Bagian 5
“Gila sih, Vo. Ketua tim lo kayaknya beneran deh soal emaknya.” Evo dan Kelaya langsung mendekat ke arah Kalana yang terlihat benar-benar terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang.
“Gue udah tahu sih kalo ini tante istrinya Alder Reuven, Om-Om yang buat Kalana halu berkepanjangan.” Mendengar namanya disebut, Kalana mendelik ke arah Kelaya yang hanya tersenyum miring tak acuh.
Evo langsung mengambil handphone dari tangan Kalana untuk melihat dengan lebih jelas. Benar! Ada beberapa foto perempuan itu dengan suaminya, Alder Reuven. Evo men-scroll feeds perempuan yang memang dilihatnya bersama Dante waktu itu. Dan Evo menemukan wajah Dante di sana dengan caption manis khas seorang ibu yang bangga dengan anaknya.
“Sumpah ya ini Tante-Tante, aslinya cantik banget coba. Sampe gue kira dia beneran pacarnya si Dante itu,” ujar Evo mengembalikan ponsel Kalana.
“Umurnya hampir 60 tahun sih.” Kalana dan Evo membelalak kaget sesaat mendengar ucapan Kelaya. “Yakan Om Alder itu muda 12 tahun dari pada istrinya,” sambung Kelaya.
“Beruntung banget itu Tante Lova. Ya Tuhan jodoh gue apa masih ingusan ijo, ya?” Kalana menatap jauh.
“Kal, halu nggak usah dipelihara, deh. Udahan stalking-in itu instagram Lucinta Luna.”
“Lo lama-lama beneran gue jadiin daging guling deh, Kel. Mulut tajem banget kek silet,” sungut Kalana.
“Feni Rose dong gue.” Kelaya hanya mencibir tak peduli dengan pukulan Kalana.
Evo tidak menanggapi percakapan sahabatnya. Pikiran Evo tiba-tiba saja penuh dengan pria dingin yang beberapa hari lalu memberikannya senyuman manis. Pantas saja Dante terlihat sangat menyayangi perempuan waktu itu. Anak mana yang tidak menyayangi ibunya?
“Vo.” Gadis itu melihat ke arah Kalana yang mengguncang bahunya. “Malah diem. Latihan jadi Limbad lo?”
Evo berdecak kesal. “Rese’ sih, Kal.”
Ketiga gadis gila itu akhirnya bertemu weekend ini. Setelah puas berkeliling mall, mereka akhirnya berhenti di salah satu kafe untuk menghabiskan waktu bersama.
“Emang perlu banget lo tahu soal keluarganya si Dante itu, Vo?”
“Maksudnya?” Itu bukan suara Evo yang menjawab pertanyaan Kelaya, melainkan si perempuan yang terobsesi dengan pernikahan. Kalana.
“Ya ngapain itu Dante ngasih tahu ke Evo kalo perempuan yang sama dia waktu itu Emaknya? Kepentingan buat Evo juga kagak ada.”
Evo membenarkan ucapan Kelaya. Dia juga sempat heran saat harus mendengarkan penjelasan dari pria itu tentang ibunya.
“Dia bilang, dia nggak mau gue salah paham,” Evo menjeda ucapannya. Dilihat sahabatnya yang mendengarkan dengan mata penuh antusias.”Habis itu dia bilang lagi, kalo dia masih sendiri.”
Brak!! Gembrakkan di meja itu membuat Kelaya dan Evo terlonjak kaget. Beberapa pelanggan lain sempat melirik ke arah mereka untuk mencari tahu apa yang terjadi.
“Buset, bocah. Hampir berkata kasar gue.” Kelaya mengusap dadanya.
Kalana menggelengkan kepalanya dengan wajah penuh dramatis. Sambil sesekali menunjuk ke arah Evo yang semakin kebingungan.
“Apa sih, Kal? Nunjuk-nunjuk doang kagak ngomong. Bikin kaget aja. Malu-maluin masa!” Evo berucap kesal.
“Emang lo nggak sepeka itu, Vo?”
“Soal apa, halu?”
“Soal omongannya si Dante, lah. Gue yakin dia tertarik sama lo,” ucapan Kalana membuat Evo tertawa kuat.
“Gue baru sadar kalo elo se-halu itu, Kal,” ujar Evo dengan sisa tawanya.
“Gue setuju sama Kalana.” Evo menghentikan tawa. Melihat ke arah Kelaya yang wajahnya kini berubah serius. “Kalo Dante nggak tertarik sama elo, Vo, dia nggak bakal susah-susah ngejelasin siapa perempuan itu. Padahalkan obrolan lo sama dia udah lewat, tapi dia tetep aja berusaha ngejelasin.”
“Tuh, Vo. Kelaya yang nggak ada sense buat cowok aja ngerti lho.”
“Ini piring makanan gue keknya berat deh, Kal. Cukup banget buat benjolin kepala lo.”
Kalana hanya mengibaskan tangannya tak peduli dengan kekesalan Kelaya. Sedang Evo masih terdiam.
“Jadi elo gimana, Vo?” Kalana seperti benar-benar yakin dengan hipotesis yang dibuatnya. Terlebih saat Kelaya, si perempuan yang tidak mengerti tentang perasaan, juga menyetujui ucapannya.
Evo menarik napas panjang. “Nggak gimana-gimana, lah. Gue juga masih punya Juan.”
“Maiyghadh! Lo masih berhubungan sama itu cowok lembek?” Ada nada kekesalan terdengar dari Kelaya.
“Belum lo putusin juga?” Evo hanya menggeleng menjawab pertanyaan Kalana. “Udah sih, Vo. Itu manusia cuma manfaatin lo aja.”
“Tapi dia baik sama gue,” bela Evo tak mau kalah.
“Sekarang nggak ada yang namanya orang baik tanpa pura-pura di depannya, Vo. Dan Juan, salah satu manusia yang punya lebel pura-pura baik itu,” gerutu Kelaya.
Evo diam. Melihat bergantian pada kedua sahabatnya yang sekarang penuh dengan kekesalan. “Gue nggak punya alasan buat mutusin dia,” ujar Evo lirih.
Dengusan keluar dari Kelaya dan Kalana secara bersamaan. Kedua sahabatnya itu tampak kesal.
“Alesan apalagi sih yang lo butuhin kalo si Juan jelas-jelas menggantungi hidupnya di elo? Sampe makan sehari-hari aja minta duitnya ke elo. Gila sih, Vo. Kalo gue jadi lo, udah gue jadiin daging blender sih.” Kelaya jelas bukan tipe yang banyak bicara. Tapi kali ini pun, dia bahkan rela untuk berkomentar. Dan itu jelas sudah menjadi masalah yang keterlaluan.
“Dia juga pengangguran sih, gue ngasih tahu aja.” Kalana mengendikkan bahunya sekilas.
Evo masih diam dan menggeleng pelan. “Nyatanya dia masih baik di depan gue. dan sekarang, dia kerja disebuah kafe, Kal.” Tak ada balasan dari kedua sahabatnya yang sekarang mengangkat tangan menyerah.
“Soal Dante,” Evo melihat ke arah Kalana yang mulai menyantap makanannya. “Gue gak mau tahu hubungan lo sama si Juan lembek itu gimana. Yang jelas, jangan lepasin Dante yang bisa jadi lebih tulus ke elo.”
***
“Dan.” Pria tinggi itu menoleh ke arah seseorang yang melambai ke arahnya. Segera Dante menghampiri Tobias yang juga sedang berkunjung ke kafe kembarannya, Rescha yang tengah duduk bersama.
“Sering banget ke sini sekarang ya, Mas?” Rescha melihat jahil ke arahnya.
Dante hanya tersenyum tak ingin banyak menanggapi sepupunya yang memang banyak bicara ini.
“Tumben, Dan. Biasa habis sibuk di rumah sakit kerjaan lo cuma di rumah doang.”
“Iya, Bi. Karena gue bukan Declan. Yang tiap habis kuliah langsung ngacir ke rumah lo. Lama-lama Mom pasti ngamuk gara-gara kuliahnya nggak selesai-selesai.”
“Declan ke rumah cuma buat jemput Langit doang, Mas. Habis itu mereka ke rumah Zeno. Kayaknya mereka ada projek deh.”
“Biarin aja sih, Dan. Asal masih hal positif yang mereka kerjain nggak masalah, lah.”
Dante hanya mengangguk membenarkan ucapan Tobias. Sesekali, Dante mengedar pandangan, menyisir ke seluruh sudut kafe milik sepupunya ini.
“Udah gue pecat, Mas.” Dante langsung melihat ke arah Rescha yang seperti mengerti dengan apa yang dipikirkannya saat ini. “Si Don Juan itu. Udah gue pecat.”
“Siapa, Re?” Tobias mulai tertarik.
“Karyawan gue, Bi.” Rescha kembali melihat ke arah Dante yang masih diam. “Kelakuannya bener-bener tai sih, Mas. Dia ngelecehin pelanggan perempuan gue. Nyenggol-nyenggol bokong itu pelanggan dengan sengaja. Beberapa kali gue denger keluhan begitu, sampe gue ngeliat sendiri dia waktu dia bertindak. Ya udah langsung gue pecat.”
Dante masih diam. Wajahnya bahkan tidak menunjukkan perubahan. Bagi Rescha itu tidak masalah, karena dia punya sepupu lain yang lebih dingin daripada Dante. Namanya Delaney Arde Reuven. Benar! Kembaran dari si Dante ini.
“Bagus deh udah lo pecat, Re. Cowok kek gitu mah nggak bisa dibiarin gitu aja,” ujar Tobias terlihat tenang kembali.
Sedang Dante hanya menghembuskan napasnya menjadi helaan. Tidak. Semoga dia tidak menjadi korban.
***
Hari ini Juan memberi kabar akan mengantar Evo ke tempat kerja. Setelah pertemuan dengan kedua sahabatnya beberapa minggu lalu, Evo masih belum memutuskan akan mengakhiri hubungannya dan Juan. Evo merasa bahwa pria itu bertingkah layaknya seorang pacar menyayangi pasangannya. Hubungan mereka memang belum terlalu lama, baru berjalan tiga bulan.
Meski beberapa kali Juan meminjam uang Evo dengan jumlah sedikit besar dan belum dibayar sampai sekarang. Evo hanya berpikir bahwa Juan memang belum memiliki uang untuk mengembalikan hutangnya. Juan juga tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama Evo seperti pasangan lain yang akan keluar saat malam minggu. Dan lagi-lagi, Evo berpikir positif bahwa Juan sedang punya banyak kerjaan dan harus diselesaikan segera.
Kalana dan Kelaya memang tidak menyukai pria itu sejak Evo mengenalkan Juan sebagai kekasihnya. Kedua sahabatnya selalu mengatakan bahwa Juan bukan laki-laki baik. Tapi Evo masih terus memikirkan hal-hal positif untuk menangkan pikirannya sendiri. Lagi pula, Evo butuh alasan kenapa Juan bisa dituduh laki-laki tidak baik oleh kedua sahabatnya.
Toh selama ini, Evo melihat Juan dengan sikap baiknya. Juga tentang hubungannya dan Dante, semua berjalan normal. Pria itu masih bersikap dingin dan tidak lagi menunjukkan tanda-tanda ketertarikan.
“Makasih, ya.” Evo menyodorkan helm yang dipakai pada Juan, pacarnya.
Pria itu tersenyum lebar. “Udah tugas aku sebagai pacar kamu kok.” See? Pria itu bisa membuat Evo tersipu dengan ucapan manisnya. “Vo. Aku boleh minjem uang kamu dulu? Kayaknya dompet aku ketinggalan di rumah dan aku harus isi bensin.” Pria itu merogoh kantongnya yang memang tak berisi.
Evo menyipitkan matanya sekilas. Minjem uang, lagi? Meski mulai terganggu dengan kebiasaan Juan, tapi Evo akhirnya mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribuan.
“Nanti aku bayar.” Evo hanya mengangguk menanggapi ucapan Juan. “Aku pergi dulu, ya? Kamu semangat kerjanya.” Juan tersenyum manis ke arah Evo yang membalas. Gadis itu melambaikan tangan ke arah Juan yang mulai menjauh dengan motornya.
“Pacar kamu?”
Evo menoleh kaget. Sudah ada Dante berdiri di sampingnya dengan kemeja slimfit berwarna coklat yang lengannya digulung hingga ke siku. Pagi-pagi ngeliatin beginian berasa dapet vitamin. Evo berdecak mendengar gumaman batinnya yang menggila hanya karna pria di sampingnya saat ini.
“Tuh kan ngagetin lagi. Ada magnetnya emang badan samping saya ya, Pak? Seneng banget dateng, berdiri deket-deket di samping saya begini,” gerutu Evo, kesal.
“Kayaknya iya ada magnetnya. Saya emang langsung tertarik berdiri di samping kamu tiap ketemu.”
Oh, tidak! Evo merasakan panas disekujur tubuhnya. Jangan sampai pipinya merona karena ucapan dari pria dingin ini. “Tapi nggak deket-deket juga!” Evo mengambil jarak agar lengannya tak lagi menempel ke dada lebar Dante.
Dan jarak itu kembali dipersempit oleh Dante yang mendekat tiba-tiba. Membuat wangi vanila dari parfumnya menyebar dipenciuman Evo yang membelalak kaget. Tangan Dante dengan cepat meraih lengan Evo yang hampir terjatuh sangking terkejutnya.
“Saya seneng berdiri di samping kamu. Dan saya suka bisa deket sama kamu. Biar saya bisa bantu kamu untuk nggak jatuh kayak sekarang.”
Evo sudah tidak peduli jika pipinya merona. Bahkan dia mengabaikan nyeri yang disebabkan oleh denyutan tak normal dari jantungnya. Sebab dia sedang tenggelem sangat dalam di telaga manik pekat yang sekarang juga tengah menatapnya penuh kehangatan.
“Hati-hati.” Pria itu melepaskan cengkramannya di lengan Evo setelah lebih dulu membantu gadis itu untuk berdiri sempurna. Evo masih terdiam. Sampai lagi-lagi, pria itu meniup tepat di keningnya, yang membuat helai rambut Evo menari pelan. Gadis itu mengerjap. “Jangan deketin pria itu. Dia bukan pria baik-baik.” Dante pergi setelah menyelesaikan ucapannya. Meninggalkan gadis yang masih sulit bernapas karena kedekatan mereka tadi.
***
