Bab 10 : dr. Nathanael Adams
Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.
Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya.
"Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.
Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya.
"Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan.
"Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, serta ucapannya di sini, Tuan." Gadis itu kembali tersenyum, kepala cantiknya masih mencoba menggali ingatan tentang pria tampan itu.
Sedangkan gadis kecil dalam gendongan pria itu terlihat meronta meminta diturunkan saat pria—yang sepertinya ayahnya—itu menuliskan sesuatu pada buku tadi. Pandangan mata biru cantiknya berkilau ketika melihat sosok Reanna melintas dengan membawa keranjang berisi bunga berbagai warna di belakang punggung sang ayah, hingga pada akhirnya langkah kaki kecil itu berlari ke arah gadis cantik yang sepertinya belum menyadari kehadirannya.
Dan semua itu tidak lepas dari pandangan mata Tisha.
"Kakak~" gadis kecil itu berseru memanggil Reanna, tanpa menghentikan langkah kakinya yang sedang berlari.
Tentu saja hal tersebut membuat gadis cantik itu menghentikan kegiatannya sejenak ketika mendengar suara yang ia kenali memasuki gendang telinganya. Ia berbalik, kemudian mata cantik itu terlihat sedikit membola karena terkejut.
"Loh ... Kia? Ke sini sama siapa?" tanya Reanna, yang kemudian berjongkok menangkap tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
"Dengan saya."
Reanna mendongak ketika mendengar suara berat nan maskulin itu. Dan raut wajah terkejut kembali menghiasi wajah cantiknya. Meskipun Ia sudah menduga jika gadis kecil dalam pelukannya ini pasti bersama sang ayah, tetap saja ia merasa sedikit terkejut. Ini sangat kebetulan.
Reanna mengangkat tubuh Kia ke dalam gendongannya, kemudian tersenyum dengan manisnya pada duda tampan di hadapannya.
"Ah, selamat pagi, Pak dokter." Sapanya.
"Pagi." Pria itu tersenyum tipis menjawab sapaan Reanna, ia menyelipkan tangannya ke dalam saku celananya. "Saya tidak menyangka kita bisa bertemu lagi," lanjutnya.
"Saya juga," ungkap Reanna. Ia pun sama sekali tidak menyangka akan bisa bertemu kembali dengan dokter tampan di hadapannya ini. Tanpa sadar ia masih saja menatap mata biru itu.
Namun, gadis itu tersentak saat gadis kecil dalam gendongannya meronta, tangan kanannya menunjuk sesuatu di belakang tubuh Reanna.
"Ada apa, Sayang?" Reanna mengalihkan perhatiannya pada Kia.
"Mau bunga." Gadis kecil itu kembali menunjuk sesuatu—yang adalah bunga. Ada banyak bunga yang terpajang di sana, diletakkan dalam beberapa keranjang sesuai jenisnya.
"Yang mana, Kia sayang?" Reanna kembali bertanya dengan lembut.
"Meyah."
"Baiklah. Ini untukmu. Bunga yang cantik, untuk Kia yang cantik." Reanna mengambil sekuntum bunga mawar, dan seketika langsung Kia terima dengan riang.
Senyuman tipis kembali tercipta pada bibir merah kecokelatan pria di depannya. Hatinya kembali menghangat melihat putrinya begitu akrab dengan Reanna.
Dan di meja depan sana, Tisha menatap interaksi mereka dengan mengerutkan keningnya. Ia merasa bingung sekaligus terkejut saat mengetahui bahwa sahabatnya—yang jarang sekali bersosialisasi itu—mengenal pria yang tidak ia kenal? Siapakah pria itu?
Ah, Tisha harus bertanya nanti.
Gadis berkuncir kuda itu kembali memperhatikan mereka dari tempatnya berdiri dalam diam, dengan rasa penasaran.
"Sayang, kita ke mobil sekarang?" ujar pria pirang itu setelah melihat arlojinya.
Ah, ia sampai lupa waktu, padahal ia sedang terburu-buru. Pasiennya pasti sudah menunggu dirinya sedari tadi. Apalagi sebelum itu, ia masih harus menitipkan Kia ke tempat penitipan anak terlebih dahulu. Ia sudah tidak punya waktu.
"No, Papa. Kia cama kakak aja." Tapi justru penolakan dari Kia yang ia dapatkan. Tangan kecil itu merangkul leher Reanna dengan posesif seakan tidak ingin mereka dipisahkan, membuat sang ayah menghela napas lelah.
"Papa sudah telat, Sayang. Papa tidak bisa terlalu lama di sini," jelasnya dengan frustrasi. Ia kembali melihat arlojinya, kemudian kembali menatap putrinya yang justru terlihat mengeratkan rangkulannya di leher gadis manis itu.
"Jika Anda tidak keberatan, Anda boleh menitipkan Kia di sini," putus Reanna pada akhirnya. Ia tidak tega saat melihat wajah kebingungan dokter tampan itu.
"Kamu yakin? Apa tidak merepotkan jika Kia di sini? Bukankah kamu sedang bekerja?" pria itu bertanya dengan keraguan yang begitu kentara di wajahnya.
"Kia anak baik, Papa." Bukan Reanna, justru anaknya-lah yang menjawab.
Kurva senyuman tercipta begitu saja di bibir tipis Reanna kala mendengarnya.
"Tuh, kan ... Anda dengar sendiri?"
Pria itu menatapnya sejenak, kemudian tangan besar itu terulur menengadah padanya. Tentu saja Reanna menatapnya tidak mengerti.
"Kemarikan ponselmu," ucap pria itu, tangan kanannya masih menengadah menunggu.
"Untuk?" tanya gadis itu dengan mengerutkan keningnya. Namun, tangan kanannya justru menyerahkan handphone yang tadi tergeletak di meja yang berada di sampingnya; handphonenya.
Dokter tampan itu segera meraih ponsel dari tangan Reanna, jari-jemari besarnya terlihat mengetikkan sesuatu di sana. Setelahnya, ia mengembalikan benda persegi panjang itu kepada pemiliknya.
"Itu nomor saya. Tolong hubungi saya setiap satu jam sekali untuk memberikan kabar mengenai Kia," ucap pria itu, raut wajahnya terlihat begitu khawatir ketika menatap putrinya. "Saya benar-benar sedang terburu-buru, jadi ... mohon bantuannya," lanjutnya.
Reanna kembali memberikan senyumannya. "Baiklah. Anda tidak perlu khawatir. Selamat bekerja."
***
"Kia sudah makan?" Reanna bertanya pada gadis kecil yang sedang duduk dengan santai di karpet yang ada di pojok tempat itu, Kia sedang sibuk mencabuti setiap helai kelopak bunga mawar yang ada di tangan mungilnya.
"Cudah." Gadis kecil itu menjawab singkat. Jari telunjuk kecil itu menunjuk sesuatu. "Kia mau itu~"
Reanna mengikuti arah telunjuk mungil Kia, kemudian tersenyum setelah mengerti maksud dari anak kecil menggemaskan itu.
"Bunga lily?" ia memastikan.
Sedangkan gadis kecil itu mengangguk dengan semangat.
"Baiklah ... ini dia." Reanna kembali mengulurkan setangkai bunga putih untuk Kia.
"Telima kacih." Kia menerimanya dengan suka cita, mata lebar itu terlihat bersinar cerah.
Melihatnya, mau tidak mau kembali mengukir senyuman pada wajah cantik Reanna. Ia senang jika bisa membuat gadis kecil itu bahagia, meskipun dengan hal yang sesederhana itu.
Tisha yang sedari tadi mengamati Reanna dan Kia akhirnya mendekat setelah beberapa pengunjung tokonya pergi.
"Adik kecil, kak Tisha pinjam kak Rea-nya sebentar, ya?" gadis berkuncir kuda itu menarik lengan Reanna pelan, membawa gadis itu sedikit menjauh setelah melihat anggukan dari kepala si kecil Kia. Reanna hanya menatap Tisha tidak mengerti.
"Ada apa?"
"Kamu berhutang penjelasan padaku. Siapa lelaki itu? Kenapa kamu bisa mengenalnya? Dan lagi, handphonemu sudah ketemu?" Tisha memberikan pertanyaan bertubi-tubi pada Reanna. Sungguh, sepertinya ia melewatkan sesuatu yang penting tentang gadis itu.
"Ceritanya panjang, Sha. Aku juga tidak menyangka bisa menemukan handphoneku secara tidak sengaja seperti ini." Reanna menjeda ucapannya. "Lelaki itu ... dia dr. Adams, Nathanael Adams. Dokter yang menanganiku saat sakit perut kemarin, sekaligus seseorang yang kutampar saat di kelab malam. Sangat kebetulan, bukan?"
Dan Tisha terlihat begitu terkejut mendengar jawaban Reanna.
"Benarkah? Bisa seperti itu, ya? Padahal kemungkinan kecil untuk bisa menemukan ponselmu mengingat betapa ramainya kelab malam itu kemarin malam." Tisha sedikit sangsi sebenarnya.
"Jika semesta mengizinkan mengapa tidak?"
"Iya juga sih ...." Tisha mengangguk mengerti. "Kamu beruntung, Re," lanjutnya.
Reanna hanya tersenyum untuk menanggapinya.
Namun, saat mata Tisha menatap Kia, kembali satu pertanyaan muncul di kepala cantiknya. "Lalu, kenapa kamu bisa mengenal anak itu? Bukankah itu anaknya?" ia menunjuk Kia dengan dagunya, kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Aku diajak ke rumahnya untuk mengambil tasku, dan di sana aku bertemu Kia." Reanna menjelaskan. Kedua mata cantiknya tak lepas dari sosok kecil yang sedang asyik bermain di sana. "Entah kenapa aku sangat menyukai anak itu, Sha."
"Yah, dia anak yang manis sih ... jadi wajar saja jika mudah menyukainya." Gadis itu menjawab sembari ikut mengawasi Kia.
"Ah, dan satu lagi ..." Reanna menambahkan. "Kamu tahu? Ternyata dr. Adams itu seorang duda, loh!" ekspresi wajahnya terlihat begitu serius ketika mengatakannya. Seakan hal yang ia sampaikan adalah berita yang sangat penting.
Sedangkan kedua mata Tisha membola mendengarnya.
"Wow, sugar daddy, eh? Ternyata seleramu bagus juga. Tampan, matang dan seksi." Tisha terkikik di akhir katanya.
"Selera apa maksudmu? Memangnya dr. Adams itu sejenis makanan?!" Reanna memberengut kesal.
"Sudahlah, lupakan. By the way, kau terlihat jauh lebih baik dari kemarin-kemarin sekarang. Sudah berhasil move on sepertinya?" Tisha mengedipkan sebelah mata, mencoba menggoda sahabatnya.
Namun, yang ia dapat justru wajah Reanna yang kembali terlihat murung. Tentu saja hal itu membuat Tisha segera menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia menyesal.
"Sha ... kenapa kamu mengingatkannya?!"
"Eh, jangan menangis. Maaf ... maaf ... kukira kamu sudah lupa."
"Kamu menyebalkan."
.
Bersambung...
