Bagian 4
“Sabar ya, sayang. Aku harus selesaiin hubungan aku sama si idiot Evo itu dulu. Dia belum kasih aku apa-apa selama kerja di tempat barunya ini, sampai dia gajian deh. Setelah itu aku janji bakal mutusin dia.”
Dante menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah psria tinggi yang sedang asik menelpon itu. Bukan inginnya mendengarkan percakapan orang lain, tapi suara pria itu cukup keras untuk bisa di dengar. Mendengar nama seseorang yang sangat familier di telinganya disebutkan, membuat Dante sedikit terusik.
Tak ingin terus berprasangka buruk, Dante akhirnya masuk ke coffee cafe itu. Duduk di kursi sudut ruangan yang lebih sunyi setelah memesan kopinya. Ekor matanya masih dengan setia memperhatikan pria tinggi yang tadi ditemui di pintu masuk kafe.
“Mas, kapan dateng?” Seseorang duduk di kursi seberang meja Dante.
“Baru aja kok.” Dante tersenyum hangat.
“Om sama Tante honeymoon lagi, Mas?” Gadis dengan rambut panjang itu tersenyum jahil.
Dante hanya menghendikkan bahunya. “Seperti biasa.”
Si gadis pemilik kafe kopi itu tertawa kecil. “Lo kalah tuh sama Om Tante. Betah amat ngejomblo, Mas?”
“Sendirinya gitu.”
“Gue mah masih muda, Mas.”
“Lo tua lima tahun dari gue. Gue ingetin kalo lo lupa, Re.” Dante menyeruput americano hangatnya.
Gadis itu tersungut. “Gue bilangin Tobi lo, Mas. Ngomongin umur mah sensitif.”
Dante terkekeh. Matanya kembali melihat ke arah pria yang sekarang sedang membereskan meja. “Karyawan lo?”
Gadis itu melihat seseorang yang sedang diperhatikan sepupunya itu. “Iya, namanya Juan,” jawab gadis itu akhirnya.
“Udah lama kerja di sini?” Dante kembali mengajukan pertanyaan. Dilihat gadis cantik di depannya itu.
“Baru dua minggu. Tapi rasanya bakal gue pecat. Kerjaannya kagak bener banget, Mas. Mana males. Sebel gue liat laki tapi males begitu.”
Dante diam. Kembali menyesap kopinya. “Kepribadiaannya gimana?”
“Hm,” Gadis itu tampak berpikir. “Baik sih. Cuma ngebacot, terus rada centil gitu. Terus dia sering minta pulang cepet. Orangnya sebenernya pinter sosialisasi, dia ju-,” Gadis itu menghentikan ucapannya. Dante melihat ke arah sepupunya dengan alis terangkat, mencoba mencari tahu kenapa gadis itu berhenti menjelaskan. “Lo nggak mungkin suka sama dia, kan, Mas?” Dengan begitu dramatis, gadis itu menutup mulutnya.
Dante mendengus. Menepuk dahi gadis itu dengan telapak tangannya yang langsung menciptakan teriakkan. “Gue masih sangat normal, Rescha!”
“Habisnya nanya sampe segitu banget. Itu dia cowok loh, mas. Gue kasih tahu kalo mata lo rada siwer.”
“Nanya doang.”
“Lo jarang deh tertarik sama manusia lain kecuali keluarga. Eh, sekali tertarik malah sama terong juga. Kan gue jadi khawatir.”
Dante hanya bisa memijit pangkal hidungnya mendengar celotehan Rescha.
“Tapi kesian deh, Mas, sama cewek yang kepincut sama itu manusia terong sampe jadi pacarnya. Si Juan itu tipe yang setia.”
Kening Dante mengerut. “Kalo setia kenapa harus kesian sama ceweknya?”
“Setia, Mas. Setiap Tikungan Ada. Dia suka main-main sama cewek. Kayaknya ada satu cewek yang beneran jadi pacar dia dan cewek itu yang banyak dimanfaatin. Kek penopang hidupnya dia gitu. Makanya dia jadi laki lembek, males-malesan begitu.”
Dante diam. Mencerna dengan baik cerita dari Rescha. “Makanya gue bilang kasian,” sambung Rescha menutup ceritanya.
Dante kembali melihat pria bernama Juan yang sekarang sedang tersenyum jahil ke arah pelanggan perempuan di depannya. Satu harapan tiba-tiba muncul di benak Dante, semoga cewek malang yang disebut Rescha tadi bukan perempuan yang sangat dia kenali itu.
***
Seseorang membuat Dante mempercepat langkahnya untuk segera menyusul laju langkah perempuan dengan rambut indah itu.
“Selamat pagi.”
Gadis itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Melihat ke arah Dante dengan tangan di depan dada dan mata terbuka lebar. “Ngagetin sih, Pak. Untung saya nggak punya riwayat penyakit jantung,” sungut gadis itu menutup matanya.
Dante tersenyum sekilas. “Berlebihan kamu. Saya cuma ngucapin selamat pagi dengan baik dan benar. Pake kaget.”
Mata hazel gadis itu menyipit tak percaya. “Terserah deh, Pak. Saya mau kerja.”
Evo melanjutkan langkahnya. “Saya juga mau kerja kok.” Yang segera diikuti oleh Dante.
“Bapak ngintilin saya?” Evo mendelik tak suka.
“Ruangan saya sama ruangan kamu cuma beda pintu aja. Emang gedung radiologi ada berapa sih, Keith?”
“STOP!” Suara kuat Evo membuat langkah mereka kembali terjeda. Dante melihat penuh ke arahnya dengan wajah bertanya. “Berhenti manggil saya dengan sebutan itu.”
“Kenapa? Kamu mengingat seseorang karna panggilan itu?”
Evo bungkam. Tak bisa menjawab tanya ketua timnya yang dengan santai melihat ke arahnya itu. “Bukan urusan Bapak.” Evo melanjutkan jalannya. Melihat ke arah belakang sekilas dan mendapati Dante mengikutinya dari belakang.
Ralat. Pria itu juga harus bekerja dan sekarang dia sedang berjalan ke arah gedung yang sama dengan Evo. Gedung itu masih sepi. Hanya ada dua OB yang sedang membersihkan beberapa ruangan di dalamnya.
Evo sengaja datang lebih awal karena tidak ingin ketinggalan bus dan menghindari kemacetan. Sebagai anak rantau, transportasi umum adalah yang paling aman digunakan untuk menghemat. Sebenarnya Evo mampu untuk membeli kendaraan sendiri. Tapi dia lebih memilih membelikan kendaraan untuk adiknya di kampung. Evo masih bisa mengusahakan kendaraan di tempat rantaunya ini.
Jika ingin jalan-jalan, Evo bisa nebeng di mobil Kelaya atau Kalana. Bersyukurnya Evo dipertemukan dengan dua orang anak manusia yang berada namun tidak sombong itu. Mereka banyak membantu Evo dalam hal apa pun di perantauan. Terlebih soal kebutuhan uang. Tak jarang kedua sahabatnya itu membayar uang kontrakkannya secara diam-diam.
Evo tahu jika itu mereka, namun tentu saja kedua sahabatnya itu tidak akan mengaku. Sebenarnya uang kontrakkan Evo dibagi dua dengan teman sekamarnya. Sehingga biayanya tidak terlalu mahal. Dan Evo bisa membayar sendiri. Tapi kedua sahabatnya itu selalu menyuruh Evo untuk lebih hemat supaya bisa mengirim uang ke orang tuanya lebih banyak lagi.
Kelaya dan Kalana adalah salah satu dari banyak hal yang Evo syukuri dihidupnya. Ah mereka sudah jarang bertemu sekarang karena terlalu banyak bekerja. Kelaya yang sudah membuka praktek sendiri sebagai dokter gigi, mulai sibuk bekerja dikliniknya.
Sedang Kalana, sibuk dengan butik yang sudah dikelolanya sejak masih kuliah dulu. Ketiga gadis yang bertemu saat mereka sama-sama masih menjadi anak SMA itu, kini sedang mengejar mimpi mereka masing-masing. Tapi persahabatan tetap terjalin baik, bahkan sangat baik. Mereka sudah seperti saudara.
Forestoflove : Weekend ini jalan kuy. Kangen sama kalian.
Evo mengirim pesan itu di grup yang sekarang sudah berganti nama menjadi ‘Akhir2019Nikah’. Salahkan Kalana yang begitu terobsesi untuk segara memiliki suami tapi masih jomblo sampai detik ini.
“Dia Ibu saya.” Ya Tuhan, Evo melupakan manusia itu.
Ditoleh pria yang berdiri tepat di sampingnya. Sangat dekat. Sampai Evo bisa mencium bau vanila dari tubuh pria itu. Evo mengepalkan tangannya untuk menahan detakkan jantung yang begitu saja berdenyut tak normal. Kepalannya bahkan terlalu kuat sampai tangannya memutih.
“Ibu?” ulang Evo yang di balas dengan anggukan dari pria di sampingnya itu. “Bercanda?” Evo harus menutupi kegugupannya dengan baik. Pria itu tidak boleh merasa besar kepala jika melihat dia sedang gugup.
“Saya serius,” jawab pria itu datar.
Mata Evo membulat. Menggerakkan tubuhnya untuk menghadap tepat ke arah Dante. “Mana ada Ibu yang anaknya udah segede Bapak begini tapi masih keliatan muda, cantik dan kinyis-kinyis kayak anak perawan. Kalo pacar di akuin aja sih, Pak.”
Dante hanya mengendikkan bahunya. “Nggak mungkin kamu nggak tahu muka istrinya Alder Reuven, kan? Atau kamu lebih sering stalking instragram Daddy saya?”
Anjir, ketahuan gue. Evo hanya memalingkan wajahnya dengan kesal. Benar, selama ini Evo hanya melihat postingan Ayah dari ketua timnya itu. Bahkan fotonya tak terlalu banyak. Hanya promosi tentang penerbitan dan barang baru di perusahaan propertynya.
“Arlova Zemira. Kamu mungkin baru percaya setelah melihat foto saya di-feeds instagram Ibu-Ibu penggila social media itu.”
Evo masih terpaku. Membiarkan pria itu pergi menuju ruangannya sendiri. “Pak.” Panggilan Evo menghentikan gerakan pria yang sudah membuka ruang kerjanya. “Kenapa ngejelasin ke saya?” Dante hanya mengangkat kedua alisnya, tidak mengerti. “Soal Ibunya Bapak,” sambung Evo, lirih.
“Saya nggak mau kamu salah paham.” Evo melihat pria itu. “Dan saya masih lajang, Keith.” Ada senyuman yang sempat Evo tangkap sebelum ketua timnya itu masuk dan menutup pintu ruangan.
Evo menghembuskan napasnya yang tanpa sadar tertahan begitu saja. Evo mungkin akan ke dokter jantung rumah sakit ini untuk periksa. Sepertinya ada yang salah dengan jantungnya yang berdenyut kuat dan membuat nyeri.
Senyuman apa pistol, sih? Tepat banget nembaknya langsung ke jantung.
***
