Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Salah Paham

“Dasar laki-laki gila. Nggak berperasaan. Aku ini lagi kesakitan. Tanganku sakit tahu. Malah dibilang sedang menggodanya. Dasar otak tidak waras!”

Tapi, yang terdengar di hadapan Math hanya mata Hana yang melotot dan menggerakkan kepalanya.

“Aku tadi sudah bilang, kita buat kesepakatan saja!” Hana menghela napas dengan kondisi lemas mulutnya masih disumpal dan tangannya diikat.

Sepertinya ada sedikit rasa tidak tega. Pertama kalinya, Math merasa seperti itu.

Math malah melangkah dan ingin membuka sumpalan mulutnya.

“Tuan!” Math menjauhkan tangannya dan berbalik saat mendengar dipanggil. Tadinya, Hana sudah cukup senang akhirnya sumpalan bisa dilepas.

Math menerima benda pipih ukuran lebih besar dan membaca laporan di dalamnya. Dia sedikit terkejut lalu menggerakkan tangan, mengusir Radon keluar.

Dia berjalan menjauh. Math mengambil satu set baju karena dia tadi hanya mengenakan handuk.

“Jadi, kalau kau setuju dengan kesepakatannya? Kalau kau setuju aku akan lepaskan!” Hana mengangguk pasrah, dia tidak bisa lagi keras kepala.

Hana juga ingin menjelaskan kalau ini hanya salah paham. Untungnya kali ini Hana sudah melihat laki-laki itu berpakaian lengkap.

Selama dia hidup, Hana tidak pernah berada dalam posisi seperti tadi. Bahkan suaminya Bima pun jarang sekali bersikap seperti itu. Sebagai istri, Hana sekalipun tidak pernah dilirik apalagi melihat suaminya mengenakan handuk mandi.

Mereka tinggal dalam satu kamar, tapi Hana selalu merasa kesepian. Bima jarang sekali pulang telah Zhifa kembali ke dalam hidup suaminya.

Bahkan sebelum adanya Zhifa pun, Hana hanya dijadikan istri pajangan di dalam keluarga. Dulu selagi masih ada kakeknya Bima, Sanjaya, Hana masih sering berpura-pura tampil mesra di hadapannya.

Setelah kakeknya tiada, Bima hanya memperlakukan Hana sekedar berstatus istrinya saja.

“Ahh aww, sakit!” desis Hana saat sumpalan mulutnya dibuka. Melihat tangannya yang jadi tambah parah akibat injakan tangan Zhifa juga ikatan tali.

Math melirik, memang selain bekas ikatan tali ada bekas luka di jari-jari, lengan dan semakin Math mempertegas pipinya ada bekas tamparan.

“Ka–kau salah menangkap orang. Aku bukan suruhan siapa pun,” Hana merangsek turun dari ranjang perlahan, dia tidak ingin berada disana karena merupakan suatu ancaman. Namun, ketika kakinya menyentuh lantai, dia malah lunglai di lantai.

“Kau belum makan, hah?!” ejek Math, dia juga terkejut. Diluar dugaan, Hana mengangguk.

Saat Hana mencoba berdiri lagi, tubuhnya benar-benar lemas dan tidak bisa digerakkan, “Aku nggak bisa bangun, tolong bantu aku, Tuan,” renggek Hana, itu yang terdengar oleh Math.

“Hah! Kau benar-benar gila, Matheo! Bisa-bisanya kau dijebak seperti ini,” umpatnya, namun Math tetap membantu memapah Hana berdiri.

“Radon!” teriakan Math membuat Hana terkejut dan tanpa sadar tubuhnya yang lemas malah bersandar pada dada Math.

Radon yang masuk tak kalah terkejut saat melihat posisi tuannya malah seperti sedang memeluk.

“Apa Josh sudah menyiapkan makan malam?”

“Bagaimana, Tuan?” Radon merasa terkejut karena tuannya jarang sekali makan malam, “sepertinya, Anda harus menunggu jika ingin makan malam, Tuan!” tambahnya.

Math meliriknya, “Aku benar-benar kelaparan, Tuan! Apa saja bisa aku makan, kok!” tadinya dia ingin menyuruh Hana untuk menahan lapar sampai besok pagi.

Radon mengerjap mata, telinganya memang tidak salah mendengar. Tapi, dia yakin, Tuannya juga tidak mendadak tuli ada gegar otak sehingga kehilangan kesabaran.

Tanpa diduga, Math dengan lapang dada, dia mengangkat tubuhnya. Kini, Radon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pertama kali tuannya melanggar aturan dengan wanita yang baru dikenalnya beberapa jam.

“Josh!” ketika namanya dipanggil, dia langsung mengikuti tuannya, “bawakan apapun yang bisa dimakan!” tambah Math dengan ucapan penuh penekanan.

Tanpa banyak bicara Josh pergi dengan perintah tuannya. Math membawa Hana ke ruang makan. Dia menurunkan Hana dan meletakkan tubuhnya perlahan.

“Panggil Bruno, sekarang juga!” perintahnya lagi, Radon melirik dan mengangguk. Dia segera menghubungi orang yang dipanggil tuannya.

Math melipat kedua tangannya dan melihat Josh membawakan segelas susu dan roti, “Saya akan membuatkan hidangan lainnya, Tuan, ini yang bisa dihidangkan sekarang!” Math mengusir dengan kibasan tangan.

Hana langsung meneguk susu tadi saat diletakkan di meja, “Shh!” dia mendesis saat mengangkat tangan kanannya, baru terasa sakit. Karena dia memerlukan tenaga, dia segera memakannya dengan lahap.

“Tuan Bruno akan sampai sekitar 1 jam lagi, Tuan!” Radon berkata saat dia selesai menutup teleponnya.

“10 menit, dia harus sampai dalam waktu itu!” tiba-tiba suara Math berubah kejam saat mendengar Bruno akan datang 1 jam lagi. Hana mendadak tuli. Dia hanya fokus dengan makanannya.

“Hah!” Radon tersentak mendengar ucapan tuannya.

“Kau tuli?!”

“Ba–baik, Tuan!” Radon mengulang kembali panggilan dan menyampaikan perintah tuannya.

Hana sudah menghabiskan semua. Dia bahkan tidak sadar sisa susu dari gelas yang dia minum ber jiplak di bibirnya.

Sudut bibir Math terangkat. Pemandangan yang menurut orang biasa saja, baginya terasa berbeda, “Dia sedang menggodaku lagi?!” cetusnya di hati lagi yang tidak masuk akal.

Suara decitan mobil terdengar dan pintu dibuka dengan kasar. Seseorang masuk dengan buru-buru sambil menenteng kotak sehatnya.

“Dimana yang terluka? Kau tertembak lagi?” suara itu langsung mendekat dan Hana spontan menoleh ke arahnya. Dia juga kaget, tapi sepertinya kalau kaget sekarang rasanya sudah sangat terlambat.

Laki-laki itu membolak-balikkan tubuh Math mencari asal luka, namun tetap tidak ditemukan.

“Kau tidak sakit? Untuk apa memanggilku? Aku hampir menabrak orang karena perintahmu,” decaknya berkacak pinggang. Dia marah.

“Periksa dia!” ucap Math penuh tekanan, dia memberikan kode dengan lirikan mata, Bruno mengikuti arah tatapannya.

“A–APA KAU BILANG??!!” Bruno melotot saat menatap Hana. Kemudian dia menoleh pada Radon, “dia terbentur?” Radon menggeleng saat menanyakan kondisi tuannya.

Bruno berkacak pinggang dan menatap Hana dari ujung rambut hingga kaki. Baginya tidak ada yang istimewa jika wanita itu hanya teman ranjang tuannya.

Kemudian diluar dugaan yang hampir membuat mereka kena serangan jantung, “Kita pindah tempat!” Math mengangkat lagi tubuh Hana perlahan.

“Sudah makan saja se enteng ini. Apa dia benar-benar kekurangan gizi?” lagi-lagi Math bergerutu di hati.

Bruno mengikuti dan kembali menatap Radon. Dia hanya menggeleng lagi.

“Bruno!” Itu bukan hanya sekedar panggilan saja, tapi lebih tepatnya segera ditangani.

Buru-buru mengerjakan perintah, mata Bruno langsung tertuju pada tangannya, “Kau terjatuh?” ini adalah pertanyaan menggelitik yang seharusnya tidak ditanyakan karena Bruno penasaran.

Hana menggeleng, “Lalu?!”

“Selingkuh suamiku menginjak tanganku dengan sepatunya, lalu dia menampar juga menjambak rambutku. Dia bilang di depan semua orang, akulah selingkuh suamiku!” Hana menjawab jujur dan Bruno sampai menjatuhkan botol alkohol karena tidak percaya dengan ucapan yang didengarnya.

“Apa? Apa kau bilang barusan? Kau sudah menikah?” Hana mengangguk pelan, spontan Bruno menoleh pada Math yang pura-pura tidak mendengar ucapannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel