DDD 9
Orang paling bijaksana adalah mereka yang bisa menempatkan diri dan orang lain sesuai dengan porsinya
♥
Keesokan harinya tepat setelah pukul dua belas siang, Tanti bertolak ke Jawa. Syukur tidak ada drama yang berarti, keluarganya sudah memberikan restu. Hanya ketiga bocah yang heboh dengan tas bawaannya dan ingin membantu memasukkan ke mobil. Kali ini Tanti juga tidak ingin satu orang keluarganya mengantarkan ke bandara bahkan ia tidak memakai sopir pribadi. Ia dengan sengaja memesan taksi online.
Tanti mengecek ponselnya yang bergetar pertanda ada pesan yang masuk pertama adalah pesan dari Javier.
Javier B
Kau tak bisa berpura-pura mengacuhkan aku Tanti. Saatnya akan tiba kamu akan membayar semuanya.
Tanti hanya membaca, lalu menghapus pesan tersebut. Kemudian ada satu pesan lagi dari Si Buah Hati.
Meliora
Ma, jadi tinggal bersama Lio? Lio sakit, Ma. Cepat datang ya, Ma.
Kesedihan memenuhi hatinya. Bagaimana tidak jika jauh di sana sang buah hati sedang dalam keadaan sakit. Ditambah lagi, sang putri mengirimi dirinya fotonya yang sedang berbaring dengan kompres demam menempel di dahi.
Tanti
Tunggu Mama ya, Sayang. Segera Mama datang hari ini.
Tanti mendongak seraya mengerjapkan matanya beberapa kali menghalau bendungan air mata yang segera jebol. Ia tidak boleh menangis sekarang jika tidak ingin mengundang rasa penasaran keluarga besarnya.
“Kau baik-baik saja?” tegur Dirandra.
“Tentu Mas, jangan khawatir,” ujar Tanti dengan tersenyum lembut.
Dirandra hanya menatap sang adik lekat-lekat. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu tapi ia tidak ingin ikut campur. Adiknya adalah wanita dewasa yang pasti memiliki privasinya sendiri. Toh, jika waktunya tiba ia pasti akan mencari dirinya untuk bertukar pikiran.
Namun saat Tanti sudah berpamitan dengan yang lainnya. Dirandra tak kuasa juga mengatakan hal ini, “Hati-hati, jaga diri baik-baik ya. Kamu tahu jika membutuhkan bahu untuk bersandar. Mas masih mampu untuk menjadi sandaran adik-adiknya.”
Tak ayal ucapan Dirandra membuat air mata yang sedari ia tahan tercurah pada akhirnya mengalir lancar menuruni pipi halusnya.
“Jangan menangis Sayang. Mas akan selalu ada untukmu.” Tangan Dirandra terulur mengusap cairan bening itu dan memeluk sang adik erat-erat.
“Makasih Mas.” Hanya itu yang mampu terucap oleh Tanti saat ini walaupun dorongan untuk mengadu dan bertukar pikiran dengan sang kakak sulung sangat menggodanya.
“Kabari kami kalau sudah sampai ya?”
“Tentu Mas.” Tanti mengangguk sebelum masuk ke mobil dan melaju dari sana.
Sekitar tiga puluh menit dari rumahnya tiba-tiba sopir membanting stir ke kiri dan berhenti secara mendadak. Suara decit ban yang nyaring tentu saja terdengar sangat mengerikan di telinga Tanti. Terlebih jalan yang mereka lalui sedang sepi saat ini.
“Wong edan!” Begitu rutuk sang sopir.
Tanti yang masih berkutat menetralkan detak jantungnya hanya berani mencondongkan badan bertanya pada sang sopir, “Ada apa Pak?”
“Itu Neng. Ada mobil tiba-tiba memotong jalan dan sekarang berhenti melintang tepat di depan kita.”
“Hah, siapa juga itu sih iseng banget?!” Baru saja selesai Tanti berucap dan ikut jengkel dengan pemilik mobil yang entah siapa gerangan itu. Kaca mobil di sebelahnya diketuk dari luar.
“Jangan buka Neng berbahaya,” pinta sang sopir.
Tanti merapatkan tubuhnya ke jok penumpang dan mengangguk gugup.
Lagi, suara ketukan terdengar keras, Empat orang berbadan tinggi besar mengepung mobil tersebut dan suara yang sangat familiar terdengar tajam di telinga Tanti.
“BUKA PINTUNYA TANTI ATAU AKU TAK SEGAN MEMBAKARNYA!”
Bar-bar sekali pemilik suara ini. Tak ayal membuat sang sopir yang ikut mendengarnya menjadi ciut nyalinya.
“Gimana ini Neng?”
Tanti menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan secepatnya. “Bapak tenang saja, biar saya hadapi dia. Saya kebetulan kenal dengan pemilik suara ini.”
Tanti kemudian segera membuka pintu mobil dan tanpa bergerak turun ia segera bertatap muka dengan Javier dengan wajahnya yang memerah, amarah sudah menguasai pria itu.
“Sudah berani melawan aku rupanya? Mengabaikan pesanku dan kini kamu akan pergi seperti pengecut seperti dulu, begitu bukan? Kamu bahkan takut menghadapi tubuh tak bernyawa?!” herdik Javier langsung tanpa basa-basi.
“Apa maksudmu?”
“Iya, setelah membuat Elina memutuskan diriku secara sepihak dan dirinya yang patah hati mengalami kecelakaan dan membuat dirinya meninggal di tempat. Kamu pergi juga dari sini menghilang selama tiga tahun dan baru kembali. Benar begitu bukan?”
“Kamu ngomong apa sih?” Tanti menatap Javier dengan sorot kebingungan.
Dahulu ia memang pergi, namun bukan karena tak ingin menghadapi javier setelah malam terkutuk itu. Ia pergi untuk menuntut ilmu dan merelakan cintanya demi sang sahabat.
“Kamu ini memang licik dan picik Tanti. Kejahatanmu sudah sampai mendarah daging, aku heran bagaimana anggota keluargamu sampai tidak mengetahui kepribadianmu yang ini? Apalagi kehidupanmu yang liar sampai hamil di luar nikah.”
Jantung Tanti serasa berpindah ke kakinya. Pucat pasi wajahnya karena sakit hati dengan penghinaan yang diucapkan oleh Javier tersebut. Cukup sudah, Tanti sudah tidak ingin mau tahu lagi. Tanti baru menyadari jika sikap Javier selama ini hanya ingin membalas dendam padanya. Balas dendam dengan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.
Tanti menarik napas dalam-dalam, paru-parunya terasa akan meledak kali ini. “Bukan aku yang jahat sampai mendarah daging. Tapi kebodohanmu sepertinya memang sudah mendarah daging ya. Tanyakan pada hati kecilmu, siapa yang salah dan benar. Jangan ego aja digedein!”
“Lagi pula Elina mati bukan karena kecelakaan dan kalian juga sudah putus lama jangan konyol, atau kamu memang menduakan dirinya juga?”
Tanti sungguh tak habis pikir bukannya Javier bertunangan dengan Alisya, kenapa malah bahas Elina?
Javier mendengkus jengkel seraya menatap tajam ke arah Tanti. Ia kemudian mengulurkan tangan hendak menarik Tanti untuk keluar dari mobil.
Tanti segera menepis tangan Javier secara kasar dan sedikit menjauh, menjaga jarak dari jangkauan tangan pria itu. “Jauhkan tanganmu, aku tak sudi berurusan dengan orang pendendam sepertimu. Dasar bucin gila! Kalau mau sedih, ya sedih aja sendiri. Jangan cari kambing hitam, Kamu pikir aku samsak hidup apa? Ingat bukan aku yang hadir di antara kalian.”
“Apa maksudmu?” tanya Javier.
“Cari tahu sendiri. Kamu kan pintar. Sudah berhenti usik hidupku dan anakku, dia bukan tanggung jawabmu. Jalan Pak,” ucap Tanti seraya mendorong mundur Javier yang termangu dan segera menutup pintu dan memerintahkan Pak sopir untuk pergi dari sana.
Mobil segera bergerak mundur dan pergi meninggalkan Javier bersama dengan anak buahnya yang masih berdiam di tempat. Keempat anak buah Javier diam karena tidak ada perintah apapun dari pria itu. Javier menekuri jalan aspal di depannya seraya memikirkan ucapan Tanti tadi. Ada sesuatu yang janggal di sini dan Tanti memang benar selama ini ia hanya menerima begitu saja berita yang disampaikan padanya tanpa kembali mencari tahu kebenarannya. Semua karena amarahnya yang tidak lagi bisa menemukan keberadaan Tanti kala itu. Kenyataan telak menghantam benak Javier, untuk apa ia terusik dengan kepergian Tanti saat itu, sementara ia memiliki kekasih?
♥
Tanti meninggalkan Javier dengan menangis dalam diam. Ia sejatinya tidak suka dengan keributan namun sikap tidak tahu diri Javier memang sudah seharusnya dihentikan. Ia tidak ingin menjadi seperti kakak iparnya yang menjadi sasaran balas dendam yang tidak tepat sasaran.
Konyol bukan, ia yang kehilangan cinta tetapi dirinya juga yang harus mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pria yang seharusnya pergi jika memang tidak menginginkannya. Apalagi pria itu selalu menyebutnya sebagai duri dalam daging dalam hubungannya dengan sang kekasih Elina Widayanti.
Elina Widayanti adalah sahabat baiknya. Teman kuliah kakaknya Dany dan dekat dengannya karena mereka memiliki minat yang sama dan memutuskan untuk membuka usaha toko bunga potong. Kebetulan seorang kenalan baik Tanti adalah seorang suplayer bunga potong salah satu yang terbaik di kota itu.
