Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

DDD 7

Amarah dan kebencian teralihkan sejenak karena lahirnya rasa untuk melindungi dan dibutuhkan

Dua Minggu kemudian

Tanti sudah tidak bisa membuang waktu lebih lama lagi. Kabar terbaru nenek sedang sakit jadi esok ia harus sudah pergi. Tanti tentu gelisah takut sang putri tidak ada yang mengurus, walau di sana juga ada anggota keluarga yang lain. Bahkan Meliora sudah mengatakan berkali-kali jika dirinya bisa mengurusi dirinya sendiri. Tanti tentu sangat bangga dengan putrinya tersebut. Dengan usia yang baru akan menginjak delapan tahun ia sudah bisa menanak nasi dan memasak ala kadar untuk dirinya sendiri.

Tanti juga sudah berjanji merayakan ulang tahun sang putri di sana. Tanti sedih sekali karena acara harus mundur disebabkan ia tidak bisa meninggalkan Asoka yang mendadak sakit, kepikiran karena kepergiannya. Lalu hari ini ia menyempatkan diri untuk mengantarkan bocah lelaki itu untuk terapi, sebagai syarat ia boleh pergi besok.

“Titi, Asoka laper banget nih. Mau ayam goreng, burger sama kentang goreng dong,” pinta Asoka yang masih mendapatkan terapi pengurutan ringan pada tangan dan kakinya yang memang bermasalah.

“Nanti ya ganteng, habis terapi,” bujuk Tanti.

“Kenapa ya, kalau terapi pasti Asoka rasanya lapar banget?” tanya Asoka.

“Karena lebih banyak gerak dan mengeluarkan energi berlebih,” terang Wiwid terapis Asoka.

“Kalau di rumah Asoka nggak boleh terlalu berkeringat loh, Bu. Soalnya kalau Asoka banyak gerak terus capek, pasti trus sakit, semua tangan sama kaki yang ini,” terang Asoka, sambil menunjuk pada tangan dan kakinya.

“Kalau di sini sakit nggak?” tanya Wiwid seraya menekan lembut pada sendi lutut Asoka.

“Enggak kan diurut-urut. Tapi Asoka jadi lapar.”

“Iya nggak apa, habis ini Asoka maem ya yang banyak biar cepat besar.”

Tanti memperhatikan interaksi Asoka dan sang terapis yang sangat lancar dan akrab. Tanti mengambil ponselnya yang berdering nyaring dan mengulum senyum saat mengetahui siapa yang menghubungi.

“Ya Teh?”

“Kamu masih di rumah sakit?”

“Masih nih.”

“Syukur kalau gitu. Bang Javier akan segera menyusul ke sana.”

Tanti berdeham dan kemudian bertanya, “Untuk apa Teh?”

Sepertinya harapan tanti untuk tenang tidak bertemu dengan pria itu pupus sudah. Padahal ia sudah cukup lega dua minggu ini sudah tak melihat batang hidung pria itu lagi. Bahkan saat ada rapat pemegang saham di kantor milik Dirandra. Pria itu hanya diwakili oleh orang kepercayaannya.

“Jemput kalianlah.”

“Ah, nggak usah. Aku sama Asoka mau we time di resto sebelah. Tahu kan favoritnya Asoka.”

Tanti masih mencoba peruntungannya siapa tahu kakak iparnya itu mau menyetujui, pendapatnya itu. Namun lagi-lagi ia harus kecewa. Nampak nada kekhawatiran dalam suara kakak iparnya. Tanti berusaha menetralkan kegelisahan dirinya juga, rasanya ia tidak siap untuk beradu argument dengan siapa pun di sisa hari ini.

“Udah tunggu aja. Jangan pergi dulu. Tunggu Bang Javier, dia pasti mau antar nanti,” ujar Kamini dengan mengabaikan nada gelisah dalam suara Tanti karena pemikirannya hanya keselamatan anak bungsunya itu.

“Ok deh,” ujar Tanti dengan terpaksa mengalah demi situasi tidak semakin di luar kendali Javier. Namun bukan dengan dirinya yang merasa antara rindu dan enggan bertemu dengan pria itu.

Setengah jam kemudian Asoka dan Tanti sudah berdiri di depan lobby rumah sakit. Bocah kecil itu sudah merengek ingin segera menyantap makanan keinginannya itu.

“Nah itu Papi Javi udah datang. Asoka sabar ya.”

“Kok, Papi ikutan dengan kita? Titi bilang mau we time berdua aja?”

“Maunya gitu, tapi tadi Ambu telpon. Papi Javi mau ikut dengan kita.”

“Asik, Papi suruh traktir kita aja,” ujar Asoka dengan bersemangat begitu melihat mobil pamannya sudah hampir berada di dekat mereka.

“Papi ikut makan sama Asoka dan Titi ya?” tanya Asoka begitu anak itu duduk dengan baik di bangku belakang.

Kali ini Javier tidak mendebat melihat Tanti yang memilih duduk bersama dengan Asoka di bangku belakang, walaupun ia terkesan seperti supir kedua orang tersebut. Javier hanya membukakan pintu dalam diam tanpa menyapa Tanti sama sekali dan mengangguk menanggapi pertanyaan Asoka. Javier hanya menatap raut sendu dan kelelahan yang dipancarkan sinar mata Tanti. Sepertinya wanita itu sedang memiliki masalah, dan entah mengapa Javier merasa terusik, Javier jelas tidak suka dengan perasaan ini.

Mobil yang dikemudikan oleh Javier segera meninggalkan rumah sakit dan menuju restoran favorit Asoka. Tanpa mereka sadari ada satu buah mobil mini van membuntuti mereka. Begitu Javier memarkirkan kendaraannya dan mematikan mesin mobil. Tanti yang sudah tidak tahan berada di dekatnya segera ingin membuka pintu mobil dengan menggendong Asoka.

“Asoka jalan sendiri saja,” pinta bocah tersebut. Namun Tanti tetap bersikeras menggendongnya, ia ingin memiliki sesuatu sebagai pegangan karena rasa tersinggung dirinya yang telah diabaikan oleh Javier.

“Turunkan saja-.” Belum selesai Javier berkata dua orang berbadan kekar menghampiri mereka bertiga dan dua di antaranya berusaha merebut Asoka dari gendongan Tanti.

Mereka mungkin menganggap sepele keberadaan Javier yang seorang diri tetapi perhitungan mereka salah, Javier dengan mudah melumpuhkan mereka bertiga dengan Tanti yang menjerit sekencang mungkin sehingga menarik perhatian orang-orang yang sedang mengantri di dalam resto guna membantu mereka. Tanti ngeri melihat Javier yang juga tidak luput dari bogem mentang ketiga orang tersebut walau pada akhirnya Asoka dengan menangis histeris tetap aman dalam gendongannya.

Mereka bertiga lari tunggang langgang dan segera masuk ke minivan yang siap tepat di pinggir jalan tersebut saat banyak masa mengejar mereka bahkan ada beberapa orang yang melempari mobil tersebut dengan batu.

Javier spontan memeluk Tanti dan Asoka yang masih saking berpelukan serta menangis bersama itu.

“Ayo kita makan dulu baru pulang. Asoka mau kan?” tanya Javier lembut seraya mengambil alih menggendong bocah tersebut.

Tanti menurut memberikan Asoka kepada Javier. Javier menanyakan hal itu pada Asoka seolah kejadian traumatis yang baru saja terjadi, tidak pernah ada.

Asoka tersenyum simpul menghentikan isakannya seraya mengangguk. Tangannya terulur meminta tanti untuk menggandengnya. Tanti menyambut uluran tangan keponakannya dan mereka berjalan beriringan ke dalam resto bagaikan keluarga kecil yang bahagia.

Tanti masih juga diam membisu sampai mobil Javier terparkir rapi di halaman rumah Kamini. “Sebaiknya kamu segera memberikan obat dan mengompres memarmu,” ujar Tanti seraya membuka pintu mobil.

Tangan Tanti yang lain ditahan oleh Javier. “Apa?” tanya Tanti seraya mengerutkan kening. Mereka hanya berdua di dalam mobil. Asoka sudah terlebih dulu membuka pintu dan berjalan cepat masuk ke rumah karena sang ibu sudah menunggu di beranda depan.

“Obati lukaku,” kata Javier tegas tak terbantahkan.

Tanti mengerjapkan kedua bulu mata lentiknya, ia takut salah dengar barusan. Seorang Javier meminta dirinya, untuk mengobati?

“Aku tidak salah dengar?” tanya Tanti lirih. tangannya yang sedari tadi ingin membuka pintu membeku di tempat.

“Ya, tentu saja. Kamu belum tuli bukan?” Javier berkata dengan raut wajah datarnya.

Tanti menghembuskan napas penuh kejengkelannya. Mungkin Javier adalah satu-satunya orang yang ia kenal yang meminta sesuatu sekaligus menghina dalam waktu yang bersamaan. Tidak ada sopannya sama sekali. Mulutnya itu loh, tajam sekali pemirsa. Pisau daging kalah tajam sama lidahnya dan tukang cium yang tidak diragukan lagi keahliannya, tentu saja.

“Obati sendiri lukamu. Manja sekali,” sungut Tanti dengan kejengkelan yang kali ini tidak ia tahan dan bergerak membuka pintu.

Kali ini berganti dengan lengan atasnya yang ditahan oleh Javier dengan ketat. “Kau harus mau,” ucap Javier dengan keras kepala.

“Kok maksa sih?!” protes Tanti bahkan hingga mengerutkan dahinya menatap tajam ke arah Javier.

“Kamu berhutang nyawa denganku.”

Mata Tanti terbuka lebar, kaget dan tak percaya dengan apa yang diutarakan oleh Javier barusan. “Apa kamu bilang, berhutang nyawa? Yang benar saja!”

“Bayangkan saja, jika tidak ada aku tadi. Bagaimana dengan nasibmu dan Asoka?” ujar Javier dengan santai.

“Oh, jadi kamu perhitungan sekarang?”

“Hanya denganmu saja, aku begitu.” Javier tersenyum miring melihat kekesalan Tanti. Ia tahu Tanti tidak akan berani menolak keinginannya.

“Ish ... menyebalkan sekali. Ya udah, cepat turun aku obati.” Pada akhirnya Tanti juga mengalah dan memilih menuruti permintaan pria itu. Daripada urusan hutang nyawa diungkit-ungkit. Heran, Javier sungguh menyebalkan hari ini. Namun setahu Tanti, Javier tidak pernah seperti itu dengan anggota keluarga yang lainnya. Tidak mungkin Javier ingin menarik perhatiannya bukan?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel