Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 – Gadis Penakut

Stella menatap koper di hadapannya dengan pikiran yang menerawang ke depan. Raut wajah yang tampak muram. Dia terus memikirkan apa yang telah dia putuskan. Stella berharap ini semua adalah mimpi. Berkali-kali dia meyakinkan ini tidak nyata. Tapi tidak, ini semua kenyataan yang harus dia hadapi. Dia tidak menyangka dirinya berani mengambil keputusan itu. Sebuah keputusan yang pasti akan dia sesali seumur hidupnya. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain. Jika Stella egois, akan banyak saudaranya yang akan menderita.

“Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini. Cepat keluar.” Sean berkata begitu dingin, dan menusuk di indra pendengaran Stella.

“Kau mau membawaku ke mana?” tanya Stella dengan suara pelan. Tatapannya kini teralih, menatap iris mata cokelat arogan Sean.

“Kau masih bertanya aku membawamu ke mana setelah kau menyetujui apa penawaran yang aku ajukan?” Sebelah alis Sean terangkat, dia tersenyum misterius pada Stella. “Kau tidak memiliki hak untuk bertanya.”

Mata Stella sudah berkaca-kaca. Saat air matanya hendak menetes, dengan cepat Stella menghapus air matanya. Dia tidak ingin saudara di pantinya ada yang melihatnya menangis.

“Kita pergi sekarang,” ucap Sean dingin dengan nada yang tidak ingin dibantah.

Stella mengangguk. Dia melangkah mengikuti Sean dari belakang. Namun, saat Sean dan Stella hendak meninggalkan panti, langkah mereka terhenti kala melihat sosok wanita paruh baya menghampiri mereka dengan tergesa-gesa.

“Tuan Sean.” Ibu pengurus panti menunduk, menyapa Sean dengan sopan.

Sean menatap pengurus panti di hadapannya dengan raut wajah dingin, dan tanpa ekspresi. Sorot matanya tegas. “Ada apa?”

“Maaf, Tuan Sean. Apa saya bisa berbicara berdua dengan Stella?” tanya Ibu pengus panti itu dengan sopan.

Sean hanya mengganggukan kepalanya singkat sebagai jawaban dia menyetujui permintaan Ibu pengurus panti. Kini Ibu pengurus panti itu langsung menarik tangan Stella meninggalkan Sean.

“Bu, ada apa?” tanya Stella dengan wajah yang sedikit pucat ketika dia sudah keluar dari ruangan itu.

“Stella, Ibu tidak salah dengar, kan? Kau akan bekerja menjadi pelayan di rumah Tuan Sean?” Raut wajah pengurus panti itu tampak begitu bahagia kala menanyakan hal itu. Terlihat iris matanya, menatap bangga Stella.

Stella menganggukan kepalanya. “Iya, Bu. Aku akan ikut Tuan Sean. Aku akan bekerja dengannya.”

Tidak ada pilihan lain, Stella mengaku pada seluruh saudara di pantinya bekerja sebagai pelayan di rumah Sean. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada semua orang. Hanya dengan beralasan sebagai seorang pelayan yang bisa dia katakan.

Ibu pengurus panti itu tersenyum penuh arti. Dia mendekat seraya mengelus lengan Stella. “Kau harus ingat, sejak kau bayi kau tinggal di panti ini. Banyak uang yang aku keluarkan untukmu dan saudaramu di panti. Kau harus selalu mengirimkan uang pada kami. Terlebih kau bekerja dengan pria kaya raya seperti Tuan Sean. Ibu yakin, kau akan mendapatkan gaji yang tinggi.”

“Tapi, Bu—”

“Sudah, tidak ada kata tapi. Tuan Sean sudah menunggumu.” Ibu pengurus panti itu berucap tegas, dia menarik tangan Stella kembali menghampiri Sean.

“Tuan Sean maaf karena membuat anda menuggu,” ucap Ibu pengurus panti dengan sopan. Dia mengulas senyuman yang seolah-olah tulus kala tiba di hadapan

Sean tidak merespon perkataan pengurus panti itu. Dia melirik arolojinya dan berucap dingin, “Aku tidak memiliki banyak waktu di sini. Jika sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, aku akan membawa Stella.”

***

Sean membawa Stella ke rumahnya. Raut wajah gadis itu kian memucat kala memasuki rumah yang begitu besar dan tampak sepi. Malam yang sudah larut, membuat Stella takut. Pasalnya, jika sudah malam seperti ini para pelayan akan masuk ke dalam bungalow.

“Tuan, apa kau tinggal di sini sendiri?” Stella bertanya dengan suara pelan. Rumah besar itu tampak gelap, dan menakutkan. Ditambah banyak lukisan-lukisan yang menyeramkan, membua nyali Stella menciut.

“Menurutmu?” Sean menatap dingin Stella, membalikan pertanyaan gadis itu.

“A-Apa anda tidak tinggal dengan orang tua anda?” Stella menelen salivanya susah payah. Dia bahkan tidak bisa berpikir, bagaimana tinggal di rumah sebesar ini seorang diri. Hanya banyak penjaga di depan rumah.

“Di ujung sebelah kiri, itu kamarmu.” Sean menunjuk kamar yang dimaksud, tanpa menjawab pertanyaan Stella.

Stella hanya menggangguk dan melangkah masuk ke dalam kamar itu. Saat Stella memasuki kamar itu, dia tampak kagum melihat kamar begitu besar dengan ranjang yang empuk. Ya, selama ini Stella selalu tidur bersama-sama dengan saudara pantinya yang lain.

Ketika Stella menyentuh setiap pajangan yang ada di kamar itu, tenggorokannya mulai mengering. Dia hendak mengambil teko yang ada di atas meja, namun teko itu sudah kosong. Terpaksa Stella keluar kamar, dia menuruni tangga mencari dapur. Stella ingin sekali memanggil Sean, tapi dia lupa bertanya di mana kamar pria itu. Sedangkan dia tidak menemukan satu pelayan pun ada di rumah ini.

Stella berjalan mengendap-endap mencari dapur. Dia ingin menghidupkan lampu, tapi dia bingung di mana letak saklar lampu. Udara malam yang dingin menelusup ke tubuh Stella, membuat gadis itu merinding ketakutan. Jika bukan karena dirinya sangat haus, Stella lebih baik memilih mengunci diri di kamar.

“Dapur ada di sebelah mana?” guman Stella dengan wajah yang memucat karena ketakutannya.

“Lebih baik aku kembali saja.” Wajah Stella memucat, rumah ini begitu menyeramkan. Dia langsung berbalik, namun tiba-tiba..

Brukkk

“Akhh—” Stella menjerit keras kala dia seperti menabrak seseorang. Dia menutup mata dan tidak berani membukanya. Bahunya gemetar ketakutan.

“Buka matamu, Stella.” Suara bariton yang Stella kenali, membuat ketakutannya sedikit mereda.

“Tuan Sean?” Napas Stella mulai beraturan melihat Sean yang berdiri di hadapannya. Sungguh, rumah ini benar-benar membuat ketakutan begitu melanda dirinya. Nuansa hitam berkombinasi abu-abu, ditambah dengan banyak lukisan yang terlihat menyeramkan. Stella tidak mengerti, kenapa pria di hadapannya itu mengoleksi lukisan menyeramkan itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Sean bertanya dengan nada dingin, dan tatapan lekat pada Stella.

“A-Aku haus. Aku ingin mengambil minum.” Stella berucap dengan nada gugup. Dia menunduk, tidak berani menatap Sean.

“Angkat wajahmu ketika bicara denganku,” titah Sean tegas.

Stella menelan salivanya susah payah, dia memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Sean. Hal yang membuat Stella tidak berani menatap pria yang berdiri di hadapannya itu karena Sean memiliki sepasang mata yang tegas seperti burung elang, yang membuat nyali Stella menciut setiap kali melihatnya.

“Kau takut dengan gelap?” tanya Sean dingin.

Stella menggeleng cepat. “Tidak, aku tidak takut. Aku hanya terkejut saja.”

“Benarkah?” Alis Sean terangkat, menatap penuh curiga.

“Iya, aku tidak takut.” Stella menjawab berusaha tidak gugup.

Sean menyeringai dengan senyuman mengejek. Kini dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Stella. Sesaat, dia menatap wajah Stella yang memucat. Anak rambut gadis itu, menutupi wajahnya. Sean menarik dagu Stella, menatap manik mata abu-abu wanita itu dengan lekat dan penuh intimidasi, “Sayangnya aku tahu, kau adalah gadis penakut.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel