Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Sahabat Sejati

"Kita petik buah jambu air!" jawab Riri riang. "Aku ingin makan rujak!"

"Tapi aku tidak bisa panjat pohon!"

"Tak masalah! Biar aku yang panjat. Serahkan masalah itu padaku!" ujar Riri semangat.

Keduanya kemudian berlari kecil menuju kebun yang tak jauh jaraknya dari rumah Cantika.

"Wah, jambu airnya sudah merah!" seru Riri setelah berdiri dibawah pohon jambu. "Jadi semangat buat panjat!"

"Hati-hati, Ri!"

Tanpa rasa takut, Riri segera memanjat naik pohon jambu air yang tidak terlalu besar tersebut. Satu petik, dua petik berhasil Riri dapatkan.

"Ri, lempar ke bawah!"

"Tangkap ya!" balas Riri. "Jangan sampai buah jambunya hancur!"

Dengan sigap, Cantika menerima buah-buah jambu air yang dilemparkan Riri dari atas pohon. Setelah merasa cukup, Cantika minta Riri turun.

"Bagaimana? Apa sudah banyak?" tanya Riri setelah turun dari atas pohon.

"Sangat banyak! Kita berdua tidak mungkin menghabiskan ini semua," jawab Cantika.

"Tak masalah. Sisanya bisa kita kasih ke tetangga."

Keduanya lalu pergi ke rumah Riri sambil menenteng kantong plastik berisi jambu air.

"Kamu cuci jambu airnya. Aku akan mengambil bahan membuat rujaknya," ucap Riri setelah keduanya sampai di rumah.

"Ok!"

Tidak lama kemudian Riri datang membawa segala macam peralatan.

"Ibu kamu ke mana?" tanya Cantika sambil memotong buah jambu air.

"Tadi pamitnya mau ke pasar, tapi lama sekali. Aku sampai jenuh menunggu ibu pulang."

"Biasalah ibu-ibu, kalau ke pasar pasti lama."

"Ngomong-ngomong, kamu tadi mau pergi ke mana?" tanya Riri.

"Mau ke toko. Ibu minta dibelikan tepung terigu."

"Aku ikut, boleh tidak?" Riri menawarkan diri.

"Boleh, aku malah senang ada teman di jalan," jawab Cantika.

Tidak ada yang bicara lagi. Keduanya sibuk menikmati rujak jambu air yang sangat menggugah selera.

"Segarnya, tapi perutku sudah kenyang," ucap Cantika menahan pedas di bibir.

"Sama, aku juga sudah kenyang!"

Puas menikmati rujak dadakan, keduanya melanjutkan tujuan yaitu pergi ke toko bahan kue. Sepanjang perjalanan tidak hentinya mereka becanda, terkadang terdengar suara gelak tawa mereka memecah kebisingan suara kendaraan yang mereka lewati.

"Tokonya yang mana?" tanya Riri melihat beberapa toko yang ada di depannya.

"Yang itu!" tunjuk Cantika pada satu toko bercat putih.

Di dalam toko nampak seorang ibu paruh baya menyambut kedatangan Cantika.

"Eh,, Neng Cantika, lama tidak pernah ke sini," sapa pemilik toko ramah. "Dengan siapa ini?" sambungnya melihat Riri.

"Teman sekolah," jawab Cantika. "Saya mau beli tepung. Hanya tepung terigu saja. Bahan kue yang lain masih ada."

"Tunggu sebentar, ibu ambilkan di belakang."

Tidak membutuhkan waktu lama, urusan membeli tepung terigu telah selesai. Cantika dan Riri segera beranjak pergi meninggalkan toko.

"Cantika, apa kita mau langsung pulang?" tanya Cantika.

Cantika mengangguk. "Iya."

"Yaelah, jangan dulu pulanglah," keluh Riri. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar. Mumpung kita ada di luar."

"Kemana?"

Riri mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Bagaimana kalau kita keliling pertokoan sekitar sini saja?"

"Ngapain?"

"Aku ingin melihat-lihat baju yang dipajang di etalase," jawab Riri antusias.

"Ih, enggak ada kerjaan banget! Ogah! Malu!!" tolak Cantika gegfak beranjak pergi.

"Cantika, please. Hanya sebentar saja!" rengek Riri memelas.

"Enggak!" tolak Cantika tetap pada pendiriannya.

Riri terus saja merengek sehingga mau tidak mau, akhirnya Cantika mengikuti kemauan Riri.

Senyum lebar langsung menghiasi bibir Riri. "Nah, begitu dong. Ayo!" ajaknya menarik tangan Cantika menuju ke salah satu butik ternama.

"Cukup kita melihatnya di luar saja!" ujar Cantika.

"Tapi di dalam bajunya bagus-bagus! Aku ingin masuk."

"Aku tidak mau masuk!" tolak Cantika tegas. "Jangan bikin malu!"

Akhirnya Riri hanya bisa melihat deretan gaun-gaun yang terpajang dari luar saja. Tak lama kemudian, pintu butik dibuka dari dalam. Pria berwajah blasteran, hidung mancung serta rahang tegas dan bibir tipis berisi keluar dari dalam butik.

"OMG," seru Riri tanpa sadar. Takjub dengan makhluk ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.

Pria tersebut berjalan santai melewati Cantika dan Riri.

Deeeg!

Jantung seakan berhenti berdetak pada saat iris mata pria tersebut dan Cantika saling bertemu. Sesaat, roda dunia seakan berhenti berputar.

"Cantika ,,," bisik Riri.

Buyar, tatapan Cantika buyar oleh teguran Riri. Merah merona langsung menghiasi wajahnya. Cantika segera membuang muka melihat ke arah lain untuk menghilangkan kegugupan.

"Mata yang sangat indah," gumam pria tersebut dalam hati.

Setelah itu, pria tersebut pergi tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Langkah kakinya begitu tegas menapaki trotoar yang berdebu menuju mobil yang terparkir.

"Ck, ck, ck, pria itu bagai pangeran dari negeri dongeng. Wajahnya sangat tampan. Ya Tuhan, sempurna sekali ciptaan-Mu," puji Riri.

"Lebay," Cantika mencibir. "Biasa saja kale!"

"Mata kau buta! Pria tampan begitu dibilang lebay," sungut Riri tak terima. "Andai dia mau menjadi kekasihku, akan aku berikan jiwa ragaku untuknya."

Cantika mendengus.

"Hei, lihat! Lihat!!" Riri heboh sendiri. "Pria itu masuk ke dalam mobil sport keluaran terbaru. Waaah,, betapa sempurnanya pria itu!"

"Jangan berlebihan Riri. Di dunia ini banyak pria tampan dan kaya," tegur Cantika. "Mungkin saja, itu mobil punya temannya atau mobil yang dia sewa. Lebih baik kita pulang sekarang. Lihatlah, langit sudah terlihat mendung. Jangan sampai kita pulang kehujanan. Tepung yang ku beli bisa rusak."

"Apa tidak bisa, kita berkeliling satu kali lagi?"

"Tidak!" jawab Cantika tegas. "Kaki ku sudah pegal. Aku ingin pulang!"

Riri mendengus kesal.

"Begitu saja marah," ledek Cantika. "Kalau kamu tidak mau pulang, ya sudah ,,, aku pulang sendiri!"

Setelah itu, Cantika melanjutkan lagi langkahnya.

"Tunggu!"

Cantika semakin mempercepat langkahnya. "Kau tidak usah pulang! Tidur saja di siniii!"

Sementara itu, pria yang dikagumi Riri melajukan mobilnya membelah jalan raya. Pandangannya sangat fokus melihat ke depan. Siapa lagi kalau bukan Jaden Welingstone, CEO muda yang disegani lawan bisnisnya.

Mobil berhenti tepat di depan pagar besi yang menjulang tinggi. Beberapa penjaga rumah nampak sibuk menyambut kedatangan pemilik rumah.

"Bos Jaden pulang, cepat bukakan pintu!"

Pintu terbuka secara otomatis. Perlahan mobil Jaden masuk dengan angkuhnya melewati beberapa penjaga rumah yang berdiri menyambut kedatangannya.

"Bos," pria brewokan kepala plontos segera membukakan pintu begitu mobil berhenti.

Jaden turun. Wajah blasterannya sangat dingin melihat anak buahnya yang datang menyambut.

"Tumben bos sudah pulang," ucap pria kepala plontos.

"Apa ada orang yang mencariku?!"

"Tidak ada, tuan," jawab Rohid sopan.

Jaden melangkah masuk. Kaki panjang yang terbalut sepatu bermerk menapaki marmer mengkilap sehingga menghasilkan irama mengisi setiap udara di dalam mansion.

Rohid, orang yang dipercayakan Jaden untuk mengurus semua keperluannya nampak tergesa-gesa berjalan ke dapur.

"Ada apa, Pak Rohid?" tanya Rani, wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja di tempat Jaden.

"Tuan Jaden sudah pulang. Tolong buatkan kopi seperti biasa untuk tuan," pinta Rohid.

"Tumben tuan sudah pulang."

"Cepatlah!" pinta Rohid.

Rani mendengus. "Iya!"

Di dalam kamar, Jaden melepas semua yang melekat di tubuhnya, tanpa risih sedikitpun langsung melenggang masuk ke dalam kamar mandi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel