Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 3

Evo akhirnya benar-benar melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua timnya kemarin. Meski harus datang lebih awal dari teman-temannya, setidaknya Evo harus bersikap tau diri sebagai perawat baru di rumah sakit itu.

Belum lagi masalah dengan ketua timnya. Dua kali Evo membuat kesalahan dalam sehari, dan masih diperbolehkan untuk kerja bersama rekan-rekannya yang lain cukup menjadi hal yang Evo syukuri.

Meski sempat begitu saja terucap akan baik-baik saja jika harus dipecat, percayalah itu bukan yang sebenarnya Evo inginkan. Dia tidak ingin kesempatan bekerja yang susah payah didapatkannya harus hilang begitu saja.

Sebagai mahasiswa kelulusan radiografi yang sudah dua tahun melewatkan masa fresh graduate-nya, Evo sempat pesimis akan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya. Dua tahun menjadi freelance yang hanya bekerja dikontrakkannya sebagai seorang editor tulisan membuat Evo sangat bersyukur akhirnya bisa diterima bekerja sesuai dengan pendidikan yang selama ini dijalaninya.

Evo menerima tawaran sebagai editor kerja lepas karena memang dia menyukai dunia membaca. Dengan bekerja sebagai editor, Evo bisa membaca karya tulis fiksi tanpa harus menghabiskan uang hasil editingnya untuk membeli novel tersebut.

Jika dipikir, editing memang sangat jauh dengan dunia radiografi. Tapi Evo benar-benar tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk menjadi seorang radiografer setelah beberapa kali ditolak oleh banyak rumah sakit.

Evo bahkan melompat kegirangan saat resume tentang dirinya diterima dan diminta untuk melakukan wawancara. Siapa yang menyangka jika dia benar-benar bisa bekerja menjadi seorang radiografer pada akhirnya? Dan memang tidak boleh disia-siakan, bukan? Tidak semua kesempatan bisa datang dua kali.

Evo berjalan sedikit tergesa dengan tumpukkan riwayat hasil rontgen para pasien yang akan melakukan konsultasi dengan ketua timnya yang dingin itu. Lima belas menit lagi jam sembilan, dan dia harus datang lebih awal daripada ketua timnya itu. Evo tidak ingin kembali bermasalah yang akan membuatnya mengucapkan hal-hal yang tidak berguna. Bisa saja ketua timnya akan benar-benar mengabulkan dan memecatnya.

Gadis bermata hazel itu semakin mempercepat langkahnya. Tapi sesuatu dihadapannya membuat langkah Evo tiba-tiba terhenti. Mata Evo menyipit sekilas untuk memastikan bahwa benar yang dilihatnya itu adalah ketua tim yang lima belas menit lagi akan ditemuinya di ruang konsultasi.

Evo langsung berjengit menyembunyikan dirinya dibalik tiang-tiang koridor rumah sakit. Sekali lagi, Evo melihat ke arah pria yang memang benar ketua timnya itu sedang begitu bahagia dengan seorang wanita. Meski baru terhitung dua hari bekerja di rumah sakit itu, Evo tidak pernah melihat Dante Derova Reuven tersenyum dengan begitu hangat. Tunggu dulu, itu bukan senyum, tapi tawa bahagia. Lihat saja kerutan dipinggir mata pria itu, terlihat sangat alami. Persis seperti orang yang sedang menemukan sesuatu yang diinginkannya.

Ck. Evo merasa seperti seorang pakar pembaca wajah. Lupakan.

Dan perempuan di depan Dante itu, sebagai perempuan Evo juga mengakui bahwa perempuan itu sangat cantik. Tubuh mungilnya bahkan terangkum sempurna dalam pelukan Dante.

Pelukan?! Mata Evo membulat sempurna saat ketua timnya itu dengan santai memeluk perempuan di depannya. Perempuan itu bahkan mengusap sayang pipi ketua timnya yang menerima dengan senyuman lebar. Kecupan singkat di pipi bahkan diberikan secara cuma-cuma oleh ketua timnya untuk perempuan itu.

Cih! Evo tiba-tiba saja berdecih melihat pemandangan di depannya saat ini.

Ternyata ketua timnya yang dingin itu adalah salah satu pria yang anak jaman sekarang sebut ‘bucin’ alias budak cinta. Lihat saja, lengan pria itu bahkan tidak berniat melepaskan pinggang perempuan mungil di depannya.

Evo menjadi kesal tanpa alasan. Segera gadis itu berbelok dan pergi dari tempat persembunyiannya. Lalu melanjutkan langkah mencari jalan lain untuk sampai ke ruang konsultasi ketua tim yang sedang bermesraan itu.

***

Evo mempersilahkan pasien terakhir keluar dari ruang konsultasi itu. Dengan senyuman hangat, Evo bahkan berpesan pada para pasien untuk lebih menjaga kesehatan mereka. Ada kehangatan yang Evo rasakan saat senyumannya dibalas dengan ramah oleh para pasien. Apalagi jika para pasien adalah orang-orang tua. Evo jadi teringat dengan kedua orang tuanya di Jambi.

Ah, Evo merindukan orang tua juga adiknya yang masih SMA. Dia akan menelpon mereka setelah bekerja nanti.

Evo kembali masuk ke ruang konsultasi untuk membereskan peralatan dan kertas-kertas konsultasi pasien. Diliriknya sekilas ketua tim yang masih sibuk dengan dokumen pasien di mejanya. Evo lagi-lagi berdecih saat mengingat kejadian yang dilihatnya tadi pagi di koridor. Ketua timnya itu bahkan terlambat sepuluh menit dari jadwalnya memberi konsultasi.

“Tadi ada beberapa pasien yang ngeluh karna kelamaan nunggu jadwal konsultasinya, Pak.” Evo sengaja pura-pura sibuk dengan kegiatan rapi-rapinya.

“Hm.” Evo langsung menoleh saat mendengar gumaman dari sang ketua tim sebagai balasan ucapannya. Pria dingin itu bahkan tidak melihat ke arahnya dan masih sibuk memeriksa dokumen-dokumennya.

Evo mendengus pelan. “Sebagai pekerja kesehatan kita harus mendahulukan kepentingan pasien, Pak.” Evo yakin bahwa dia tidak perlu mengatakan hal yang jelas-jelas sangat diketahui ketua timnya itu. Tapi rasa dongkol di hatinya yang entah karena apa, membuat Evo ingin membahas pertemuan pria itu dengan perempuan cantik tadi.

“Bagus. Kamu memang harus mengetahui hal-hal dasar seperti itu untuk meningkatkan kinerja sebagai perawat baru.”

Tepat sekali, Evo mendapatkan kalimat sarkas itu dari ketua timnya. Harusnya dia tidak perlu mengatakan hal yang tidak dibutuhkan.

Gak usah disebut banget deh kalo gue perawat baru. Udah tahu, udah.

“Terus wajar nggak, Pak, kalo karyawan lama dan ketua tim kayak Bapak telat ngasih konsultasi karna urusan pribadi?”

Pria itu akhirnya memberi perhatiannya untuk gadis yang berdiri dengan kertas-kertas dipelukannya. “Kamu sedang membicarakan tentang saya, Keith?”

Deg. Tiba-tiba saja Evo tertegun sesaat setelah mendengar namanya dipanggil dengan sebutan berbeda.

“Keith mau jadi istri aku setelah besar nanti?”

“Mau. Kamu harus janji bakal ngenalin aku setelah besar nanti. Oke?”

“Janji. Kamu juga harus ngenalin aku setelah kita ketemu suatu saat nanti. Keitha adalah satu-satunya panggilan yang bakal aku pakai buat nyapa kamu.”

Suara percakapan itu tiba-tiba saja memenuhi pendengarannya. Ingatan Evo memutar ulang pertemuannya dengan seseorang lima belas tahun silam.

“Hei, are you with me?” Suara berat itu menyadarkan Evo yang langsung melihat ke arah manik pekat di depannya ini.

Evo menjadi sedikit serba salah harus bagaimana. “Ah, se- sepertinya saya harus menyerahkan ini ke rekam medis secepatnya. Sa- saya permisi dulu, Pak.” Entah kenapa Evo tergagap.

“Sepertinya kita sedang membahas sesuatu tadi.”

Evo menoleh ke arah pria dingin yang masih menatap dengan sepenuhnya perhatian itu. “Lupain aja, Pak. Saya rasa, saya memang nggak harus tahu.” Evo langsung berlalu setelah menunduk sekilas. Tak dipedulikan bagaimana respon ketua timnya itu.

***

“Kek mano kerjaan barunyo, Yuk? Lancar galo, kan? (Gimana kerjaan barunya, Yuk? Semuanya lancar, kan?)”

Evo tersenyum setelah mendengar pertanyaan dari ibunya. Pertanyaan khas seorang Ibu. “Lancar galo, Buk. Kanti-kantinyo jugo enak. Bisolah diajak kongsi kalo makan. (Lancar semua, Buk. Temen-temennya juga enak. Bisa diajak berbagi kalo makan).”

Terdengar kekehan di seberang telepon. “Akhir Maret ni aku lah mulai UNBK, Yuk. Doakan aku lancar ngerjokannyo yo, Yuk. (Akhir Maret ini aku sudah mulai UNBK, Yuk. Doakan aku lancar ngerjainnya ya, Yuk).” Kali ini, suara Reza, adik semata wayangnya terdengar.

“Iyo. Padek-padeklah bagi waktu tu. Jangan nak melala be gawe kau. Belajar baek-baek. (Iya. Pinter-pinter bagi waktu. Jangan jalan-jalan mulu kerjaan kamu. Belajar baik-baik).”

“Is dah. Mana ado aku melala terus. Tanyo Ibu ha, belajar betul-betul aku ni. (Ih. Aku gak jalan-jalan mulu. Tanya Ibu, aku belajar bener-bener kok).”

Evo tekekeh. “Iyo. Pecayolah Ayuk. (Iya. Percaya kok Ayuk).”

“Jadi lebaran balek sudah bawak calon mantulah buat Bapak, Yuk? (Jadi pulang lebaran sudah bawain calon menantu buat Bapak kan, Yuk?)”

Evo memutar bola matanya setelah mendengar pertanyaan sang Ayah. Memang, Ayahnya orang yang sangat jahil. “Belum ado yang mau dengan Ayuk, Pak. Dak tenampak’an paling keberadaan Ayuk ni. (Belum ada yang mau sama Ayuk, Pak. Gak kelihatan kayaknya keberadaan ayuk).”

Tawa dari ketiganya terdengar di seberang telepon. Membuat Evo yang semula kesal menjadi ikut tertawa. Percakapan mereka terus berlanjut. Sampai akhirnya Evo memutuskan sambungan telepon karena malam semakin larut.

Evo ingin beristirahat. Lebih tepatnya, mengistirahatkan pikirannya dari hal-hal aneh yang terus muncul di kepalanya setelah percakapan bersama ketua timnya tadi siang.

Keith. Evo menggelengkan kepalanya, menghalau segala pikiran aneh yang sekarang memenuhi otaknya. Siapa saja bisa memanggilnya dengan sebutan itu, kan? Apalagi orang-orang yang baru mengenalinya.

Namanya Keitha Evolet, orang yang baru pertama kali bertemu dengan dia pasti akan memanggilnya dengan nama depan. Beberapa rekan kerjanya juga memanggil dengan nama depannya. Padahal saat perkenalan, Evo sudah memperkenalkan diri dengan nama panggilan Evo dan bukan Keitha. Jadi, kenapa dia harus merasa aneh saat Dante yang menyebutkan nama depannya itu?

Kebetulan, Vo. Jangan diambil hati. Lagian Pak Dante udah punya pacar kali. Evo medengus setelah membaca pikirannya sendiri. Emang kenapa kalo si Dante itu udah punya pacar? Gue juga udah punya Juan. Huh!

Evo menutupi wajahnya dengan bantal. Mencoba melupakan Dante dengan perempuan cantik itu. Juga bayangan lima belas tahun silam.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel