4. Wanita Hanya Merepotkan
Guyuran air dingin dari shower terasa sangat menyegarkan saat tetes demi tetesnya mulai membasahi tubuh atletisnya.
"Segar sekali," gumam Jaden.
Rohid baru saja masuk. Nampan kecil yang dibawanya ditaruh di atas meja.
"Tuan sepertinya sedang mandi," ucap Rohid bicara sendiri.
Satu per satu, pakaian Jaden yang berserakan di lantai diambilnya. Setelah itu, Rohid keluar dari kamar.
"Pak Rohid!"
Panggilan dari suara cempreng menghentikan langkah Pak Rohid.
"Ada apa?" tanya Pak Rohid melihat wanita muda datang menghampiri.
"Tuan sudah pulang?" tanya Ika.
"Kenapa?"
"Ih, Pak Rohid. Tinggal jawab saja susah banget. Ditanya malah balik nanya!"
"Tuan sudah pulang dari tadi."
Wajah Ika langsung berbinar.
"Kamu jangan macam-macam dengan tuan!"
Ika hanya senyum-senyum sendiri. Kedua bola matanya langsung melihat ke arah di mana tangga menuju lantai dua berada.
"Ika!" tegur Pak Rohid. "Saranku, hilangkan obsesimu pada tuan muda. Kau dan tuan bagai bumi dan langit! Lagipula tidak mungkin, tuan akan tertarik padamu!"
"O ya? He-he. Kita lihat saja nanti," tantang Ika sambil berlalu pergi menuju tangga.
"Ika! Kau mau kemana?"
"Bukan urusan Pak Rohid!" jawab Ika tersenyum penuh misterius menapaki anak tangga satu demi satu.
Tok ... tok ... tok ...
"Masuk!"
Perlahan pintu kamar Jaden didorong dari luar. Ika, sang asisten rumah tangga masuk.
Sekilas Jaden melirik pada Ika. "Ada apa?"
"Maaf tuan, apa tuan memanggil saya?" tanya Ika melangkah mendekati Jaden.
"Tidak!"
"Tapi tadi saya mendengar tuan memanggil," ucap Ika berbohong.
Jaden mengernyitkan alis, melihat Ika dengan sangat intens seakan sedang membaca apa yang dipikirkan asisten rumah tangganya itu.
"Kalau begitu, sa,,,saya permisi tuan," ucap Ika jadi canggung. "Mungkin saya tadi salah dengar." Segera Ika melangkah pergi.
Jaden baru tersadar, baju seragam yang dikenakan Ika sangatlah ketat dan seksi. Jauh berbeda dengan baju seragam para asisten rumah tangga perempuan lainnya.
"Dasar bego!" umpat Ika dalam hati pada dirinya sendiri. "Tuan Jaden bukan orang bodoh yang bisa aku bohongi. Astaga, aku terjebak dengan kebohongan ku sendiri. Bego! Bego!"
"Tunggu!"
Langkah Ika terhenti satu meter dari pintu kamar. Membalikkan badan. "Iya, tuan."
"Kemarilah!"
Senyum mengembang di bibir Ika, "astaga, kenapa tuan memanggilku kembali. Apa mungkin ,,, OMG!" berjuta pikiran merasuki imajinasi Ika.
"Bawa keluar cangkir kopi itu," pinta Jaden. "Kalau ada yang datang, katakan saya sedang istirahat!"
Senyum mengembang Ika seketika sirna. Ternyata apa yang dipikirkannya tidak sama dengan apa yang keluar dari bibir majikannya. Dipanggil karena bukan sesuatu yang diinginkan Ika, tapi diminta mengambil cangkir kopi yang telah kosong.
"Kenapa?" tanya Jaden heran melihat Ika hanya berdiri melihat cangkir kopi kosong di atas meja.
"Eh,, tidak, tidak tuan."
Segera Ika mengambil cangkir kopi dan melangkah pergi, tapi lagi-lagi Jaden memanggilnya.
"Tunggu!"
"Iya, tuan." Ika membalikkan badan melihat Jaden.
"Panggilkan Rohid!"
"Baik, tuan!" jawab Ika. Hatinya kecewa untuk yang kedua kalinya, dipikir dipanggil lagi untuk apa yang sedang dipikirkannya, ternyata hanya diminta memanggil Pak Rohid.
Tidak lama kemudian, Pak Rohid datang. Setelah diijinkan masuk, Pak Rohid kembali menutup pintu kamar.
"Bagaimana rumah hari ini? Apa ada masalah?" tanya Jaden mengawali percakapan setelah menghisap rokoknya kuat-kuat.
"Semuanya baik-baik saja seperti biasa," jawab Rohid sopan, berdiri depan Jaden yang duduk di sofa.
Jaden menghisap rokoknya kuat-kuat. Menghembuskan asapnya ke sembarang arah.
"Kenapa tuan?" tanya Pak Rohid. "Sepertinya tuan sedang gelisah."
"Pak Rohid selalu tahu saat aku sedang gelisah."
"Pengalaman saya bekerja puluhan tahun di sini, tentu saja sudah cukup untuk mengenal tuan," ucap Pak Rohid.
Jaden menghembuskan asap rokoknya seakan ingin membuang juga kegelisahan dalam hatinya.
"Ada apa tuan?" tanya Pak Rohid.
Jaden bangun dari duduk, melangkah menuju jendela besar yang terbuka lebar. Dilihatnya langit mendung, tak lama kemudian tetes air hujan mulai membasahi bumi.
Pak Rohid hanya diam memperhatikan apa yang dilakukan majikannya.
"Sudah berapa lama Pak Rohid bekerja di sini?" tanya Jaden tanpa melepaskan pandangan pada air hujan di luar jendela.
"Sudah cukup lama tuan. Sejak kedua orangtua tuan masih ada."
"Saya merindukan mereka," ucap Jaden pelan.
Walau suara Jaden pelan, tapi Pak Rohid bisa mendengarnya dengan jelas.
"Rasanya, baru kemarin mereka bersamaku," sambung Jaden.
Pak Rohid tak bersuara, tapi tatapannya pada Jaden menyiratkan keibaan.
"Saat kecelakaan itu terjadi, aku masih sangat muda," lanjut Jaden.
"Setiap manusia punya jalan ceritanya masing-masing," sahut Pak Rohid bisa merasakan perasaan majikannya yang sangat kehilangan orangtua.
Jaden menatap nanar pada air hujan yang jatuh membasahi bumi. Bayangan kedua orangtuanya semakin dalam menghias pikirannya. Perasaan sedih dan rindu menyatu dalam hatinya.
"Jangan bersedih tuan. Saya yakin, tuan akan mampu melewati ujian kehidupan yang Tuhan berikan," ucap Pak Rohid membesarkan hati Jaden. "Di luar sana, banyak orang yang berlomba ingin berada di posisi tuan saat ini."
Jaden tersenyum kecut, melihat Pak Rohid sebentar kemudian kembali melihat ke luar jendela. "Siapa yang ingin berada diposisi saya yang sangat kesepian dan menyedihkan ini? He-he-he. Pria kesepian, sampai-sampai wanita itupun mengkhianati kepercayaan ku!"
Sejenak Pak Rohid mengernyitkan alis. Mencerna kalimat Jaden. "Wanita itu bukan yang terbaik untuk tuan. Yang wanita itu inginkan hanya uang dan uang. Suatu saat nanti, tuan akan menemukan cinta sejati. Wanita yang sungguh-sungguh mencintai tuan."
Jaden diam tidak bicara lagi, pikirannya entah berada di mana. Matanya menatap kosong ke arah jendela, wajahnya muram.
"Tuan ,,,"
"Apa?" jawab Jaden pelan tanpa mengalihkan tatapannya.
Pak Rohid diam. Menjadi ragu untuk bicara.
"Ada apa?" tanya Jaden. "Katakan saja!"
"Tidak ada tuan, tidak ada. Lupakan saja."
"Katakan saja, ada apa?!" desak Jaden.
"Anu tuan ,,," Pak Rohid menjeda kalimatnya, garuk-garuk kepala tak gatal. "Apa sebaiknya, tuan mencari pendamping hidup?"
Kening Jaden mengernyit. Tubuh tinggi besarnya berbalik melihat Pak Rohid. "Maksudnya?"
"Lupakan saja tuan, apa yang saya katakan barusan."
"Kau tahu, saya tidak percaya dengan wanita. Kau malah minta saya cari pendamping hidup!" ucap Jaden mendengus. "Wanita hanya membuat repot hidupku! Seumur hidup, saya tidak akan menikah dengan wanita manapun!"
"Jangan seperti itu, tuan. Ucapan adalah doa," tegur Pak Rohid. "Kalau tuan memiliki pendamping hidup, semua apa yang tuan perlukan akan dilakukannya. Istri tuan akan melayani tuan dengan baik. Memenuhi segala kebutuhan tuan. Saat pagi tuan berangkat ke kantor, ada istri tuan yang akan menyiapkan pakaian kerja tuan. Saat sarapan, ada istri tuan tercinta yang akan membuatkan sarapan. Dan saat di malam hari, ada istri tuan yang akan menemani tuan."
