Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 : be friends

Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.

'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.

Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya.

"Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya.

"Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya.

"Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap.

"Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan sahabatnya.

Tisha mendudukkan diri di samping Reanna pada karpet lembut yang berada di pojok ruangannya.

"Kamu tahu, Re ... kamu terlihat seperti ibunya saja. Bahkan ke kamar mandi pun dia membuntutimu. Kenapa bisa sedekat itu padahal kalian belum lama kenal?" gadis itu bertanya dengan heran. Kenapa Reanna bisa semudah itu menjadi akrab dengan anak kecil seperti Kia? Sedangkan ia saja susah sekali mendekati sepupu calon suaminya yang seumuran gadis kecil di hadapannya.

"Benarkah? Aku juga tidak tahu, Sha. Semua mengalir begitu saja." Reanna menjawab apa adanya. Ia menepuk pelan pantat Kia saat gadis kecil itu menggeliat dalam tidurnya.

"Ya sudah. Kuncinya kamu saja yang bawa, aku harus segera pulang sekarang." Tisha bangkit dari posisinya. Tangan kanannya merogoh saku celana jeansnya dan mengambil sebuah kunci dengan gantungan panda lucu, kemudian menyerahkannya pada Reanna. "Kamu tentu tahu, calon suamiku itu paling tidak suka menunggu," lanjutnya.

"Iya deh, yang sudah punya calon suami memang beda. Apalah dayaku yang jomblo ini." Reanna melirik Tisha dengan sinis yang dibuat-buat.

Sedangkan gadis itu hanya terkekeh, "makanya kamu harus cepat move on."

"Pergi sana!" Reanna mendorong kaki Tisha dengan sebal—tidak benar-benar sebal sebenarnya. Ia memang suka bercanda.

"Baiklah. Selamat menunggu."

***

Kepala cantik berambut gelap itu sesekali tertunduk saat kantuk kembali menyerangnya. Ia mengucek pelan kedua belah kelopak matanya ketika melihat siluet seseorang yang sedang ditunggunya berada di balik kaca transparan pintu toko itu. Reanna lantas melambaikan tangannya, seolah menyuruh pria itu masuk dan mendekat ke arahnya.

Tentu saja sinyal itu diterima dengan baik oleh dokter tampan itu saat melihat anaknya terbaring nyenyak di pangkuan gadis cantik di dalam sana. Tangan kanan besarnya segera mendorong pintu di depannya, kemudian melangkah panjang ke arah Reanna.

"Sudah lama menunggu?" pria itu berjongkok, memperhatikan putrinya yang masih terbuai dalam alam mimpinya.

"Sstttt ... pelankan suara Anda!" Reanna menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan sang dokter untuk tidak menimbulkan suara.

Dan pria di depannya mengangguk mengerti.

"Sudah lama dia tertidur?" pria itu kembali bertanya, tetapi dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya.

"Tidak kok, hanya satu jam sebelum Anda datang," jawab Reanna ringan.

Sedangkan pria pirang itu terkekeh mendengarnya.

"Satu jam itu lama, Bodoh!" ia menjitak pelan dahi yang tertutup poni rata gadis di depannya.

Mendapatkan perlakuan seperti itu, entah kenapa Reanna merasakan panas menjalar di pipinya. Tiba-tiba saja ia merasa jika dadanya berdebar. Perasaan apakah itu?

Reanna mencebikkan bibirnya. Ia pura-pura kesal.

"Hey, seharusnya Anda berterima kasih pada saya, bukannya malah mengatai saya!" ujar gadis itu, bersungut-sungut yang dibuat-buat.

Sedangkan pria itu justru tersenyum melihatnya. Reanna terlihat begitu lucu di matanya.

"Kamu pasti lelah," ucapnya. "Maaf, ya ... Kia pasti membuatmu repot." Kedua tangan besar pria itu memindahkan Kia dengan perlahan pada gendongannya, sepelan mungkin supaya gadis kecil itu tidak terusik dalam lelapnya.

"Tidak apa-apa. Saya merasa senang bisa dekat dengan Kia seharian ini," jawab Reanna. Gadis manis itu tersenyum tulus menatap gadis kecil yang saat ini sudah berada dalam gendongan sang ayah. "Pelan-pelan menggendongnya."

Gadis itu mengekori langkah panjang si dokter tampan di depannya, mengamati dalam diam saat pria itu meletakkan Kia di kursi belakang mobilnya. Sejujurnya ia sedikit khawatir jika gadis kecil itu terjatuh saat ada guncangan di tengah jalan nanti.

"Masuklah," ucap pria itu setelahnya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan mobilnya untuk Reanna.

Sedangkan gadis itu justru menggeleng, menolak tawaran pria pirang itu dengan sopan. "Tidak usah, Dok. Rumah saya dekat dari sini. Saya bisa jalan kaki."

"Tidak bisa seperti itu, dong. Setidaknya saya harus menebus kebaikanmu, dengan mengantarmu pulang misalnya." Pria itu mengerutkan keningnya tidak suka mendengar ucapan Reanna.

"Tidak usah, Pak dokter. Saya benar-benar bisa pulang sendiri." Dan Reanna masih saja gigih menolaknya.

"Masuk, atau kamu ingin saya gendong seperti Kia tadi?!" seketika mata elang itu menatap tajam pada kedua bola mata cantik Reanna dengan sebuah ancaman.

Dan, yah ... mau tidak mau akhirnya gadis itu menerimanya.

"Baiklah-baiklah ... saya menyerah."

***

"Apakah Kia aman tidur seperti itu?" Reanna bertanya dengan khawatir. Beberapa kali ia menengok ke belakang, memperhatikan posisi tidur anak kecil itu dengan cemas.

"Dia sudah terbiasa seperti itu," jawab pria itu tanpa mengalihkan tatapannya pada jalanan ramai di hadapannya.

Reanna menghela napas lega setelahnya.

"Apakah Kia merepotkanmu?" dokter itu lanjut bertanya.

Gadis manis itu tersenyum sebelum menjawab, "tidak. Saya justru merasa senang bisa direpotkan."

Pria pirang itu menaikkan sudut bibirnya, "jawaban macam apa itu?"

Dan Reanna hanya terkekeh menjawabnya, "tapi serius, Dok ... saya merasa bahagia saat bersama Kia. Dia terus menempel pada saya, bahkan untuk buang air pun dia menunggu di depan pintu." Gadis itu menjeda ucapannya. Ia menoleh, menatap wajah tampan yang sedang serius berkendara di sampingnya. "Anda tahu, saya merasa dibutuhkan saat itu. Dan saya senang. Setidaknya saya bisa melupakan masalah saya sejenak."

"Oh iya, kamu sedang patah hati karena mantan tunanganmu menghamili wanita lain. Saya lupa," jawab pria itu datar.

Namun, respons Reanna justru sebaliknya. Mata indahnya membola mendengar ucapan dari bibir pria di sampingnya. "Anda tahu?!"

"Tentu saja. Saat kamu mabuk 'kan kamu mengira saya ini mantan tunanganmu. Bahkan saya masih mengingat betapa panasnya tamparanmu waktu itu."

Reanna memberengut saat pria itu kembali mengingatkannya akan kejadian malam terkutuk itu.

"'Kan saya sudah bilang, itu di luar kendali saya."

Pria itu terkekeh ringan, "ternyata kita bertemu lagi. Dunia begitu sempit, ya?"

"Iya, ya ..." Reanna membenarkan. "Saya juga tidak menyangka, padahal rumah sakit tempat Pak dokter bekerja tidak begitu jauh dari sini, tapi kenapa saya baru melihat Bapak ke florist, ya?"

"Karena memang saya baru pertama kali ke Carnation florist," jawab pria itu, lagi-lagi tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan padat penuh kendaraan di depan. "Tadi pagi mendadak saya mendapatkan pesan jika teman saya menikah. Karena saya tidak mungkin bisa datang karena janji temu saya yang sangat padat, ya sudah ... saya kirimkan karangan bunga saja. Kebetulan Carnation florist adalah florist terdekat saat itu, dan saya juga sedang terburu-buru; baby sitter Kia tiba-tiba saja mengundurkan diri. Jadi, saya berniat menitipkan dia ke daycare setelah itu. Tapi dia malah bertemu denganmu," jelasnya panjang lebar.

"Lalu siapa yang akan menjaga Kia besok kalau baby sitternya berhenti?" Reanna kembali bertanya.

Pria itu mengedikkan bahunya, "yah, sepertinya saya harus mencari baby sitter baru."

"Jika Pak dokter perlu bantuan, jangan segan untuk menghubungi saya. Saya akan dengan senang hati untuk membantu Bapak menjaga Kia." Tawar gadis itu tanpa sadar. Namun, jika pria di sampingnya itu memang berkenan, ia pun akan dengan senang hati menerimanya.

"Kamu serius?" dan akhirnya pria itu menatapnya.

"Tentu saja." Reanna menjawabnya dengan yakin.

Pria itu kembali memusatkan perhatiannya pada jalanan sebelum kembali berucap, "hmm ... kalau begitu, bagaimana kalau kita berteman dulu?" tawarnya setelah itu.

"Sepertinya itu ide yang bagus." Reanna menjawab dengan ringan, kemudian mengulurkan tangan kanannya pada si dokter tampan, mengajaknya untuk berjabat tangan. "Kita berteman?"

Dan ... pria itu tersenyum, tangan kanannya terulur menjabat tangan halus Reanna. "Kita berteman."

Seketika Reanna merasa hatinya seakan ditumbuhi dengan berbagai bunga cantik. Entah kenapa, ia sangat bahagia hanya karena telah menjadi teman dr. Adams.

"By the way, rumahmu masih yang kemarin malam, 'kan?" tanya pria pirang itu saat hendak membelokkan mobilnya memasuki sebuah gang.

"Tentu saja. Memangnya menurut Pak dokter rumah saya ada berapa?!" Reanna menjawab pertanyaan pria itu dengan pertanyaan retorik. Tentu saja rumahnya hanya satu. Yah ... meskipun itu hanya sebuah rumah kontrakan kecil.

"Saya bercanda." Pria itu sedikit terkekeh. "Terima kasih untuk hari ini," ucapnya dengan tulus, kedua mata birunya menatap dalam mata Reanna dengan sebuah senyuman.

Dan lagi-lagi pipi itu memerah tanpa bisa Reanna cegah.

"Sama-sama."

.

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel