Bab 12 : baby sitter
Suara dentingan lonceng menyita atensi ketika pintu kaca itu terbuka, disusul dengan masuknya sosok jangkung yang menggendong gadis kecil berkuncir dua—yang terlihat menangis terisak—pada lengan kirinya.
Tisha yang berjaga di meja kasir sudah terlihat sibuk pagi ini. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya sibuk meneliti sebuah catatan kecil di mejanya. Saat ia merasa seseorang memasuki tokonya, ia menyapa tanpa melihatnya.
"Selamat datang di Carnation florist, ada yang bisa kami bant–" ketika gadis itu mengangkat wajah, ia tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Ah, Pak dokter datang lagi."
"Reanna sudah datang?" tanya pria itu, langsung pada tujuannya. Tangan kanannya sibuk mengelus punggung Kia yang sesenggukan karena menangis.
"Itu dia." Jari telunjuk lentik itu menunjuk salah satu sudut tempat itu, pada sosok Reanna yang sedang merangkai bunga imitasi di pojok ruangan.
Setelah pandangan mata biru itu menemukan sosok yang ia cari, ia mengangguk sopan pada Tisha—yang kembali sibuk pada kegiatannya mendata pesanan hari ini. "Baiklah. Terima kasih."
"Anytime, Pak dokter."
Setelah itu, dr. Adams berjalan dengan langkah panjangnya mendekati Reanna. Tangisan Kia telah sedikit mereda setelah kedua mata birunya menangkap sosok gadis manis yang semalam bermain dengannya.
"Kakak~"
Merasa mendengar suara yang akhir-akhir ini familier di telinganya, gadis cantik itu segera mencari di mana suara itu berasal. Dan ... mata indah itu membelalak ketika pandangannya menangkap sosok kecil Kia yang menangis terisak pada gendongan Sang Ayah. Sontak saja ia bangkit dari tempat duduknya, lantas berlari mendekat.
"Kia? kamu kenapa, Sayang?"
"Dia menangis terus sejak bangun tidur, dia mencarimu," jelas ayah Kia.
"Iyakah?" Reanna bertanya seakan tidak percaya, kemudian memindahkan gadis kecil itu pada gendongannya.
"Kia mau cama Kakak." lengan kecil Kia segera merangkul posesif leher Reanna, masih dengan terisak-isak.
"Ssttt ... Kia bersama Kakak sekarang." Gadis itu menggoyang-goyangkan gendongannya, berusaha menenangkan tangisan Kia.
Dan ia berhasil.
Tangisan gadis kecil itu langsung mereda.
"Saya benar-benar bingung. Mencari baby sitter ternyata tidak semudah yang saya kira. Sedangkan saya tetap harus bekerja hari ini," ungkap dokter itu dengan frustrasi. Sedangkan Reanna justru tersenyum ketika mendengarnya. Ia paham apa maksud pria itu.
"Memang tujuan Pak dokter datang kemari ingin menitipkan Kia pada saya, 'kan?" tebaknya.
Pria itu mengedikkan bahunya, "mau bagaimana lagi? Kia tidak mau saya titipkan ke daycare," ungkap dokter itu. Ia sedikit menjeda ucapannya hanya untuk membelai pelan rambut putrinya yang kini berada dalam gendongan Reanna. "Saya sudah menyiapkan segala keperluan Kia untuk hari ini," lanjutnya, menunjuk mobilnya yang terparkir di halaman toko bunga itu dengan dagu. "Saya akan mengambilkannya setelah ini."
"Percayakan saja Kia pada saya, Dok. Lagi pula memang saya sendiri yang menawarkan bantuan kemarin malam, 'kan?"
Pria pirang itu mengangguk membenarkan. Sebelum kemudian ia kembali fokus pada sang putri yang sedang bergelayut manja pada gendongan Reanna.
"Kia ... Papa berangkat bekerja dulu. Jangan menyusahkan Kakak, okay?"
Kepala gadis kecil itu mengangguk dengan tangan kanannya menghapus jejak air matanya, lantas melambaikan tangan mungilnya.
"Bye, Papa~"
"Selamat bekerja, Pak dokter. Hati-hati di jalan."
***
Reanna meregangkan persendiannya setelah ia menyelesaikan beberapa buket bunga. Ada bunga mawar, gladiol, snapdragons, krisan, anyelir dan lili yang sudah disulap menjadi sangat cantik terpampang di mejanya. Hari ini mereka benar-benar sibuk.
"Kamu kerjakan daftar yang ini ya, Re. Biar sisanya aku yang kerjakan." Gadis berkuncir kuda itu datang dan menaruh secarik kertas di atas meja kayu, tepat di depan sahabatnya.
"Siap, Bos!" Reanna menaikkan tangan kanannya dengan posisi hormat, kemudian menerima kertas itu dengan semangat. Ia memanglah gadis yang giat bekerja, Tisha tahu itu.
"Tidak perlu tergesa-gesa, Re. Kita santai saja. Masih banyak waktu yang tersisa," ungkap Tisha, gadis itu kemudian ikut duduk berlesehan di samping Reanna. Sedangkan sang sahabat hanya tersenyum menanggapinya.
Sembari merangkai bunga, Reanna memperhatikan Kia yang duduk tidak jauh dari posisinya. Gadis kecil itu sedari tadi terlihat asyik memainkan sebuah game pada handphone miliknya.
Ia menatapnya miris. Sejujurnya ia merasa takut jika gadis kecil itu menjadi kecanduan gadget jika terlalu sering menggunakannya, seperti anak-anak jaman sekarang. Dan ia berinisiatif untuk mengubah kebiasaan itu pada Kia.
"Kia mau membantu kakak merangkai bunga?" tawar Reanna. Ia menyerahkan bunga sisa rangkaiannya tadi ke depan wajah cantik Kia, ia mencoba mengalihkan perhatian gadis itu.
Dan ia berhasil, seperti biasanya.
Gadis kecil itu pada akhirnya mau meletakkan handphone itu di atas karpet lembut alas mereka duduk, tetapi ia terlihat menggelengkan kepalanya. "No. Kia mau gambal."
Reanna lantas tersenyum mendengarnya. Ia segera menyingkirkan handphonenya, memasukkan benda itu ke dalam tasnya. Kemudian meraih ransel besar berwarna pink milik gadis kecil tersebut; yang berisi segala keperluannya hari ini.
"Baiklah. Kakak carikan buku gambarnya, ya?"
"Uhum." Kia mengangguk dengan semangat.
"Sepertinya dia suka sekali menggambar." Tisha yang sedari tadi hanya memperhatikan interaksi mereka dalam diam, akhirnya mengeluarkan suara.
"Kia cuka gambal bunga," ucap Kia, menanggapi kata-kata Tisha dengan senyuman secerah mentari pagi. Tangan kanan mungilnya meraih buku gambar bersampul jerapah yang diangsurkan oleh Reanna, kemudian membuka halaman pertama yang berisi gambar kucing berwarna oranye yang ia buat.
Reanna mendekat, mengambil posisi duduk di depan Kia, mata indahnya menatap kagum pada gambar gadis kecil itu.
"Coba lihat ini, Sha. Bukankah gambar ini cukup bagus untuk anak seusia Kia?" gadis itu menatap antusias sahabatnya–yang juga memperhatikan buku gambar Kia—seakan meminta penilaian.
Kedua mata Tisha mencermati setiap guratan pada kertas itu, lantas senyumannya terkembang. Gambar itu terlihat seperti gambar khas anak kecil pada umumnya, hanya saja terlihat lebih rapi dan enak dipandang.
"Memang berapa usianya?" tanya Tisha setelah mengalihkan tatapan matanya pada Reanna.
"Coba saja kamu tanya, Sha," jawab Reanna dengan senyuman bangga.
"Ah, Kia umurnya berapa?" Tisha pun mengikuti perintah sahabatnya.
"Tiga," jawab Kia sambil lalu. Ia terlihat sedang membuka satu halaman yang kosong pada buku gambar, lantas meraih berbagai alat tulis dan krayon di hadapannya.
"Tuh, dia tahu. Kia itu anak pintar, ya?" ungkap Reanna dengan gemas, secara refleks tangannya mencubit pelan pipi tembam itu.
"Cepelti Papa?" Kia malah menjawab pertanyaan Reanna dengan sebuah pertanyaan. Gadis kecil itu lantas menatap polos dirinya, tatapan yang terlihat begitu menggemaskan di mata Reanna. Tentu saja hal itu sukses memancing gadis itu untuk menggelitiki tubuh mungil si kecil Kia.
"Kau lucu sekali. Kakak jadi gemas~"
"Ahaha ... geyi~ ampun, Kakak~" Kia dan Reanna saling tertawa bersahutan, sehingga tempat itu terasa begitu ramai dan lebih hidup dari sebelumnya.
Melihatnya, Tisha tidak bisa untuk tidak tersenyum lega. Ia bahagia melihat tawa lepas kembali menghiasi wajah sahabatnya. Ia merasa, sepertinya Reanna sudah berhasil mengatasi kesedihannya karena dikhianati Kalandra beberapa waktu lalu.
.
Bersambung...
