Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12

"Rasanya aku ingin benci, rasanya aku ingin tidak peduli. Sayangnya, aku tidak bisa."

-Rachel-

Rachel baru saja selesai membereskan kotak makanan yang tadi dibawa Luna dan Mika. Kedua orang itu sudah pulang, karena Rachel yang menyuruhnya. Gadis itu tidak bisa memperkirakan kapan Ibu tirinya pulang, dan jika Ibu tirinya tau ada teman Rachel yang berkunjung ke rumah, pasti ia akan kembali mendapatkan siksaan.

Setelah memastikan kondisi rumahnya kembali seperti semula seperti terakhir kali Ibunya berada di rumah, Rachel kembali masuk ke dalam kamar tidurnya. Gadis itu membuka satu persatu kancing seragam yang ia kenakan, kemudian melepas kemeja putih itu dan menggantungnya di belakang pintu kamar.

Rachel menatap pantulan tubuhnya yang kurus di kaca, ada beberapa bekas luka di sekujur tubuhnya. Itu adalah perbuatan Alena-Ibu tirinya. Alena suka memukul, mencubit dan melakukan hal lain yang menyakiti Rachel.

Padahal, Rachel tidak tau di mana letak kesalahannya. Dulu Alena menyayanginya, sebelum Alena resmi menjadi Ibu tiri Rachel. Sekarang Rachel paham, sikap Alena dulu hanya sebagai topeng untuk mengambil hatinya.

Ada satu hal kecil yang sangat mengganjal di hati Rachel, ia masih tidak terima dengan kepergian Ibu kandungnya. Ibunya pergi di saat Rachel sangat butuh hadirnya sosok Ibu. Sosok Ibunya yang lembut dan baik, digantikan oleh Alena yang pemarah dan kejam. Seolah penderitaan Rachel belum berakhir, kini hidup mewah yang dulu Rachel rasakan, tidak dapat lagi ia miliki.

Itu semua juga ulah Alena, Ibu tirinya itu gemar mengikuti investasi dan arisan yang berlebihan. Sampai uang perusahaan Ayah Rachel yang menjadi korban dan akhirnya mereka jatuh miskin, karena itulah Ayah Rachel harus pergi merantau untuk mencari pekerjaan karena di sini Ayahnya sudah diblacklist dari semua perusahaan akibat kasus korupsi yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Beruntung Ayah Rachel bisa bebas dari penjara dengan uang jaminan yang didapatkan dari hasil menjual segala aset yang tersisa.

Rachel menghela napasnya berat, kenapa hidupnya begitu sengsara?

***

Tiga puluh menit laki-laki itu tetap di sana. Tak beranjak seinci pun dari posisinya. Dengan guyuran shower menyala yang membasahi tubuhnya. Ia merasa kedinginan, tapi tak satu pun ekspresi ia tunjukkan.

Darren memutar keran showernya, membuat buliran air itu berhenti menjatuhi tubuhnya. Ia meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya yang basah, setelah itu Darren melangkah keluar. Mengambil pakaian santainya, dan merebahkan tubuhnya ke atas kasur.

Biasanya, di saat seperti ini ada pesan singkat yang berisikan spam hal tidak penting dari Rachel. Dan Darren selalu mengabaikan pesan itu, karena menurutnya itu tidak penting. Untuk apa juga ia membalas pertanyaan konyol seperti; kamu di mana?, sudah makan? Sudah mandi? Atau pertanyaan lainnya yang Darren rasa tidak penting.

Tanpa Darren sadari, itu adalah bentuk perhatian kecil yang Rachel berikan padanya. Perhatian yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun termasuk para sahabatnya, atau Ayah dan Ibunya.

Dan, kini, Darren tidak akan pernah mendapatkan perhatian itu dari siapapun lagi.

**

Rachel mengikat tali sepatunya dengan lesu. Gadis itu masih merasakan kantuk yang luar biasa, akibat ia baru tertidur selama satu jam. Ini akibat Alena yang membangunkan Rachel pukul satu malam, dan menyuruhnya mencuci baju dan piring, serta membereskan rumah.

Entah di mana letak akal sehat Alena, menyuruh Rachel melakukan pekerjaan rumah di tengah malam seperti itu. Rachel tidak berani menolak, karena takut Alena akan memukulinya tau melakukan hal yang lebih parah dari itu.

Belum habis penderitaannya Rachel terpaksa berjalan kaki ke sekolah, karena ongkosnya untuk naik bus yang diberikan oleh Ayahnya telah habis. Alena tidak mau repot-repot memberikan Rachel ongkos untuk berangkat ke sekolah, padahal ia yang menyuruh Rachel untuk menggunakan bus.

Hal ini yang membuat Rachel terpaksa berangkat lebih pagi untuk bisa sampai tepat waktu ke sekolahnya, sepuluh kilo meter bukan lah jarak yang dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki.

Rachel mulai berjalan keluar komplek rumahnya. Matahari masih belum sepenuhnya menampakkan diri, udara dingin membuat Rachel semakin tersiksa. Ini karena jaket yang ia kenakan, meiliki bahan yang tipis sehingga tidak mampu memberinya kehangatan lebih.

"Sendirian aja?"

Rachel menoleh ke belakang, dan mendapati Aldi yang sudah berdiri di belakangnya. Yang semakin mengherankan, cowok itu sudah memakai seragam rapi sepertinya. Sepele memang, tapi untuk apa Aldi berangkat sepagi ini?

"Kenapa bengong gitu?" Aldi terkekeh seraya mengusap kepala Rachel.

"Lo mau ke sekolah?" tanya Rachel.

Aldi menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gue mau ke pasar."

"Ke pasar kok pake seragam?"

Aldi tertawa geli, cowok itu mencubit pipi Rachel dengan gemas. "Ya mau ke sekolah lah, Bego. Diboongin mau aja."

Rachel menepis tangan Aldi dari pipinya. "Sakit!"

"Sakitan mana, dicubit, apa dicuekin?" goda Aldi.

Rachel mendengus kesal. "Nggak usah mulai deh, ya."

"Cie, ngambek." Aldi mengacak rambut Rachel, kemudian merangkul gadis itu, "berangkat bareng gue, yuk."

"Emm .... " Rachel menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa? Lo sama Darren udah putus, kan?" Aldi menatap Rachel dengan alis terangkat satu.

"Udah, tapi ..., "

"Tapi apa?" tanya Aldi, "takut Darren cemburu? Dia aja nggak peduli sama lo, Chel. Gimana mau cemburu."

"Bukan itu, Al. Gue takut aja, kalo gue dinilai buruk sama orang," sahut Rachel dengan nada ragu.

"Chel, lo hidup bukan atas penilaian orang lain." Aldi menatap lurus ke arah mata Rachel, "sebaik apapun lo, pasti ada aja orang yang nggak suka sama lo. Kenapa? Karena mereka iri, mereka nggak bisa kayak lo. Lo nggak bisa terus-terusan hidup dengan mendengarkan judge orang, lo cuman punya dua tangan, gunain buat nutup telinga lo biar lo nggak bisa denger mereka ngomongin lo."

"Tapi, Al─"

"Udah, diem. Mending sekarang kita berangkat ke sekolah." Aldi menarik tangan Rachel.

"Kita mau ke mana?" tanya Rachel bingung.

"Ke sekolah, lah. Tapi kita ambil motor gue dulu, tadi gue ngikutin lo jalan kaki soalnya." Aldi terkekeh.

Rachel mengangguk pasrah, baru beberapa langkah ia mengekor di belakang Aldi, cowok itu berhenti mendadak. Membuat tubuh mungil Rachel menabrak punggung Aldi. Rachel mendengus seraya mengelus jidatnya, baru saja ia berniat mengomel, namun terhenti karena Aldi terlebih dahulu bersuara.

"Oh iya, Chel. Satu lagi," ucap Aldi, "move on."

"Iya, Al. Gue berusaha, kok. Move on itu nggak gampang," sahut Rachel dengan nada malas.

"Move on itu gampang, Chel. Berhenti mencari tahu, berhenti peduli, dan yang terakhir, untuk melupakan seseorang, lo membutuhkan seseorang."

Dan orang itu adalah Gue. Sambung Aldi dalam hati.

"Rasanya aku ingin benci, rasanya aku ingin tidak peduli. Sayangnya, aku tidak bisa."

-Rachel-

Rachel baru saja selesai membereskan kotak makanan yang tadi dibawa Luna dan Mika. Kedua orang itu sudah pulang, karena Rachel yang menyuruhnya. Gadis itu tidak bisa memperkirakan kapan Ibu tirinya pulang, dan jika Ibu tirinya tau ada teman Rachel yang berkunjung ke rumah, pasti ia akan kembali mendapatkan siksaan.

Setelah memastikan kondisi rumahnya kembali seperti semula seperti terakhir kali Ibunya berada di rumah, Rachel kembali masuk ke dalam kamar tidurnya. Gadis itu membuka satu persatu kancing seragam yang ia kenakan, kemudian melepas kemeja putih itu dan menggantungnya di belakang pintu kamar.

Rachel menatap pantulan tubuhnya yang kurus di kaca, ada beberapa bekas luka di sekujur tubuhnya. Itu adalah perbuatan Alena-Ibu tirinya. Alena suka memukul, mencubit dan melakukan hal lain yang menyakiti Rachel.

Padahal, Rachel tidak tau di mana letak kesalahannya. Dulu Alena menyayanginya, sebelum Alena resmi menjadi Ibu tiri Rachel. Sekarang Rachel paham, sikap Alena dulu hanya sebagai topeng untuk mengambil hatinya.

Ada satu hal kecil yang sangat mengganjal di hati Rachel, ia masih tidak terima dengan kepergian Ibu kandungnya. Ibunya pergi di saat Rachel sangat butuh hadirnya sosok Ibu. Sosok Ibunya yang lembut dan baik, digantikan oleh Alena yang pemarah dan kejam. Seolah penderitaan Rachel belum berakhir, kini hidup mewah yang dulu Rachel rasakan, tidak dapat lagi ia miliki.

Itu semua juga ulah Alena, Ibu tirinya itu gemar mengikuti investasi dan arisan yang berlebihan. Sampai uang perusahaan Ayah Rachel yang menjadi korban dan akhirnya mereka jatuh miskin, karena itulah Ayah Rachel harus pergi merantau untuk mencari pekerjaan karena di sini Ayahnya sudah diblacklist dari semua perusahaan akibat kasus korupsi yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Beruntung Ayah Rachel bisa bebas dari penjara dengan uang jaminan yang didapatkan dari hasil menjual segala aset yang tersisa.

Rachel menghela napasnya berat, kenapa hidupnya begitu sengsara?

***

Tiga puluh menit laki-laki itu tetap di sana. Tak beranjak seinci pun dari posisinya. Dengan guyuran shower menyala yang membasahi tubuhnya. Ia merasa kedinginan, tapi tak satu pun ekspresi ia tunjukkan.

Darren memutar keran showernya, membuat buliran air itu berhenti menjatuhi tubuhnya. Ia meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya yang basah, setelah itu Darren melangkah keluar. Mengambil pakaian santainya, dan merebahkan tubuhnya ke atas kasur.

Biasanya, di saat seperti ini ada pesan singkat yang berisikan spam hal tidak penting dari Rachel. Dan Darren selalu mengabaikan pesan itu, karena menurutnya itu tidak penting. Untuk apa juga ia membalas pertanyaan konyol seperti; kamu di mana?, sudah makan? Sudah mandi? Atau pertanyaan lainnya yang Darren rasa tidak penting.

Tanpa Darren sadari, itu adalah bentuk perhatian kecil yang Rachel berikan padanya. Perhatian yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun termasuk para sahabatnya, atau Ayah dan Ibunya.

Dan, kini, Darren tidak akan pernah mendapatkan perhatian itu dari siapapun lagi.

**

Rachel mengikat tali sepatunya dengan lesu. Gadis itu masih merasakan kantuk yang luar biasa, akibat ia baru tertidur selama satu jam. Ini akibat Alena yang membangunkan Rachel pukul satu malam, dan menyuruhnya mencuci baju dan piring, serta membereskan rumah.

Entah di mana letak akal sehat Alena, menyuruh Rachel melakukan pekerjaan rumah di tengah malam seperti itu. Rachel tidak berani menolak, karena takut Alena akan memukulinya tau melakukan hal yang lebih parah dari itu.

Belum habis penderitaannya Rachel terpaksa berjalan kaki ke sekolah, karena ongkosnya untuk naik bus yang diberikan oleh Ayahnya telah habis. Alena tidak mau repot-repot memberikan Rachel ongkos untuk berangkat ke sekolah, padahal ia yang menyuruh Rachel untuk menggunakan bus.

Hal ini yang membuat Rachel terpaksa berangkat lebih pagi untuk bisa sampai tepat waktu ke sekolahnya, sepuluh kilo meter bukan lah jarak yang dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki.

Rachel mulai berjalan keluar komplek rumahnya. Matahari masih belum sepenuhnya menampakkan diri, udara dingin membuat Rachel semakin tersiksa. Ini karena jaket yang ia kenakan, meiliki bahan yang tipis sehingga tidak mampu memberinya kehangatan lebih.

"Sendirian aja?"

Rachel menoleh ke belakang, dan mendapati Aldi yang sudah berdiri di belakangnya. Yang semakin mengherankan, cowok itu sudah memakai seragam rapi sepertinya. Sepele memang, tapi untuk apa Aldi berangkat sepagi ini?

"Kenapa bengong gitu?" Aldi terkekeh seraya mengusap kepala Rachel.

"Lo mau ke sekolah?" tanya Rachel.

Aldi menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gue mau ke pasar."

"Ke pasar kok pake seragam?"

Aldi tertawa geli, cowok itu mencubit pipi Rachel dengan gemas. "Ya mau ke sekolah lah, Bego. Diboongin mau aja."

Rachel menepis tangan Aldi dari pipinya. "Sakit!"

"Sakitan mana, dicubit, apa dicuekin?" goda Aldi.

Rachel mendengus kesal. "Nggak usah mulai deh, ya."

"Cie, ngambek." Aldi mengacak rambut Rachel, kemudian merangkul gadis itu, "berangkat bareng gue, yuk."

"Emm .... " Rachel menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa? Lo sama Darren udah putus, kan?" Aldi menatap Rachel dengan alis terangkat satu.

"Udah, tapi ..., "

"Tapi apa?" tanya Aldi, "takut Darren cemburu? Dia aja nggak peduli sama lo, Chel. Gimana mau cemburu."

"Bukan itu, Al. Gue takut aja, kalo gue dinilai buruk sama orang," sahut Rachel dengan nada ragu.

"Chel, lo hidup bukan atas penilaian orang lain." Aldi menatap lurus ke arah mata Rachel, "sebaik apapun lo, pasti ada aja orang yang nggak suka sama lo. Kenapa? Karena mereka iri, mereka nggak bisa kayak lo. Lo nggak bisa terus-terusan hidup dengan mendengarkan judge orang, lo cuman punya dua tangan, gunain buat nutup telinga lo biar lo nggak bisa denger mereka ngomongin lo."

"Tapi, Al─"

"Udah, diem. Mending sekarang kita berangkat ke sekolah." Aldi menarik tangan Rachel.

"Kita mau ke mana?" tanya Rachel bingung.

"Ke sekolah, lah. Tapi kita ambil motor gue dulu, tadi gue ngikutin lo jalan kaki soalnya." Aldi terkekeh.

Rachel mengangguk pasrah, baru beberapa langkah ia mengekor di belakang Aldi, cowok itu berhenti mendadak. Membuat tubuh mungil Rachel menabrak punggung Aldi. Rachel mendengus seraya mengelus jidatnya, baru saja ia berniat mengomel, namun terhenti karena Aldi terlebih dahulu bersuara.

"Oh iya, Chel. Satu lagi," ucap Aldi, "move on."

"Iya, Al. Gue berusaha, kok. Move on itu nggak gampang," sahut Rachel dengan nada malas.

"Move on itu gampang, Chel. Berhenti mencari tahu, berhenti peduli, dan yang terakhir, untuk melupakan seseorang, lo membutuhkan seseorang."

Dan orang itu adalah Gue. Sambung Aldi dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel