DDD 5
Melepaskanmu sama halnya dengan membiarkan luka dan kekosongan hati ini semakin meraja
♥
Javier terjaga dari tidur lelapnya yang terasa sudah sangat lama tidak ia rasakan pada pukul dua dini hari. Ia melirik pada wanita yang sampai detik ini masih berada dalam pelukannya meringkuk nyaman, bahkan tanpa sadar lengan mungil Tanti bersandar nyaman di atas dada Javier. Seolah memang di sana tempatnya berasal. Javier menggeser secara perlahan dan kemudian menepi setelah memastikan bahwa Tanti tidak terusik dalam tidurnya. Ia segera meraih pakaiannya yang berceceran dan mengenakan tanpa mengalihkan pandangan pada wanita yang masih tertidur pula.
Javier mencoba menyakinkan dirinya bahwa ia tetap pada rencananya untuk membuat Tanti kembali menggilainya dan lantas ia akan menghancurkannya tanpa sisa. Syarat yang diajukan Tanti hanya akan menjadi angin lalu. Dengan itu Javier akan tetap melontarkan ancamannya jika perlu ia akan mengingatkan wanita yang masih suka memakai baju seksi itu setiap harinya. Setelah merasakan kehangatan dalam tubuh Tanti tak urung membuat miliknya yang tentu saja sehat sudah berdiri tegak kali ini. Javier mengerang tertahan, tapi tentu tak ingin membangunkan Tanti. Sebrutal dan sejahat apapun dirinya, tentu saja ia tidak akan memaksa jika lawan mainnya tidak dalam kondisi fit. Javier tentu tidak semaniak itu. Namun entah mengapa membayangkan kedua jarinya yang saat ini sedang iya tatap, bermain di dalam lembah kenikmatan milik Tanti seketika membuat seluruh syaraf dan pembuluh darahnya berdesir penuh damba.
Javier mendekat ke arah ranjang meraih salep di atas nakas dan dengan lembut mengoleskan pada kening Tanti. Ajaib hal itu tidak membuat wanita cantik itu terbangun. Padahal setahu Javier dan menurut penuturan Tania, bundanya Tanti. Wanita itu akan terbangun dengan mudah jika ada orang yang berada di sekitarnya saat tidur, dimanapun tempatnya. Javier menekan dagu Tanti dengan jempolnya agar semakin membuka, merundukkan tubuhnya dengan bertumpu pada siku salah satu lengannya ia melumat pelan bibir wanita itu. Setelahnya ia segera pergi dari sana sebelum berubah pikiran, membangunkan dan kembali meniduri wanita itu. Tanti terasa pas dengan tubuhnya .
Javier membuka daun pintu perlahan dan melihat sekitar, memastikan jika tidak ada satu orang pun melihat dirinya keluar dari kamar Tanti. Namun lagi-lagi harapan tinggallah harapan. Saudara sulungnya Edgar dengan melipat tangan di depan dada seraya bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu kamarnya, yang itu berarti tepat di depan batang hidungnya kali ini. Wajah Edgar datar tidak menunjukkan emosi apapun.
“Aku pikir kamu akan selamanya berada di sana?” tanya Edgar dengan santai seraya mengurai lipatan tangan dan memasukkan pada kantong jubah tidurnya.
Javier menutup pintu kamar Tanti dengan perlahan dan dengan santai ia menjawab, “Jangan mimpi Bang.”
“Oh ya, aku tidak bermimpi hanya aku berharap. Adikku akan melakukan sesuatu yang tepat kali ini?”
“Tidak ada yang salah dengan apa yang kami lakukan. Tanti, wanita yang bebas. Kami bukan juga sedarah dan lagi pula aku tahu dia sudah tak lagi perawan. Lalu apa yang kami lakukan tadi atas dasar mau sama mau,” balas Javier semakin dingin.
Lantas bukan Edgar namanya, jika tidak bisa memahami emosi lawan bicaranya kecuali sang istri tentu saja. Apalagi ini adiknya yang bahkan saat kecil pernah ia bantu menggantikan popoknya.
“Aku tahu little brother,ingat usiamu sudah 30 tahun. Pertimbangkan masak-masak segala keputusanmu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari. Aku tak ingin mencampuri urusanmu lebih dari ini. Namun jika sedikit saja kamu berani mencoreng nama keluarga Berto dan Ekadanta, kau tentu tahu apa yang akan aku lakukan terhadapmu,” ucapan Edgar masih amat sangat lirih dan santai, namun bagi Javier dan saudaranya yang lain. ucapan sang kakak sulung tidak pernah bisa disepelekan. Ia sudah menjaga mereka semua dengan sangat baik, mencintai semua bagian dari keluarganya tanpa tetapi, itulah Edgar Berto. Setelah mengatakan kalimat terakhir itu, Edgar segera pergi dari sana, meremas bahu sang adik sekilas dan berlalu meninggalkan Javier yang masih terpaku di tempat memalingkan wajah menatap daun pintu kamar Tanti yang tertutup sebelum masuk ke kamarnya dan membersihkan diri sebelum tidur, ia sangat butuh air dingin saat ini. Sial betul, hanya dengan membayangkan wajah Tanti saja sekujur tubuhnya sudah merinding mendamba.
♥
Tanti menggeliat, lalu memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Tubuhnya terasa tak karuan, nyeri hampir di setiap bagian. Namun hatinya jelas telah mantap untuk segera pergi dari sana. Terlebih mengingat tujuh hari dari sekarang sang putri akan segera merayakan ulang tahunnya.
Putri kecilnya, miliknya. Rahasia terindah dan ia akan menjaga sepenuh hati dengan nyawanya. Seandainya pun jika keluarga Ekadanta tidak mengakui keberadaan anak tersebut. Tanti masih terlalu pengecut dan merasa dirinya sangat murahan. Namun apa yang terjadi di masa lalu tidak bisa diperbaiki kembali, sudah menjadi suratan takdir harus begitu adanya.
Tanti mendesah lega bahwa Si Pria sudah pergi dari kamarnya. Ia melirik ke nakas tepat saat ia melihat layar ponselnya menyala terang menampilkan wajah ayu, putri kecilnya Meliora Lanita.
“Hai Sayang,” sapa Tanti dengan suara serak khas bangun tidurnya.
“Mama sakit?” kernyit kecil menghiasi wajah anak gadis yang sebentar lagi menginjak usia delapan tahun.
“Tidak Sayang, Mama hanya baru saja bangun.”
“Kenapa kening Mama biru? Mama jatuh?” Raut kekhawatiran jelas tergambar pada wajah ayu itu. Matanya berkaca-kaca tak tega melihat wanita yang melahirkannya ke dunia ini terluka.
“Iya Sayang. Mama kurang hati-hati kemarin.” Dusta kecil demi kebaikan, begitu pikir Tanti. Menahan rasa ingin tahu putri tercintanya. Namun ada benarnya juga jika ia memang terlalu ceroboh kurang berhati-hati saat ingin menghentikan aksi main hakim saudara ipar sulung sang kakak. Tanti mengakui hal itu.
“Lain kali jangan begitu ya, Ma. Lio sedih lihat Mama sakit. Duh ... itu pasti bikin nyut-nyutan.” Meliora sampai mendekatkan wajahnya ke layar seraya menyipitkan mata. ia pikir dengan begitu bisa lebih jelas menatap memar pada wajah lembut sang mama.
“Iya Sayang,” ujar Tanti lembut menenangkan. sejurus kemudian keheningan menyapa keduanya, larut dalam penantian siapa lagi yang akan membuka suara terlebih dahulu.
“Ma ....” Melioralah yang terlebih dahulu memulai.
“Ya, Nak?”
“Lio berharap Mama di sini. Lio ingin tinggal tak terpisahkan dengan Mama.”
Keinginan yang keluar dari bibir gadis berseragam merah putih itu meresap sampai ke relung hati terdalam Tanti. Tanti tidak menutup mata jika memang gadis itu membutuhkan sosoknya. Kadang dirinya merasa tidak berlaku adil terhadap putri kecilnya dan para keponakannya, namun semuanya demi rahasia indah ini tidak terendus oleh keluarganya. Entah sampai kapan, bagi Tanti yang terpenting hatinya tenang saat ini.
“Iya Sayang. Mama juga inginnya begitu. Tunggu sedikit lagi, beri Mama waktu dan kita akan segera bersama selamanya.”
“Baiklah Ma, kalau begitu. Lio berangkat sekolah dulu ya. Jemputan Lio sudah datang. Da .... Mama, Lio sayang Mama banyak banget.”
“Mama lebih sayang sama Princess kuh. Semangat belajarnya dan hati-hati ya, Nak. Enjoy you day,” ujar Tanti menutup pembicaraan pagi ini.
Begitulah rutinitas setiap pagi sebelum Tanti beranjak dari tempat tidur dan mengurusi hal yang lainnya. Walaupun sang putri jauh di mata, tetap akan selalu menjadi prioritas Tanti. Ia akan selalu ada untuk tempat sang putri membagi keluh kesahnya.
♥
Hembusan kelegaan tanpa sengaja keluar dari bibirnya dengan mendapati tidak adanya Javier bergabung dengan mereka di meja makan. Suasana pagi ini cukup hangat, dengan hampir setiap orang menanyakan kabarnya. Tanti sendiri merasa heran karena Asoka yang biasanya akan mencarinya sedari tadi tampak tenang dan bermain dengan ketiga sepupu barunya yang berjenis kelamin perempuan. Anak itu cukup halus maka dari itu ia juga tidak masalah jika bermain dengan para gadis kecil.
Tanti merunduk dan mengecup puncak kepada Asoka dengan sayang. Asoka, pelipur lara sekaligus pengobat rasa rindu yang membuncah, keistimewaan bocah kecil itu yang membuat Tanti sangat diinginkan di sini dan mampu membuatnya menahan diri untuk pergi dari sana selama ini dan tanpa menimbulkan kecurigaan untuk keluarga besarnya.
“Mas Diran, aku ingin melanjutkan bisnisku di Jawa,” ujarnya begitu mereka duduk santai di sofa.
“Bisnis apa?” Burhan sang ayah yang bertanya.
“Bisnis budidaya anggur, Yah.”
Kelima pasang mata menatap dirinya seolah tak percaya dengan yang baru saja terlontar dari bibirnya.
“Seriusan? Ayah pikir selama ini kamu bercanda.”
“Sudah tujuh tahun, Tanti memulai usaha ini Yah.”
Tanti sangat mengerti jika anggota keluarganya yang didominasi kaum adam tak akan percaya dengan pencapaian yang ia peroleh. Selama ini mereka menganggap Tanti, Si Putri Bungsu hanya akan bergantung dengan mereka. Namun yang tidak mereka ketahui, usaha budidaya yang dilakukan Tanti telah mampu memajukan perekonomian para tetangga di kampung tempat eyangnya tinggal dan Si Buah Hati, tentu saja. Tanti jelas tidak bisa hanya mengandalkan uang kiriman orang tua dan hasil usaha miliknya yang dijaga sang bunda. Mereka pasti akan curiga.
“Kenapa kamu sembunyikan dari kami?” tanya Tania masih menatap putri bungsunya dengan tidak percaya. Rasa-rasanya, putri yang merengek manja karena kekurangan uang jajan tak lagi tampak berganti dengan wanita muda yang mandiri. Sungguh waktu sangat cepat berlalu.
“Kalian pasti tidak akan percaya. Ingat tidak jika dulu kalian malah meledek Tanti?” Tanti mendengkus, tanpa bermaksud membuat mereka merasa bersalah.
Namun jelas dari selebar wajah mereka, jika mereka merasa bersalah dan menganggap sepele kemampuan dirinya.
“Tanti ingin pindah ke Jawa.” Pada akhirnya ia mengutarakan keinginan terpendamnya.
“TIDAK BOLEH!”
