Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

DDD 6

Tak harus berasal dari rahim dan aliran darah yang sama untuk menjadi seorang wanita yang pantas mendapatkan cinta tak terbatas dari seorang anak

Semua mata berpaling menatap ke arah Asoka yang berdiri tak jauh dari sana dengan membawa sebuah mobil-mobilan yang terlepas salah satu rodanya. Dengan raut wajahnya yang memerah dan air mata yang berlinang, berjalan tertatih mendekati keberadaan Tanti dan langsung melepaskan mainan dalam genggaman dan jatuh dalam pelukan sang bibi. Bibi yang telah merawatnya sedari bayi merah dan tak pernah membedakan kasih sayang yang ia dapat dan juga saudaranya yang lain.

“Jangan pergi, Asoka sama siapa?” isak bocah kecil itu dengan keras dan menyayat hati.

Isakan keras Asoka serta bujuk rayu Tanti dengan penuh kelembutan tak urung mengundang perhatian Javier yang baru saja bangun dan hendak menuangkan kopi. Teko yang dipegangnya berhenti, ia memalingkan wajah menatap interaksi antara Tanti dan Asoka.

“Dengar Nak, Titi harus pergi ya. Asoka bukannya mau tinggal dengan Ayah dan Ambu?”

“Iya, tapi Asoka juga nggak mau jauh dari Titi. Kalau nanti Asoka kangen gimana?”

“Titi akan pergi tapi tidak sekarang masih ada waktu. Toh, nanti Asoka bisa Video Call dengan Titi ya Nak? Titi harus kerja, ya?”

Tanti sungguh tak tega begitu menatap raut wajah malaikat kecil yang ia rawat sedari bayi tersebut. Keinginan yang menggebu untuk segera pergi begitu mendapatkan izin dari keluarganya, menguap begitu saja oleh rengekan keponakannya. Namun Tanti hanya ingin mengulur waktu sebentar saja, sampai saudaranya tak begitu kerepotan dan sudah bisa beradaptasi mengurusi tiga bocah sekaligus. Tanti harus tetap pergi ada hati yang lebih membutuhkan dirinya ketimbang bocah yang masih saja berurai air mata di depannya saat ini sampai sang ipar datang dan menenangkan dalam dekapan.

“Rencana kapan kamu akan pergi?” tanya Dirandra.

“Bulan depan Mas, sudah mulai persiapan musim panen. Kami juga sedang mengembangkan untuk sentra pembuatan selai dan sirup.”

“Sudah sampai sejauh mana pengembangan usahamu?”

“Baru produksi Wine Mas. Tanti kerjasama dengan Pak Prapto dan Mas Wahyu.”

Javier mengerutkan alis mendengar penuturan Tanti. Agar aksi mengupingnya tidak kentara ia segera menyelesaikan urusannya di meja penuh aneka macam minuman ini dan beralih meraih croissant yang sudah tersaji nikmat di depan meja.

Kenapa harus dengan banyak pria sih dia bekerjasama? Gerutunya dalam hati.

“Jadi kamu akan pindah ke Jawa Timur?”

“Iya,” jawab Tanti singkat. Ia tidak ingin mengumbar informasi terlalu banyak dan membuat seseorang yang sedang sarapan itu menjadikan senjata untuk lebih menekannya. Tanti masih ingat syarat yang ia ajukan semalam belum dijawab oleh pria tersebut dan kini Tanti semakin merasa murahan.

Tanti meraih cangkir tehnya dan tiba-tiba teringat jika semalam pria itu mengeluarkan cairannya di dalamnya. Susah payah ia menelan teh hangat yang sudah terkulum dan kemudian memaksanya agar tertelan. Tanti berdoa dalam hati dengan tangannya yang mulai gemetar bahwa ia tidak akan mudah hamil hanya karena satu kali permainan. Ia lupa memeriksa kapan masa suburnya berlangsung. Sikap tubuhnya yang tampak kaku dan perubahan raut wajahnya sangat disadari oleh seluruh anggota keluarga yang terkumpul di sana.

“Jika kamu punya kendala beritahu kami. Ada masalah dengan pekerjaanmu?” tanya Burhan. Ia merasa sang putri tampak berbeda hari ini, tak ceria seperti biasanya. Apalagi tanpa ada pemberitahuan sebelumnya tiba-tiba ingin merantau, lagi. Terlebih menutupi usahanya, sungguh ia merasa tidak mengenali anak bungsunya ini atau ia mungkin kurang peka dengan apa yang dialami gadisnya?

“Tidak Yah, semua baik-baik saja. Jadi gimana, bolehkan Tanti pergi?” tanyanya lagi. Ia seolah lupa apakah tadi pertanyaannya sudah disetujui oleh mereka semua atau tidak. Pikirannya yang terbelah dan antisipasi dengan sikap Javier mengganggu konsentrasinya seolah pria itu akan peduli saja.

Tanti mendengkus jengkel pada hatinya yang murahan, benaknya yang masih saja mendamba penuh harapan bahwa pria itu akan peduli dan menginginkannya, benarkah demikian? Tak sadar ia menggeleng berulang kali menghilangkan pikiran tersebut. Mengingat raut wajah penuh gairah dan lumatan bibir Javier yang berpengalaman membangkitan sesuatu yang sangat ingin dilupakan oleh Tanti. Ia tidak ingin terluka kembali.

“Kamu kenapa Nak?” tanya Tania penuh kekhawatiran. Ia masih belum bisa menerima kenyataan jika anak bungsunya tak semanja yang ia ketahui, mandiri malah.

“Ah ... tidak kenapa-kenapa. Tanti mau pergi dulu keluar ya?”

“Mau ke mana?”

“Mau ke Mall sebentar.”

“Kamu bebas melakukan apapun hari ini. Anak-anak biar kami yang urus, sekali-sekali urus dirimu sendiri,” kata Dirandra. Ia tahu sekali, adiknya selama ini sudah penuh totalitas membantu dirinya mengurusi kedua buah hatinya.

Tanti tentu lega sekali, ia berharap keluarganya tak ada satupun yang merasa curiga. Tanti segera bangkit dan menghabiskan teh dalam cangkirnya dan menuju dapur. Ia berhenti dekat meja makan sebentar saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Javier.

“Urusan kita belum selesai, Tanti.”

“Aku rasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku sudah mengajukan syaratku semalam bukan?” ujar Tanti yang tidak melihat ke arah Javier begitu juga dengan pria itu yang lebih memilih menatap apa yang tersaji di meja. Beruntung bagi keduanya tak satu pun orang yang memperhatikan mereka.

“Ada, jika kau lupa. Aku masih belum menyetujui syaratmu.”

Tanti terpaku di tempatnya berdiri dan kali ini memalingkan wajah menatap Javier yang bangkit dan memundurkan kursinya. Pria itu dengan santai meraih cangkir bekas Tanti yang dipegang oleh wanita itu dengan tangan bergetar.

“Jangan bercanda,” lirih Tanti yang jelas hanya bisa didengar mereka berdua.

“Apa aku tampak bercanda, bagaimana kalau kamu hamil? Aku masih ingat semalam mengeluarkan di dalam.” Javier berkata dengan santainya seolah itu hal yang biasa.

“Sekalipun aku hamil bukan urusanmu,” kata Tanti dengan suara tercekat.

Ya, Tanti akan pergi dan itu mutlak menjadi urusannya. Tidak ada Javier dalam agenda hidupnya di masa depan. Hanya dia dan Si Buah Hati.

“Oh ya, kamu pikir aku akan diam saja dengan membiarkan keturunan Berto berada di luar sana? Hanya dalam mimpimu, Manis. Paling tidak jika kamu mengandung anakku, tak akan ada pria lain yang Sudi menerimamu. Kau murahan sekali jika tidak mau melibatkan bapak dari anakmu dalam kehidupannya. Seberapa banyak anak haram yang akan kamu asuh, huh? Katakan padaku? Seorang Tanti Ekadanta yang terkenal lembut dan penyayang ternyata memiliki anak di luar nikah.”

Javier meninggalkan Tanti dengan berjalan menuju dapur serta mencuci bekas peralatan makan dan cangkir milik Tanti juga. Sementara Tanti berdiri dengan menahan isakan. Apa yang dikatakan Javier walaupun menyakitkan adalah benar adanya, terlebih mereka tinggal di negara ingin yang sangat menjaga adab ketimuran. Tanti jelas merasakan dilema. Namun jika harus berurusan lebih lama dengan Javier ia pun merasa tak sanggup. Mulut tajam dan tatapan yang kadang penuh permusuhan serta manghakimi jelas Tanti tak kuasa untuk menghadapi.

Tanti segera mencari tempat parkir di basement salah satu mall besar ini. Hanya mengingat Meliora, segala keresahan hatinya sejenak bisa ia kesampingkan. Ia berjalan dengan ceria menuju swalayan besar. Ia membelikan sang putri beberapa pakaian dan mainan terbaru serta buku bacaan di toko langganan, lalu sekalian makan siang di sana juga. Saat ia memesan makanan tiba-tiba Ferdi datang menghampirinya.

“Kamu sudah selesai belanja?” tanya Ferdi.

“Eh, Mas. Sini gabung.”

Ferdi segera duduk di kursi yang berhadapan dengan Tanti.

“Itu semua untuk dedek?”

Tanti mengangguk seraya mengulum senyum Ferdi membalasnya juga. Pria itu senang menatap keceriaan wajah Tanti, cantik dan natural.

“Iya Mas.”

“Kalau begitu bisa sekalian nanti Mas bawa saja. Tapi kalau besok kamu masih mau ketemu sama Mas di kafe boleh banget.”

“Tentu Mas.”

Tanti tentu saja tak ingin menolak ajakan pria baik hati ini. Pria yang banyak berjasa dan juga bisa menutup rahasia yang dimilikinya selama ini dengan baik.

Setelah makan siang, Ferdi bersikeras untuk membawakan semua belanjaan Tanti. Dengan ceria, bercanda, tertawa bersama mendengar lelucon dari Ferdi dan bertukar cerita mereka bersisian seperti sepasang kekasih yang berbelanja bersama.

Mereka tidak menyadari jika gerak- gerik mereka di lobby mall terpantau oleh seseorang yang membidikkan kameranya dan mengirimkan hasil kepada Javier.

Javier yang mendapatkan hasil bidikan itu hanya bisa mengepalkan kedua tangannya di atas meja kerjanya. Dadanya bergemuruh marah. Gadis itu tak pernah tertawa selepas itu jika berhadapan dengannya.

“Senyum itu akan lenyap, segera. Aku pasti akan menyingkirkan pria itu dari hidupmu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel