sendiri.
Hafiz tidak menjawab. Hanya menatapnya, raut wajahnya tetap serius.
Meski peringatan berputar di kepalanya, tangan Riska tetap membuka kotak itu. Aroma hangat dan familiar langsung menyerbu hidungnya. Rasa lapar tiba-tiba mengalahkan logika. Ia menatap Hafiz sebentar, lalu menunduk, membiarkan rasa penasaran dan keinginan memimpin.
Beberapa jam kemudian, saat ia tertidur pulas. Ketukan di pintu membangunkannya.
“Ris, pinjem charger hape bentar ya,” suara Hafiz terdengar dari luar.
Riska bangun, tubuhnya terasa ringan dan nyaman, lidahnya masih merasakan jejak pedas dari sambal yang tadi. Ia menyerahkan charger lewat pintu, tapi Hafiz menatapnya agak lama sebelum tersenyum.
“Kok bangun tidur, kamu cantik banget, Ris.”
Riska terdiam. Jantungnya berdetak cepat. Wajahnya memanas, senyum malu tak bisa ia tahan. Hafiz jarang bicara, apalagi memuji. Pujian itu terasa seperti kejutan kecil yang membuat hatinya berdetak tak menentu.
Ia menunduk, mencoba menyembunyikan senyum. “Hadeh, Fiz… aku cuma bangun tidur,” ujarnya pelan, suaranya agak bergetar.
Lorong kos tiba-tiba terasa lebih hangat. Antara mereka, ada udara baru yang tak terjelaskan. Dan di tengah getaran aneh itu, Riska sempat berpikir: jangan-jangan nasi misterius itu mengandung pelet asihan, yang membuat dirinya tampak lebih menarik?
Ia bergegas ke depan cermin. Rambutnya berantakan, wajahnya masih lelah, tapi entah mengapa… ada yang berbeda. Mungkin bukan dari nasi itu, tapi dari perasaan hangat di dadanya, atau dari pujian Hafiz barusan.
Malam itu, ia tersenyum kecil. Campuran penasaran dan geli menciptakan rasa yang aneh tapi menyenangkan.
Keesokan harinya, kotak nasi itu datang lagi. Kali ini yang menyerahkan justru Hafiz sendiri.
“Eh, tadi kurir Gofood yang nganter, tapi aku sekalian aja,” katanya ringan.
Riska menatap kotak itu. Aroma yang sama menyergap lagi. Hafiz memandangnya sebentar, lalu berkata pelan, “Ris, hati-hati ya. Kita nggak tahu siapa yang ngirim.”
Namun peringatan itu hanya lewat seperti angin. Rasa lapar sudah menguasai pikirannya.
“Ah, yang penting kenyang,” gumamnya dalam hati.
Hafiz hanya menggeleng, menyerah pada sikapnya. Riska membuka kotak itu perlahan. Aroma rempah kembali memenuhi ruang kecil di antara mereka. Sesuatu yang aneh, entah magis, entah sekadar sugesti, terasa berdenyut di udara.
Kotak nasi itu tetap memikat. Seolah menyimpan rahasia yang belum saatnya dibuka.
Malam itu, Riska tersentak dari tidurnya. Nafasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis, dan jantungnya berdegup seolah baru berlari sejauh-jauhnya.
Mimpi itu terasa nyata. Terlalu nyata.
Ia dan Zidan… dikejar-kejar oleh dua perempuan bercadar hitam pekat, wajah mereka tak terlihat, hanya mata tajam yang berkilat di balik kain gelap itu. Di belakangnya, sekelompok preman bersenjata tumpul menjerit-jerit, menuntut sesuatu yang tak ia mengerti.
Suara langkah kaki, dentingan besi, dan teriakan menggema di telinganya bahkan setelah ia terbangun. Riska meraih dadanya, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan dua wanita itu masih menari di matanya, gerak mereka cepat, tanpa suara, namun membawa ketakutan yang menggigit.
Zidan sempat menarik tangannya dalam mimpi itu, wajahnya panik, berusaha melindunginya. Tapi ketika mereka hampir mencapai tempat aman, sosok bercadar itu menebas udara dengan pisau panjang, dan, Riska terbangun tepat sebelum darah mengalir.
Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar halus.
Udara kamar terasa dingin, tapi kulitnya panas. Di luar, suara jangkrik terdengar samar. Namun di telinganya, gema mimpi itu masih bergema seperti bisikan dari dunia lain.
Tangannya refleks menatap meja kecil di samping tempat tidur. Kotak nasi misterius itu masih ada di sana, kosong, tapi aromanya belum hilang sepenuhnya. Samar, tapi tetap ada.
Riska menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak oleh rasa yang tak bisa dijelaskan, antara takut dan penasaran, antara mimpi dan kenyataan.
Perlahan, ia bangkit, berjalan ke depan cermin. Wajahnya pucat, matanya tampak sayu tapi berkilat aneh di bawah cahaya lampu. Ia menyentuh pipinya sendiri, mencoba memastikan bahwa dirinya masih benar-benar di dunia nyata.
Tapi ketika ia menatap pantulan di cermin, sesuatu di belakangnya… seperti bergerak.
Riska menoleh cepat, kosong. Hanya bayangan tirai yang berayun pelan karena angin dari ventilasi. Tapi tetap saja, jantungnya tak mau tenang. Ia tahu ada yang tidak beres.
Dan entah kenapa, pikirannya kembali pada satu hal, pada setiap kali ia memakan nasi misterius itu, mimpi-mimpinya selalu lebih hidup, lebih intens, lebih… dekat dengan sesuatu yang gelap.
Kali ini, mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Ia merasa sedang diingatkan—atau diancam.
Pikiran Riska langsung melayang pada dua wanita bercadar itu. Bayangan mereka menyeruak begitu jelas dalam kepalanya, bahkan sebelum ia sempat mengatur napas. Tatapan tajam, suara lirih yang penuh ancaman.
Riska menelan ludah. Tubuhnya merinding. Mimpi yang baru saja dialaminya terasa seperti potongan lanjutan dari ancaman mereka beberapa minggu lalu di tempatnya bekerja.
Ia buru-buru meraih ponsel di meja, jari-jarinya gemetar saat mencari nama Zidan di layar. Layar ponselnya bergetar pelan, tanda panggilan tersambung… lalu mati begitu saja. Ia mencoba lagi, tapi hasilnya sama. Tidak ada nada sambung, hanya keheningan dingin yang menusuk telinga.
Riska menggigit bibir bawahnya. Sekujur tubuhnya mulai menggigil.
“Zidan… kamu di mana sih?” gumamnya lirih, setengah berdoa.
Ia mencoba mengirim pesan. Satu, dua, tiga kali. Semua centang satu. Tak terkirim.
Seketika, pikirannya dipenuhi kemungkinan buruk, jangan-jangan Zidan memang sedang berada di tempat terpencil, atau lebih buruk… jangan-jangan mimpi itu bukan sekadar bunga tidur.
Rasa dingin menjalar dari ujung kaki ke punggung. Riska memeluk dirinya sendiri, duduk di tepi ranjang sambil menatap pintu kamar yang tiba-tiba terasa terlalu jauh.
^*^
