Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Banteng Besar

Hana mencoba menguasai tubuhnya. Dia harus bisa melepaskan ikatan di tangan. Meski terdengar sangat mustahil, Hana tetap mencoba.

“Ini benar-benar nggak bisa dilepaskan! Bagaimana ini?” dengan kondisi tangan terikat Hana bersusah payah menguasai tubuhnya agar tenang.

Keringat di tubuhnya mengalir dengan deras, ini pertama kalinya Hana diperlakukan seperti ini.

Meski Bima tidak pernah memberikan perhatian layaknya suami-istri, tetapi dalam rumah Bima, Hana tetap mendapatkan haknya sebagai istri.

Ya, meskipun hal tersebut adalah hak menikmati makanan juga tidur dengan bebas lalu kartu hitam belanja unlimited yang tidak pernah sama sekali dia belanjakan.

Hana tidak pernah boros. Karena dia merasa hidup dibesarkan dalam panti asuhan sudah membuatnya tahu artinya kesulitan hidup.

Baginya cukup dengan makan dan menjadi istri yang baik saja untuk sang suami.

Hana selalu menanti jika saja suatu hari suaminya berubah dan meliriknya sebagai istri yang baik.

Namun, sampai hari inipun yang digadang-gadangkan mendapatkan hal yang bahagia pada ulang tahun pernikahan mereka semua sirna seperti terguyur air matanya.

“Kau benar-benar cari mati …,” Hana terkejut saat suara bariton itu mendekat.

Tepatnya, dia juga dikejutkan oleh sosok laki-laki itu.

Dia baru saja keluar kamar mandi dan menyadari gelagat Hana yang sedang berusaha melepaskan ikatan belakang tangannya.

“Apa ini? Kenapa tubuhnya ringan sekali.”

Gerutu Math saat mengangkat tubuh Hana secara refleks karena gadis itu tak mengindahkan ucapannya.

Hana terus menggeleng dan berontak kembali.

Tubuhnya seperti banteng besar, ah tidak Hana tidak bisa membayangkan tubuh itu, bahkan dengan tubuh suaminya, Bima, tubuh besarnya masih kalah jauh.

“Umm ummm!” Hana mencoba berontak dan menghindari semua usaha Math yang akan menghimpit tubuhnya.

“Sudah aku bilang, aku akan mencicipimu. Lebih baik kamu menurut dan segala urusan kita akan segera selesai. Aku juga akan bersikap baik ketika kamu menurut!” Math mencengkram kedua tangan Hana di ranjangnya.

Menghimpit kedua tangannya dengan keras di ranjang. Hana menggeleng dan berusaha mendorong tubuh besar Math.

Air matanya tak terasa mengalir kembali.

Math tanpa sadar terpengaruh dengan sikap Hana itu.

Dia bukan tipikal laki-laki yang mudah kasihan pada siapapun apalagi seorang wanita yang dianggapnya hanya sebagai ganti baju.

“Apa lagi triknya ini? Dia bersikap layaknya gadis polos dan sok suci. Apa benar dia belum berpengalaman atau dia sedang berusaha menjebakku untuk kasihan dengannya? Tidak. Tidak. Aku tidak akan tertipu oleh sikap dan wajah polosnya seperti ini.” Math benar-benar terusik.

Meski tatapan mengintimidasi Hana dari ujung rambut hingga kaki. Math menyadari, merasa sikap Hana berbeda dengan para wanita yang sering ditiduri.

Biasanya jika aksi Math sudah seperti itu, para wanita yang siap dicicipi akan lebih panas dan bersikap menjadi liar.

Namun kali ini berbeda, Ini malah sebaliknya, terus menolak. Math benar-benar tidak melihat sikap wanita murahan.

Jadi, Math hanya bisa berspekulasi tentang gadis itu. Dia sedikit ragu karena tatapan sendu gadis itu seperti penuh dengan kesedihan.

“Kau sungguh membuatku tidak bernafsu! Apa ini? Kau sedang berpura-pura di hadapanku?” Suara bariton Math masih mengintimidasinya.

“Umm umm umm!” Hana hanya bisa mengeluarkan suara seperti itu dan terus menggeleng.

“Hah, kau benar-benar membuatku gila!” Math sedikit menarik tubuhnya. Memperhatikan kembali kondisi Hana saat ini. Lalu, dia menyadari ada luka di tangan Hana.

Dia yakin, para pengawalnya tidak akan menyentuh sebelum ada perintah darinya.

Sekilas dia juga menyadari kalau pipi Hana ada sedikit lebam. Seperti habis dipukul.

“Apa aku salah paham padanya?” rutuk Math dalam hati sedikit kacau.

Meskipun dia menganggap ini semua adalah jebakan dari keluarga Zian. Mana mungkin mereka akan memberikan gadis bekas seperti itu. Math menarik tubuhnya perlahan dan melepaskan himpitan tangannya perlahan.

Dia bangkit karena saat ini dia hanya mengenal handuk yang melingkar di pinggang.

“Radon!” teriak Max.

Radon masuk sedikit kebingungan. Dalam hal urusan ranjang, mana mungkin tuannya akan selesai dalam hitungan beberapa menit.

Dia mengamati sekitar dan melihat Hana masih terpuruk di ranjang dengan suara napasnya yang memburu.

Setidaknya saat ini Hana masih bisa bernapas lega. Laki-laki itu melepaskannya.

“Periksa dia sekarang juga! Aku tidak mau ada hal yang terlewat!” cetus Math.

Radon menatap tuannya. Lagi-lagi tuannya melakukan hal yang tidak biasa.

“Ada apa? Apa telingamu tuli? Atau aku perlu mencari penggantimu?!” delik Math.

Dia kembali melemparkan tas milik Hana pada Radon. Karena melihat tas itu tergeletak di lantai saat tadi membawanya.

“Baik, Tuan!” Radon segera membawa tas Hana dan keluar kamar tuannya.

Max kembali berdiri di hadapan Hana. Gadis itu sedang berusaha untuk bangun. Tapi, tetap sulit, karena tangannya masih di ikat.

Math mengabaikan.

Dia malah terlihat menarik sudut bibirnya. Seakan mengejek dan menikmati cara Hana untuk bangun dengan kondisi terikat.

“Umm umm!” delik Hana seakan meminta pertolongan.

Math mendekat. Dia melipat kedua tangannya di dada.

“Apa kau sedang meminta tolong padaku?” ledek Math. Entah kenapa melihat Hana kesusahan ada daya tarik tersendiri untuknya.

Math seakan senang menggoda Hana. Daripada merasa iba. Itu bukan seperti Math pada biasanya. Hanya pengecualian.

Math hanya bersikap seperti itu pada Hana.

“Umm umm!” delik Hana lagi.

“Aku bisa saja menolongmu. Tapi, kau tahu sendiri kan? Semua tidak ada yang gratis!” cetus Math kembali menekankan.

Dia memang sedang bernegosiasi dengan Hana. Sebelum dia tahu yang sebenarnya dari Radon. Dia akan menahannya.

Tapi, setelah apapun informasi yang diketahui, Math pastikan kalau gadis itu berbohong, Math tidak akan ragu mengeksekusinya.

Lebih dari itu, Math hanya ingin berjaga-jaga. Seandainya dia berubah pikiran. Dia punya sesuatu yang bisa menekan gadis itu.

“Umm umm!” Hana masih kembali mendelik dengan suara yang sama.

“Kita buat kesepakatan, bagaimana?” Math mendekatkan wajah, Hana mendelik dan menggeleng kuat.

Dia tidak merasa harus membuat kesepakatan apalagi dia merasa ini hanya salah paham.

“Umm umm!” delik Hana lagi.

“Rupanya kau keras kepala juga,” kata Math. malah menjauh.

“Umm umm!” Hana berusaha mencegah, tapi Math mengabaikan lagi.

“Dasar kurang laki-laki kejam kurang ajar. Sudah tahu dia yang membawaku kesini. Memangnya aku mau seperti ini?” delik Hana, dia sewot sendiri di dalam hati.

“Ada apa? Kenapa tatapanmu seperti itu? Kau pikir itu pantas hah?!” Math merasa gadis itu sedang mengumpatnya.

Bola mata Hana memutar. Energinya terasa terkuras dan lemas. Semakin banyak digerakkan, tubuhnya juga semakin tidak kuat.

Dia tadi belum sempat makan karena pertengkaran juga ucapan suaminya yang tiba-tiba meminta cerai.

Diluar dugaan Math, gadis itu malah menghentakkan kakinya di ranjang dan membolak balikkan tubuhnya. Sebenarnya, Hana kesal dan meminta dibukakan ikatan.

Alhasil, bukannya membuat terkesan atau Math mengerti keinginannya. Math mendekat masih dengan kedua tangannya didada.

“Kau sedang menggodaku?” Hana hampir tidak percaya dengan ucapannya buru-buru menggeleng kuat dan melotot.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel