Bab 13
"Untuk melupakan seseorang, kita membutuhkan seseorang, bukan?"
***
Rachel meneguk salivanya saat menyadari semua pasang mata kini tertuju padanya. Ini akibat Rachel yang baru saja turun dari motor besar Aldi, dengan statusnya yang saat ini di mata mereka masih menjadi kekasih Darren.
"Al, gue duluan, ya?" pamit Rachel yang kemudian berjalan cepat seraya menutupi sebagian wajahnya.
"Eh, Chel!" Aldi berusaha menghentikan Rachel, namun usahanya sia-sia. Gadis itu melangkah terlalu cepat, hingga Aldi tidak bisa mengejarnya.
Namun, bukannya berusaha lagi, lelaki itu malah berdiri seraya menatap punggung Rachel yang kian menghilang. Jangan lupakan seulas senyum tipis penuh arti tercetak di bibirnya.
"Bagus juga ide lo."
Aldi menoleh, dan mendapati Lisa yang kini tengah berdiri di belakangnya dengan tatapan lurus ke depan. Aldi yakin, Lisa menyaksikan semuanya sejak tadi.
"Udah gue bilang, kan? Misahin mereka berdua itu, gampang." Aldi tersenyum puas.
"Ya ya ya, gue akui lo benar." Lisa memutar bola matanya malas, "sekarang, misi terakhir kita."
Alis Aldi terangkat satu, "Apa?" tanyanya seraya menoleh menatap Lisa.
"Bikin mereka saling benci." Lisa melipat kedua tangannya di depan dada.
"Gampang." Aldi menjentikkan jarinya.
**
Rachel menghela napasnya saat ia berhasil sampai di kelasnya dengan selamat. Yah, bisa dikatakan selamat karena sepanjang perjalanannya ke kelas tidak ada satupun orang yang menghentikan Rachel.
Biasanya, ada saja orang kepo yang menghentikan langkah Rachel hanya semata-mata untuk mengetahui hubungannya dengan Darren. Rachel tidak mengerti, mengapa mereka sangat ingin tahu?
"Muka lo kenapa, Chel?" tanya Luna yang baru sadar kalau sahabatnya sudah tiba.
"Panjang ceritanya, Na." Rachel menghela napas.
"Di antara kita berdua cerita apapun terasa pendek, Chel. Cerita, buruanc." Luna memaksa.
"Nanti deh, pas istirahat. Bentar lagi pak Ayan masuk," sahut Rachel yang sebenarnya malas untuk bercerita saat ini.
"Nggak, cerita sekarang. Pak Ayan nggak masuk, kok. Makanya dia nitipin tugas tadi pagi ke guru piket." Luna memasang senyum penuh kemenangannya.
"Harus banget, ya?" keluh Rachel, "gue lagi males banget, Lun."
"Cerita se-ka-rang," ucap Luna menekan kata sekarang.
Rachel menghela napas. "Tadi pagi, gue berangkat dianter sama Aldi. Lo tau sendirikan, fansnya Darren tuh sensitif sama gue."
"Terus?" Luna menaikkan sebelah alisnya, "lo disinisin lagi?"
Rachel mengangguk lemas.
"Udah berapa kali sih, gue bilangin ke elo, Chel?" Luna menatap tajam sahabatnya itu, "angkat dagu lo, jangan nunduk terus! Lo itu nggak salah, kenapa lo bertingkah seolah lo salah?"
"Tuhkan." Rachel menggerutu. "Ini alasan gue males cerita, lo pasti kebawa suasana dan marah sama gue."
"Chel, gue itu sahabat lo. Sahabat mana yang diem aja waktu sahabatnya digituin? Gue juga nggak bisa belain lo di depan mereka, dan satu-satunya yang bisa ngangkat diri lo cuman diri lo sendiri."
"Udah lah, Lun. Kita nggak usah bahas ini lagi." Rachel membuang wajahnya ke arah samping.
"Gue cuman nggak mau lo terus-terusan begini, Chel. Seakan-akan lo adalah penjahat, padahal lo itu korban."
"Ya, mau gimana lagi, Lun? Emang dari awal resiko gue pacaran sama Darren itu, kan? Apalagi gue bukan dari kalangan yang setara sama Darren, minimal bagi mereka yang cocok sama Darren ya Lisa." Rachel merebahkan kepalanya di atas meja dengan lipatan tangannya dijadikan bantal.
"Jablay gitu," cibir Luna. "Bagusan lo kemana-mana lah, Chel. Lo juga bisa dapet yang lebih baik daripada cowok kayak Darren, harus."
"Udah ah, Lun. Gue males ngomongin dia," ucap Rachel.
"Pokoknya lo harus move on, ya! Dia pergi tanpa alasan, jangan biarin dia balik dengan seribu alasan."
"Iya, Lunaaa," sahut Rachel gemas.
"Lo juga butuh seseorang, Chel." Luna ikut merebahkan kepalanya di atas meja seraya menoleh ke arah Rachel.
"Seseorang buat?"
"Buat ngelupain Darren, lah! Luka itu harus ditutup, nggak bisa diobatin sendiri. Dan, orang yang paling cocok sama lo adalah ... "
Alis Rachel terangkat satu. "Siapa?"
"Aldi," jawab Luna yang membuat Rachel terkekeh.
"Yakali, gue udah sahabatan dari SMP, Lun. Masa gue pacaran sama dia? Bakal aneh ntar."
"Justru itu yang bagus, Chel. Lo udah saling kenal, udah tahu satu sama lain. Harusnya lo lebih gampang jatuh cinta sama Aldi yang perhatian, daripada Darren yang dingin gitu."
"Mereka beda, Lun. Jangan dibandingin."
"Jelas beda, Aldi sayang sama lo tulus. Sedangkan Darren?"
"Udah, ah. Gue males ngomongin cowok."
"Pikirin Aldi ya, Chel. Awas aja lo sampe nggak move on dari cowok kayak Darren."
"Iya Luna, gue move on."
Kalau bisa.
"Untuk melupakan seseorang, kita membutuhkan seseorang, bukan?"
***
Rachel meneguk salivanya saat menyadari semua pasang mata kini tertuju padanya. Ini akibat Rachel yang baru saja turun dari motor besar Aldi, dengan statusnya yang saat ini di mata mereka masih menjadi kekasih Darren.
"Al, gue duluan, ya?" pamit Rachel yang kemudian berjalan cepat seraya menutupi sebagian wajahnya.
"Eh, Chel!" Aldi berusaha menghentikan Rachel, namun usahanya sia-sia. Gadis itu melangkah terlalu cepat, hingga Aldi tidak bisa mengejarnya.
Namun, bukannya berusaha lagi, lelaki itu malah berdiri seraya menatap punggung Rachel yang kian menghilang. Jangan lupakan seulas senyum tipis penuh arti tercetak di bibirnya.
"Bagus juga ide lo."
Aldi menoleh, dan mendapati Lisa yang kini tengah berdiri di belakangnya dengan tatapan lurus ke depan. Aldi yakin, Lisa menyaksikan semuanya sejak tadi.
"Udah gue bilang, kan? Misahin mereka berdua itu, gampang." Aldi tersenyum puas.
"Ya ya ya, gue akui lo benar." Lisa memutar bola matanya malas, "sekarang, misi terakhir kita."
Alis Aldi terangkat satu, "Apa?" tanyanya seraya menoleh menatap Lisa.
"Bikin mereka saling benci." Lisa melipat kedua tangannya di depan dada.
"Gampang." Aldi menjentikkan jarinya.
**
Rachel menghela napasnya saat ia berhasil sampai di kelasnya dengan selamat. Yah, bisa dikatakan selamat karena sepanjang perjalanannya ke kelas tidak ada satupun orang yang menghentikan Rachel.
Biasanya, ada saja orang kepo yang menghentikan langkah Rachel hanya semata-mata untuk mengetahui hubungannya dengan Darren. Rachel tidak mengerti, mengapa mereka sangat ingin tahu?
"Muka lo kenapa, Chel?" tanya Luna yang baru sadar kalau sahabatnya sudah tiba.
"Panjang ceritanya, Na." Rachel menghela napas.
"Di antara kita berdua cerita apapun terasa pendek, Chel. Cerita, buruanc." Luna memaksa.
"Nanti deh, pas istirahat. Bentar lagi pak Ayan masuk," sahut Rachel yang sebenarnya malas untuk bercerita saat ini.
"Nggak, cerita sekarang. Pak Ayan nggak masuk, kok. Makanya dia nitipin tugas tadi pagi ke guru piket." Luna memasang senyum penuh kemenangannya.
"Harus banget, ya?" keluh Rachel, "gue lagi males banget, Lun."
"Cerita se-ka-rang," ucap Luna menekan kata sekarang.
Rachel menghela napas. "Tadi pagi, gue berangkat dianter sama Aldi. Lo tau sendirikan, fansnya Darren tuh sensitif sama gue."
"Terus?" Luna menaikkan sebelah alisnya, "lo disinisin lagi?"
Rachel mengangguk lemas.
"Udah berapa kali sih, gue bilangin ke elo, Chel?" Luna menatap tajam sahabatnya itu, "angkat dagu lo, jangan nunduk terus! Lo itu nggak salah, kenapa lo bertingkah seolah lo salah?"
"Tuhkan." Rachel menggerutu. "Ini alasan gue males cerita, lo pasti kebawa suasana dan marah sama gue."
"Chel, gue itu sahabat lo. Sahabat mana yang diem aja waktu sahabatnya digituin? Gue juga nggak bisa belain lo di depan mereka, dan satu-satunya yang bisa ngangkat diri lo cuman diri lo sendiri."
"Udah lah, Lun. Kita nggak usah bahas ini lagi." Rachel membuang wajahnya ke arah samping.
"Gue cuman nggak mau lo terus-terusan begini, Chel. Seakan-akan lo adalah penjahat, padahal lo itu korban."
"Ya, mau gimana lagi, Lun? Emang dari awal resiko gue pacaran sama Darren itu, kan? Apalagi gue bukan dari kalangan yang setara sama Darren, minimal bagi mereka yang cocok sama Darren ya Lisa." Rachel merebahkan kepalanya di atas meja dengan lipatan tangannya dijadikan bantal.
"Jablay gitu," cibir Luna. "Bagusan lo kemana-mana lah, Chel. Lo juga bisa dapet yang lebih baik daripada cowok kayak Darren, harus."
"Udah ah, Lun. Gue males ngomongin dia," ucap Rachel.
"Pokoknya lo harus move on, ya! Dia pergi tanpa alasan, jangan biarin dia balik dengan seribu alasan."
"Iya, Lunaaa," sahut Rachel gemas.
"Lo juga butuh seseorang, Chel." Luna ikut merebahkan kepalanya di atas meja seraya menoleh ke arah Rachel.
"Seseorang buat?"
"Buat ngelupain Darren, lah! Luka itu harus ditutup, nggak bisa diobatin sendiri. Dan, orang yang paling cocok sama lo adalah ... "
Alis Rachel terangkat satu. "Siapa?"
"Aldi," jawab Luna yang membuat Rachel terkekeh.
"Yakali, gue udah sahabatan dari SMP, Lun. Masa gue pacaran sama dia? Bakal aneh ntar."
"Justru itu yang bagus, Chel. Lo udah saling kenal, udah tahu satu sama lain. Harusnya lo lebih gampang jatuh cinta sama Aldi yang perhatian, daripada Darren yang dingin gitu."
"Mereka beda, Lun. Jangan dibandingin."
"Jelas beda, Aldi sayang sama lo tulus. Sedangkan Darren?"
"Udah, ah. Gue males ngomongin cowok."
"Pikirin Aldi ya, Chel. Awas aja lo sampe nggak move on dari cowok kayak Darren."
"Iya Luna, gue move on."
Kalau bisa.
REVISI 17 MEI 2020
