Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pasti Mati

“Kau tidak salah, Math!” sebagai protes Bruno menyindir.

“Lakukan dengan cepat, aku mau makan malam!” cetus Math tidak tahu malu. Dia duduk di sebelah Hana, gregetan karena melihat bibir Hana, sisa jiplakan susu masih tertinggal disana. Tanpa ragu, Math mengusap bibir Hana dengan tangannya.

Mereka yang melihat Hana melongo. Seumur hidup, Matheo Fernandez hanya dilayani, bukan melayani seseorang. Bahkan itu tergelitik Dengan sikap Math diluar nalar.

“Makan malam, apa ada daging panggang?” tiba-tiba saja Hana menyeletuk. Entah darimana keberanian itu, apa karena perutnya memang sangat kelaparan.

Bruno menatap karena ucapannya. Bahkan tanpa sadar menekan pergelangan tangannya yang masih memar, “Aw!” spontan Hana mendesis dan menarik tangannya.

“Kau mau mati? Apa tidak bisa pelan sedikit!” cetus Matheo terdengar seperti mengada-ada. Kembali Bruno dan Radon saling menatap.

Bruno segera membalut lukanya dengan perban. Dia tidak ingin menjadi tumbal ocehan Matheo.

Hana masih menoleh. Menunggu jawaban. Lalu, Math akan mengangkat tubuhnya.

“Stop! Aku sudah bisa berdiri!” celetuk Hana, dia mengangkat tangan menahan tubuhnya. Math mengerutkan kening.

“Kau?!” deliknya.

“Kita belum kenal, jangan sok akrab!” suara alat yang dibawa Bruno jatuh ke lantai saat Hana mengatakan hal seperti itu.

“Bisa-bisanya wanita itu berbicara padamu seperti itu, Math!” dengus Bruno berkacak pinggang.

“Memangnya aku yang salah. Dia yang membawaku, ops, salah, dia yang menculikku ke sini. Dia sendiri yang salah paham denganku. Aku tidak sengaja menabraknya, aku tadi sedang mengejar suami dan selingkuhan nya,” Hana tidak lagi menjadi wanita penurut seperti biasanya. Hatinya seakan mati. Setelah perlakuan Bima dan Zhifa beberapa jam lalu mengubah seluruh perasaannya.

Hana tidak ingin lagi berharap dan dia juga seperti biasa, ponselnya pun tidak berdering. Bima tidak mencarinya. Dia benar-benar hanya seorang istri yang berstatus sebagai istri, tapi tidak pernah dicintai suaminya.

Bruno dan Radon saling memandang kembali. Mau menyalahkan, tapi seperti ucapannya, mereka memang salah membawa orang.

“Tuan, hidangan sudah tersedia,” Josh datang untuk memberitahu.

“Kau buat daging panggang?” Josh menatap wajah tuannya sesaat, “mmm … akan saya siapkan. Ada lagi yang perlu saya siapkan, Tuan?” Mengingat kembali, Josh tahu, itu bukan salah satu hidangan yang tuannya suka. Dia bisa menebak dengan tuannya yang langsung melirik Hana.

Otak Hana langsung berputar saat mendapati lirikan, “Aku mau sesuatu yang asam dan segar? Apa ada?” Mata Josh, Bruno dan Radon seakan tidak percaya. Mereka ingin melirik tuannya.

“Aku sama sekali belum menyentuhnya!” tegas Math yang merasa menjadi tertuduh.

“Mmm … kalau nggak ada, apapun yang rasanya dingin dan segar, aku mau. Ah … yoghurt dengan perasaan lemon dan madu juga boleh,” tambah Hana.

Dalam pikirannya, ini adalah kesepakatan yang sudah dijanjikan oleh Math.

“Uhm, nggak ada ya? Sudahlah, ternyata mau disini atau disana, sama saja. Aku juga nggak boleh makan,” cetus Hana, wajahnya terlihat sedih.

Math meliriknya sorot mata tajam pada Josh, “Ah tidak, tidak, Nona, ah maaf, Nyonya, akan saya siapkan semuanya,” Josh mengelap keringat yang tidak keluar saking takut dengan tatapan tuannya. Dia segera menghilang dari pandangan.

“Kau? Namamu?” tunjuk Bruno semakin penasaran. Apalagi melihat Math seolah tidak peduli dengan apapun yang dilakukannya.

Tidak pernah ada yang bisa memberikan perintah ataupun perkataan asal-asalan seperti tadi. Ini pertama kalinya Bruno juga Radon melihat.

“Aku? Hana, Hana Hastari,” sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Bruno.

Bruno baru menarik tangannya untuk berkenalan, dia sudah merasakan bulu kuduknya berdiri.

“Robert Bruno, kau bisa memanggil sama seperti dia, Bruno atau mungkin dokter tampan,” Rodan hampir saja tersedak mendengar gombalannya.

“Em, nama yang bagus, senang berkenalan dengan Anda, Dok!” jawab Hana tersenyum dan tiba-tiba saja tangannya ditarik.

“Cepat habiskan makananmu. Aku juga mau makan!” cetus Math, menyeret Hana tanpa sadar bahkan saat ini Hana tidak memakai alas kaki.

“Pelan sedikit, ssh-sakit!” terasa sedikit nyeri.

“Hey, Math, aku belum mengobati luka di wajahnya,” Bruno buru-buru mengejar, dia ingin memberikan salep.

“Letakkan itu dan pergilah!” usir Math, seperti habis manis sepah dibuang.

“Hah?! Kau benar-benar gila, Math. Kau mengusirku?!” protes Bruno.

“Cepatlah!” dia tidak peduli dengan ocehan, Math terlihat tidak sabaran.

Josh sudah menuruti permintaannya. Ada daging panggang, yogurt dengan perasaan lemon dan madu.

“Ehm … ini enak dan segar. Aku benar-benar sudah lama nggak menikmati ini. Hooh, tiga tahunku yang ku buang sia-sia!” seruputan pertama dengan sendok, “ahh … masih ada blueberry juga, ahh enak banget!” tambah Hana, sendok an dan gigitan langsung membuat lidahnya masam hingga memejamkan mata, namun dia tidak berhenti memakannya.

“Dan ini umm … koki disini lebih pintar karena membuatkan aku daging panggang,” Hana sedang menyuapkan garpu ke mulutnya dengan potongan-potongan tipis daging yang sudah dipanggang juga saus yang menggugah selera.

Matheo bergeming. Ekor matanya tidak henti memindai cara bicara juga sikap yang ditunjukkan. Bagi beberapa orang yang melihat itu adalah hal biasa, namun bagi Math, itu sangat luar biasa.

Dia sampai memberikan reaksi dengan bersandar dan melipat kedua tangannya. Seolah Hana sedang mempertontonkan pertunjukan yang seru.

“Tuan, apa saya perlu menyiapkan makanan Anda?” Josh bertanya karena tuannya masih belum memulai makan. Dia tampak serius melihat Hana yang lahap menyantap hidangan seperti orang yang belum makan selama tiga hari.

“Kau? Emm, berikan aku resep daging panggang dan cara membuat yoghurt ini. Aku ingin membuat sendiri nanti di rumah,” mata Hana berbinar saat berbicara dengan Josh dan blak Josh tiba-tiba saja ditendang oleh tuannya hingga dia tersungkur.

Hana kaget dan langsung sadar.

“Ya ampun! Aku salah. Aku kan sudah membuat kesepakatan dengannya. Aku lupa tanya, apa kesepakatan yang dia mau saat melepaskan ku tadi,” suara hati Hana bergema. Dia spontan berdiri.

“Eh eum anu Tuan!” Hana belum selesai bicara, Math bangun dan meja digebrak. Saking kaget, Hana memegangi dadanya.

“Walah walah dia marah. Gimana ini?!” bulu kuduk Hana meremang, sepertinya ada monster yang akan memakannya hidup-hidup.

“Sebentar-sebentar eum jangan salah paham dulu, aku hanya minta to– aghhh!!” jerit Hana.

Tubuhnya tiba-tiba saja pindah, kali ini dia tidak digendong seperti ala pengantin baru. Kali ini Math mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di pundak.

“Aku mau makan. Jangan mengganggu!” Math berbalik sekaligus memberikan perintah.

“Heh, Radon, sepertinya wanita itu dimanjakan!” Bruno menyikut lengannya.

“Tidak mungkin, saya berani jamin dan taruhan Tuan Bruno,” Bruno menarik sudut bibirnya.

“Kau bodoh dan buta? Kau tidak melihat sikapnya?” Radon malah geleng-geleng kepala, “anda yang salah menilai, Tuan. Kali ini, saya yakin, wanita itu pasti akan mati!” Bruno membulatkan mata mendengar ucapannya.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel