Bab 2 – Tidak Ada Yang Gratis Di Dunia Ini
“Apa yang bisa kau tawarkan jika aku mengabulkan permintaanmu?” tanya Sean dengan serigai di wajahnya. Tatapanya tak lepas menatap Stella yang tampak terkejut.
Wajah Stella memucat. Dia langsung menunduk dan bahunya bergetar ketakutan. Terlebih Sean mendekat ke arahnya. Pria itu menatapnya bagaikan singa kelaparan. Begitu tajam, dingin dan seolah akan menerkam mangsanya. Sepasang mata tajam yang terus terarah padanya, membuat Stella bagaikan seekor kucing yang menciut ketika diburu.
“Kenapa kau diam?” Sean semakin mendekat. Dia menatap gadis itu yang duduk di hadapannya. “Angkat wajahmu ketika lawan bicaramu berbicara. Aku rasa kau pasti diajarkan bagaimana menjaga sopan santunmu, bukan?” lanjutnya dengan sarkas.
Stella menelan salivanya susah payah. Dia memberanikan mengangkat wajahnya, menatap wajah Sean. Pria itu memiliki tubuh tegap dan tinggi, membuat Stella mendongakan wajahnya ke atas. Stella mengakui pria di hadapannya ini sangat tampan. Matanya yang tajam bagaikan mata elang. Rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu membuat pria itu tampak gagah. Sorot mata arogannya terpancar. Ya, pria di hadapan Stella bagaikan seorang Dewa Yunani yang mampu menyihir semua gadis yang melihatnya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Pria itu berkata begitu dingin, sontak membuat Stella menghentikan lamunannya.
Stella membeku. Dia tampak bingung tidak tahu harus menjawab apa. Pria itu menayakan imbalan apa yang didapatkan jika memenuhi permintaannya. Tidak mungkin Stella menawarkan uang. Dia pun tidak memiliki uang untuk membayar. Tapi apa yang dia bisa tawarkan?
“Tuan Sean, saya tidak memiliki apa pun. T-Tapi, jika anda ingin meminta saya untuk membayar, saya akan bekerja dan membayarnya dengan mencicil, Tuan,” jawab Stella dengan gugup. Dalam hati Stella berharap, pria di hadapannya ini segera mengabulkan permintaannya dan dia bisa pergi dari sini.
“Well, aku tidak membutuhkan uang. Aku rasa kau tahu itu.” Sean memasukan tangannya ke saku celananya. Tatapannya terpaku melihat wajah gadis yang berada di depannya semakin pucat. Dia menarik sudut bibirnya membentuk senyuman misterius ketika melihat wajah gadis itu.
“Jika bukan uang yang anda inginkan, apa yang bisa saya lakukan agar anda tidak menggusur panti asuhan kami, Tuan?” Manik mata abu-abu Stella menatap Sean penuh dengan permohonan. Dia masih berharap, pria itu memiliki belas kasihan padanya.
“Kau tahu, Stella Regina?” Sean melangkah semakin mendekat. Hingga tidak ada jarak di antara keduanya. Stella tampak gugup ketika Sean mengikis jarak di antara mereka. “Ada pepatah mengatakan, tidak ada makan siang yang benar-benar gratis di dunia ini. Apa kau pernah mendengar pepatah itu?” lanjut Sean dengan seringai kejam di wajahnya.
Tenggorokan Stella seakan tercekat. Lidahnya begitu kelu ketika dia mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Tanpa harus Sean mengatakan, dia tentu mengetahui pepatah itu. Hanya saja pepatah ‘Tidak ada makan siang yang benar-benar gratis di dunia ini.’ Membuat Stella berpikir, apa yang imbalan yang harus dia berikan. Karena uang yang dia tawarkan telah ditolak oleh Sean.
“Tuan Sean, sungguh saya tidak tahu apa yang bisa saya berikan pada anda. Karena penawaran uang yang saya tadi berikan telah anda tolak. S-Saya tidak memiliki apa pun, Tuan.” Wajah Stella semakin memucat. Bibir merah jambunya terlihat bergetar ketakutan ketika mengatakan itu.
Sean menaikan sebelah alisnya. Dia terdiam sejenak dan tak henti menatap gadis yang berada di hadapannya. Hal yang membuat Sean terpaku pada penampilan gadis itu adalah manik mata abu-abu dan rambut hitam tebal miliknya. Karena memang kebanyakan gadis berdarah Asia yang memiliki rambut hitam legam. Meski penampilan gadis di hadapannya ini sedikit berantakan, terutama dress yang dipakainya sudah robek akibat terjatuh tadi, namun gadis itu tetap menunjukan daya tariknya tersendiri.
“Sebenarnya, aku tahu apa yang kau bisa tawarkan padaku agar aku bisa mengabulkan permintaanmu.” Suara dingin dan arogan Sean terdengar di telinga Stella, membuat raut wajah gadis itu berubah. Terlihat kilatan secercah harapan dimanik mata abu-abu Stella.
“Apa yang anda inginkan, Tuan?” Stella mendongakan kepalanya, menatap manik mata cokelat Sean. Sesaat mata mereka saling bertemu, menatap satu sama lainnya. Sebuah tatapan terpancar di mata keduanya yang sulit diartikan.
“Dirimu.” Sean menjeda, raut wajah arogannya terpancar begitu serius. “Kau bisa menawarkan dirimu sebagai imbalan atas apa yang kau inginkan.”
Stella terkejut. Pancaran secercah harapan di matanya lenyap mendengar perkataan Sean. Wajahnya menegang. Bahkan dia tidak mampu berkata-kata.
“A-Apa m-maksud anda, Tuan?” Stella berucap dengan bibir yang bergetar ketakutan.
“Bukankah perkataanku sudah jelas?” Sean menyeringai penuh arti. “Kau bisa menukarkan dirimu dan imbalan yang aku berikan adalah aku tidak akan menggusur panti asuhanmu. Sebagai pembisnis, tentu aku tidak ingin rugi.”
Stella menelan salivanya susah payah. Pancaran matanya telah meredup tergantikan dengan ketakutan yang telah menulusup ke dalam tubuhnya. Dia bahkan tidak mengerti apa yang dimaksud oleh pria yang berdiri di hadapannya. Menukarkan dengan dirinya? Apa makna itu? Ribuan pertanyaan muncul dalam benak Stella. Entah apa yang ada dipikiran pria itu, tapi yang Stella tahu pria itu meminta menukar dengan dirinya seperti dirinya ini sebuah barang.
Hingga didetik selanjutnya, Stella mengumpulkan keberanian. Dia kembali mengangkat wajahnya, menatap Sean dingin. “Tuan, bagaimana mungkin anda meminta saya menukarnya dengan diri saya sendiri?” serunya dengan berani, sejak tadi Stella telah menahan diri.
Sean mengangkat bahunya tak acuh. Dia tersenyum misterius. “Lahan tempat di mana kalian membangun panti asuhan, bukanlah lahan yang murah. Meski aku memiliki banyak uang sekali pun, aku tidak pernah menginginkan kerugian dalam hidupku. Ketika kau meminta aku tidak menggusur panti asuhan kalian. Maka harus ada imbalan atas apa yang aku berikan. Seperti yang aku bilang, tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini.”
Stella menggeram. Tangannya terkepal begitu kuat. Mata yang mulai berkaca-kaca mendengar perkataan kejam pria yang ada di hadapannya. “Kenapa anda memperilakukan seorang manusia seperti layaknya barang?” serunya dengan geraman tertahan.
“Aku tidak memaksamu. Arti kata menukar dengan dirimu sangat luas. Lebih tepatnya, sepanjang hidupmu, kau telah menyerahkannya padaku. Dan kau harus menuruti setiap permintaanku. Bagiku, aku masih jauh lebih baik memperilakukanmu dari pada hanya sebuah barang.” Sean berkata begitu tajam dan menusuk.
“Aku tidak mau! Aku tidak mungkin memberikan diriku padamu!” Bulir air mata Stella menetes, membasahi pipinya. Kobaran amarah telah membendung dan hanya menunggu waktunya untuk meluap. Dia sudah tidak lagi menjaga perkataannya. Tidak peduli siapa pria yang ada di hadapannya ini.
Sean menganggukan kepalanya. “Baiklah, kalau kau tidak mau. Maka detik ini juga kau dan seluruh saudara pantimu harus keluar. Lahan yang kau injak ini adalah milikku. Aku berhak mengusir siapa pun orang yang menginjakan kakinya di tempatku.”
“Bagaimana ada manusia sekejam dirimu di dunia ini!” seru Stella dengan isak tangisnya yang keras, menggema di ruangan itu.
“Terkadang menjadi kejam dalam dunia bisnis itu perlu, Stella Regina. Mungkin kelak kau akan mempelajarinya.” Sean mengukir seringai di wajahnya kala melihat wajah Stella sudah tidak lagi berdaya.
Kini hanya terdengar suara tangisan yang memecahkan keheningan di ruangan itu.
“Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini. Lebih baik kau dan saudara pantimu segera berkemas.” Sean berbalik, dia hendak meninggalkan ruangan itu.
“Tunggu!” Suara Stella begitu keras, membuat langkah Sean terhenti.
Sean hanya diam. Dia menunggungi gadis itu. Saat ini, dia hanya mendengar isak tangis gadis itu yang mulai mereda.
“Aku setuju dengan permintaanmu.” Stella mengatakan itu dengan bibir bergetar bersamaan dengan isak tangisnya.
Sean menyeringai puas mendapatkan jawab Stella. Dia masih memunggungi gadis itu, dan tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya. Didetik selanjutnya Sean menoleh, melihat gadis itu dengan sudut matanya dan berucap dingin, “Kau harus ingat, Stella. Apa yang telah kau putuskan, tidak akan pernah bisa kau tarik kembali.”
