
Ringkasan
Keterpurukan membuat Stella harus dipertemukan dengan Sean, pemilik lahan panti asuhan tempat di mana dia dibesarkan. Gadis berparas cantik itu terpaksa memohon pada Sean, agar tidak menggusur panti asuhannya. Segala cara Stella lakukan agar Sean mengabulkan permohonannya. Namun sayangnya permintaannya selalu ditolak oleh pria tampan arogan itu. Hingga suatu ketika ada sesuatu hal yang diinginkan Sean, sebagai bentuk pertukaran lahan panti yang akan pria itu gusur. “Apa yang bisa kau tawarkan jika aku mengabulkan permintaanmu?” tanya Sean dengan serigai di wajahnya. “Apa yang anda inginkan, Tuan?” Stella mendongakkan kepalanya, menatap manik mata cokelat gelap Sean. “Dirimu.” Sean menjeda, raut wajah arogannya terpancar begitu serius. “Kau bisa menawarkan dirimu sebagai imbalan atas apa yang kau inginkan.”
Bab 1 – Apa yang bisa kau tawarkan?
Seorang gadis berlari mengejar mobil yang baru saja terparkir di area panti asuhannya. Raut wajahnya pucat, dan rambut yang sedikit berantakan nyatanya tetap membuat gadis itu terlihat cantik. Gadis itu menghampiri seorang pria bersetelan jas mahal yang baru saja turun dari mobil.
“Tuan.” Gadis itu berucap dengan nada bergetar ketakutan pada pria di hadapannya.
Pria itu hanya melihat gadis itu sekilas, wajahnya yang arogan dan tatapan penuh intimidasi begitu terlihat di wajah tampan pria itu. Sorot mata tegas berhasil membuat gadis itu semakin ketakutan.
“Siapa kau?” Pria itu bertanya dengan suara dingin dan terdengar menusuk ke indra pendengarannya.
“Tuan, saya—”
“Jika kau memiliki urusan, kau bisa berbicara dengan assistantku.” Pria itu berucap tegas. Kemudian, melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
“Tuan Sean, tunggu.” Gadis itu berteriak memanggil nama pria itu dengan cukup keras, hingga membuat langkah pria itu terhenti.
Pria itu terdiam, dan masih memunggungi gadis yang memanggil namanya. Didetik selanjutnya, pria itu berbalik, menatap dingin gadis itu.
“Dari mana kau tahu namaku?” Sean bertanya dengan tatapan begitu dingin, menatap gadis yang berdiri tidak jauh darinya.
“T-Tuan Sean. Nama saya Stella. Saya mohon, jangan menggusur lahan ini, Tuan. Anda bisa mencari tempat lain. Kami sudah lama tinggal di sini, Tuan.” Stella berucap lirih. Matanya mulai memerah, menatap Sean penuh dengan permohonan.
“Kau tinggal di panti asuhan ini?” Sean menatap penampilan gadis yang berdiri di hadapannya itu. Sesaat Sean terdiam, gadis di hadapannya ini berpenampilan sedikit berantakan. Kulitnya putih pucat dan iris mata abu-abu yang membuatnya menebak gadis itu memiliki darah campuran.
Stella mengangguk. “Benar, Tuan. Saya tinggal di sini. Saya mohon, jangan menggusur panti asuhan ini. Anda bisa mencari lahan yang lainnya. Tapi tidak dengan panti asuhan ini, Tuan.”
“Aku telah membayar dengan harga yang pantas. Aku bukan mengusir kalian jadi aku rasa kalian bisa pindah ke tempat lain dan gunakan uang yang aku berikan,” ucap Sean dengan tegas dengan nada penuh penekanan.
“Tuan, saya mohon. Anda memiliki segalanya. Anda pasti bisa mendapatkan lahan lain. Kami sudah lama menempati tempat ini, Tuan.” Mata Stella memerah, dan terus memohon pada Sean.
Sean mengembuskan napas kasar. Sekelebat ingatan Sean, ketika mendengar gadis di hadapannya ini memohon padanya. Kala itu assistantnya mengatakan ada seorang gadis yang pernah memaksa bertemu dengannya. Namun, tentu saja Sean tidak pernah mau bertemu dengan sembarang orang.
“Lebih baik kau dan saudaramu yang ada di panti segera berkemas, dan meninggalkan panti itu.” Sean melanjutkan langakahnya, mengabaikan permintaan gadis itu. Nadanya acuh, dan tidak peduli.
Bulir air mata Stella mulai menetes. Namun, itu tidak akan membuat dirinya menyerah. Stella kembali mengejar Sean. Saat Stella hendak menyentuh lengan Sean, seorang pengawal bertubuh besar menghadangnya. Pengawal itu mendorong tubuh Stella, tingga tersungkur di lantai.
“Awww..” Stella menjerit kesakitan. Dress yang dipakainya robek, akibat terkena batu. Paha putih mulusnya terekspos. Bahkan Stella harus menutupi pahanya itu dengan tangannya.
Sean berbalik, menatap Stella yang tersungkur di lantai. Tatapannya, menatap kaki wanita itu yang terluka. Ya, tentu saja gadis itu terluka. Tanah disekitar panti asuhan ini sangat buruk. Masih banyak batu-batu di sekitarnya. Ditambah pakaian yang dipakai gadis itu adalah dress yang memiliki bahan tipis.
Sean mengibaskan tangannya, meminta anak buahnya untuk segera mundur dan menghilang dari pandangannya. Kini Sean mendekat, dan mengulurkan tangannya membantu gadis itu berdiri. Awalnya Stella ragu untuk menerima uluran tangan Sean, namun Stella pun tidak memiliki pilihan lain. Kakinya terluka, Stella tidak bisa berdiri sendiri.
“Terima kasih, Tuan.” Stella pun menerima uluran tangan Sean, dia bangkit berdiri dengan lutut yang kini dipenuhi oleh darah.
“Ikut aku.” Sean berucap dingin. Kemudian, Sean melangkah menuju salah satu ruangan kosong, yang biasa dia pakai jika berkunjung ke panti asuhan ini.
Stella mengerjap, sedikit terkejut dengan apa yang diucapkan Sean. Saat Sean sudah lebih dulu meninggalkannya, Stella langsung berjalan cepat seraya menahan sakit pada lututnya yang terluka, menyusul Sean.
“Duduk,” titah Sean kala dia dan Stella sudah berada di ruanganya.
Stella menurut, dan duduk di sofa dengan pelan. Raut wajahnya semakin ketakutan saat berada di dalam sebuah ruangan berdua dengan Sean.
“Siapa tadi namamu?” Sean bertanya seraya menghunuskan tatapan dingin di sorot mata arogannya.
“Stella. Namaku Stella Regina.” Stella menelan salivanya ketika menyebutkan namanya. Harusnya Stella tidak takut, tapi nyatanya tatapan mata tajam Sean, membuat nyali Stella menciut.
“Kau memiliki nama yang indah.” Sean memuji namanya. Namun nada bicaranya menunjukan kearogannya. Sean memberikan tatapan yang begitu lekat, mengamati seksama gadis itu.
Stella tersenyum kaku. “Terima kasih, Tuan,” ucapnya pelan.
“Kenapa kau masih bersikeras berbicara denganku? Aku ingat, kau sering meminta assistantku untuk bisa bertemu denganku. Kau tentu tahu, berbicara denganku hanya percuma. Karena kau tidak akan mendapatkan apa yang kau minta. Keputusan yang aku ambil, tidak ada satu pun yang bisa mengubahnya.” Sean berkata begitu dingin dan menusuk.
Stella menundukan kepalanya. Dia sudah tahu ini akan terjadi. Sudah sejak satu minggu yang lalu Stella berusaha bertemu dengan Sean. Namun, tentu saja tidak mudah baginya untuk menemui pria itu. Setiap kali Stella berusaha untuk bertemu dengan Sean, maka anak buah pria itu akan menghadang. Hari ini, Stella begitu beruntung bisa bertemu dengan Sean. Stella menunggu hingga tiga jam lamanya di dekat area parkiran. Itu kenapa saat Stella melihat mobil Sean, dia langsung berlari menghampiri pria itu. Sejak awal Stella bertekad untuk tetap memperjuangkan panti asuhannya. Stella tidak ingin sampai panti asuhannya harus tergusur.
Stella menelan salivanya susah payah. Dia sedikit mengangkat dagunya, memberanikan diri menatap Sean. “Tuan, apa anda tidak memiliki rasa kasihan sedikit pun? Banyak anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu. Anda bisa memilih lahan yang lain. Tidak dengan lahan kami,” ucapnya dengan nada tegas.
“Lahan kalian?” Alis Sean terangkat, menatap gadis itu dengan mencemooh. “Kalian mendirikan bangunan di atas lahan milik orang lain. Bukan lahan milik kalian. Harusnya kalian bersyukur aku masih mau memberikan uang. Tidak mengusir secara paksa.”
“Tapi kami sudah lama tinggal di sani, Tuan. Anda berniat mendirikan mall di lahan kami. Sedangkan masih banyak lahan lain yang anda bisa dapatkan. Kenapa anda tidak memiliki rasa kasihan sedikit pun?” Suara Stella terdengar sedikit keras dan bergetar kala mengatakan itu pada Sean.
Sean menyunggingkan senyuman misterius. Kini tatapannya, melihat penampilan Stella. Gadis itu memiliki tubuh yang mungil, dan terlihat masih sangat muda. Kulit putih pucat, rambut hitam khas orang Asia, membuat sedikit menarik dimata Sean.
“Apa yang bisa kau tawarkan jika aku mengabulkan permintaanmu?” tanya Sean dengan serigai di wajahnya. Tatapanya tak lepas menatap Stella yang tampak terkejut.
