Bab 9. Pertolongan Pertama untuk Orang Asing
Keheningan membentang di balik suasana canggung. Dua insan yang berada dalam posisi intim masih belum menyadari posisinya. Mereka seakan hanyut akan kecelakaan tersebut. Namun dalam hitungan detik keduanya sadar bahwa ini adalah sebuah hal yang tidak benar.
Manik amber Vintari terbelalak saat menyadari posisi intim itu. Secepat kilat, gadis itu bangkit berdiri susah payah. Dia merapikan gaun yang dipakainya. Pun Zeus juga melakukan hal yang sama. Mereka saling memalingkan pandangan saat mata mereka beradu.
Kecanggungan terjadi di antara keduanya. Bibir Vintari menempel tak sengaja ke bibir Zeus. Debar jantung gadis itu berpacu kencang seolah ingin berhenti berdetak. Ya Tuhan! Sangat memalukan! Vintari rasanya ingin bersembunyi di kutub utara.
“Pilih saja gaun itu. Itu cocok di tubuhmu,” ucap Zeus tanpa melihat Vintari. Pria itu seolah bersikap acuh dan tak peduli tentang apa yang terjadi.
Vintari berusaha mengabaikan apa yang telah terjadi, sama seperti Zeus. Dia melihat pantulannya di cermin. “Baiklah. Gaun ini memang cocok.”
Setelah menetapkan pilihan gaun dengan model ball gown yang terlihat mewah dan elegan, giliran Zeus untuk mencoba setelannya. Vintari mengambil tempat Zeus setelah mengganti bajunya. Dia duduk santai di sana sambil membolak-balik majalah bridal yang disediakan di atas meja.
Saat gorden terbuka, sosok Zeus yang memakai tuxedo berhasil membuatnya terdiam terpaku. Sangat berbeda saat melihat pria itu mengenakan jas dokternya. Saat ini, pria itu terlihat lebih tampan dari biasanya. Oh, God! Vintari tak menyangka Zeus setampan ini.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Zeus dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Pilihlah yang itu. Aku menyukainya,” ucap Vintari yang masih terperangah kagum.
***
Suasana canggung kembali menyelimuti mereka berdua. Lebih tepatnya, Vintari yang lebih merasakan sensasi itu. Berkali-kali, dia melirik Zeus yang sedang mengemudikan mobilnya melalui sudut mata yang tertutup beberapa helai anak rambutnya.
Tubuhnya langsung mengejang ketika Zeus membuat gerakan sekecil apa pun. Walaupun itu hanyalah kecelakaan, tapi itu adalah first kiss-nya yang telah dia nantikan untuk cinta pertamanya. Sialnya, harapan besarnya itu justru mendarat pada sosok angkuh di sebelahnya.
Zeus melirik Vintari yang tampak berbeda. “Apa yang kau pikirkan?”
Vintari panik. “T-tidak. A-aku tidak memikirkan apa pun.”
Sebelah alis Zeus terangkat. “Kau yakin? Aku melihatmu seperti ada yang mengganggu ketenangan pikiranmu.”
“Memangnya aku memikirkan apa?” Vintari salah tingkah.
Zeus mengulum senyum dengan fokus masih tetap pada jalanan yang mulai lenggang. Sementara Vintari berusaha untuk tidak menunjukkan sikap paniknya karena teringat detail kejadian tadi.
Ting!
Sebuah notif pesan masuk ke ponselnya.
[ Girl, just want to ask dan mengingatkan. Kau sudah buat tugas managemen strategis, belum? Jangan sampai lupa atau kau mau ditandain si dosen killer karena sudah dua kali lupa tugas! see you tomorrow! ]
Vintari menepuk jidatnya sendiri setelah membaca pesan dari teman kelasnya. Bagaimana bisa dia melupakan tugas sepenting itu. Ditambah lagi, buku panduannya entah hilang ke mana. Mencari bahan materi di internet hanya membuatnya semakin pusing karena seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
“Zeus, bisakah kau mengantarku ke toko buku saja? Ada buku panduan materi yang harus kucari karena milikku sebelumnya hilang,” pinta Vintari.
Zeus memandangnya sekilas. “Tidak salah aku memanggilmu gadis ceroboh.”
Vintari mencebik, tapi dia memilih untuk tidak mendebatnya. Ada hal yang lebih penting daripada bertengkar perkara sikap menyebalkannya. “Kau tak perlu mengantarku pulang ke rumah. Turunkan saja aku di depan toko buku. Please!”
“Baiklah, tapi jelaskan sendiri pada ibumu, kau yang meminta untuk diturunkan di toko buku dan tidak mau diantar pulang,” kata Zeus, yang tidak ingin dianggap sebagai pria yang tak bertanggung jawab karena tidak mengantar Vintari sampai ke rumah.
Vintari mengacungkan jempolnya sambil mengiyakan syarat dari Zeus. Selanjutnya, Zeus menepikan mobilnya pada toko buku yang kebetulan tidak berjarak jauh dari tempat mereka sebelumnya.
“Langsung pulang setelah kau mendapatkan apa yang kau butuhkan,” ujar Zeus pada Vintari setelah gadis itu turun dari mobil.
“Oke, terima kasih atas tumpangannya. Hati-hati di jalan, Tuan Dokter,” ucap Vintari sambil tersenyum.
Zeus hanya mengangguk tanpa tersenyum, segera menaikkan kaca jendela mobilnya dan bersiap menginjak pedal gas saat teriakan minta tolong terdengar kencang. Vintari yang telah berada di trotoar juga langsung berpaling pada teriakan itu. Zeus keluar dari mobilnya, sambil menyaksikan kerumunan berjarak tiga meter dari tempat mereka. Keduanya saling pandang, lalu berlari ke sana tanpa perlu komando.
Vintari terkesiap melihat sumber dari teriakan itu. Darah telah tercecer di lantai trotoar, perlahan semakin menggenang dan membuatnya lemas. Seorang anak kecil tergeletak di sana, terhimpit plang iklan berukuran sedang dengan pecahan kaca yang berserakan di sekitarnya.
Melihat itu, Zeus segera sigap untuk memeriksa keadaan anak kecil itu. Vintari di belakangnya menatap cemas, dengan lutut bergetar dan tubuh mengejang serta dada yang terasa semakin sesak.
Beberapa pria dewasa dengan cekatan mengangkat plang iklan yang menimpa tubuh anak itu, sedangkan Zeus segera membuka jaket tebal bocah kecil itu dan hoodie serta sweater yang membungkus tubuhnya sampai terlihat pecahan kaca yang menancap di bagian perut sebelah kanan. Dia mendekatkan telinganya ke wajah bocah itu, mencoba mendengarkan deru napasnya, lalu memeriksa denyut nadinya.
“Tidak ada respon dari paru-paru sebelah kanan. Kemungkinan pasien mengalami pneumothorax tension. Tolong lakukan pernapasan mulut ke mulut setiap tiga detik, lalu konfirmasikan gerakan dadanya,” perintah Zeus pada Vintari yang masih berdiri di belakangnya sambil membekap mulutnya dengan kedua tangan.
(Pneumothorax tension : udara terjebak meningkatkan tekanan pada paru-paru yang cedera)
“Vintari, cepat!” seru Zeus keras.
Vintari panik dan ketakutan. Raut wajahnya terlihat pucat pasi. Dalam hati, dia ingin melakukannya tapi phobia darah membuatnya tak bisa bergerak. “Z-Zeus—”
“Vintari!” Zeus kembali berteriak.
“A-aku ..., a-aku—” Vintari menggeleng cepat, berusaha meyakinkan diri, agar dirinya tidak boleh bersikap lemah seperti ini.
Perlahan Vintari berjongkok di sebelah Zeus, lalu segera melakukan apa yang diminta oleh pria itu. Hal ini pernah diajarkan oleh ayahnya untuk penanganan darurat. Meskipun dia bukanlah mahasiswi kedokteran, tapi penanganan seperti ini telah dia kuasai dengan baik.
Zeus segera berdiri setelah Vintari melakukannya dan meminta siapa pun untuk memanggil ambulan, sebelum dia berlari cepat menuju ke mobilnya untuk mengambil tas khusus yang berisi peralatan medisnya.
Begitu kembali ke tempat, Zeus segera melumuri pisau bedahnya dengan alkohol lalu mengambil chest tube dan kembali melakukan hal yang sama dengan tujuan sterilisasi. Zeus memegang area perut bocah kecil yang terluka itu, kemudian menyentuh bagian di atasnya, dan bersiap untuk menyayatnya.
“Apa yang kau lakukan pada anakku??” teriak ibu dari bocah kecil yang terluka itu.
Zeus mendongak sebentar untuk memberi penjelasan. “Aku dokter bedah, anakmu harus segera diberi tindakan darurat agar nyawanya bisa tertolong. Jadi, izinkanku untuk melakukan tindakan ini.”
Wanita itu akhinya membiarkan Zeus untuk melakukan tindakan. Dengan cekatan dan gerakan yang ahli, Zeus menyayat perut bagian kanan bocah itu. “Kita harus memasukkan selang ini mengikuti permukaan ruang interkostal kelima di bagian tulang rusuk. Dengan begini, kita bisa menghindari kerusakan pada pembuluh darah dan sarafnya,” jelasnya pada Vintari yang saat ini menjadi asisten dadakannya.
Detik selanjutnya, sebuah udara terdengar keluar dari ujung chest tube yang tertancap di perut bocah kecil itu. Semua orang terpana melihat aksi yang telah dilakukan oleh Zeus.
Bersamaan dengan itu, sirine ambulan memecah kerumunan. Beberapa petugas medis darurat datang. Zeus menghela napas lega saat mengamati perut anak itu secara menyeluruh. Tak ada lagi tanda-tanda udara yang terjebak maupun pendarahan dalam.
“Dokter Zeus,” sapa salah satu petugas medis.
“Pneumothorax tension telah teratasi. Tidak ada tanda-tanda pendarahan dalam, tapi sampaikan untuk tetap melakukan pemeriksaan intens secara menyeluruh pada dokter jaga. Selimuti tubuhnya karena ada risiko hipotermia ringan karena terpapar udara dingin cukup lama selama tindakan,” kata Zeus menjelaskan.
Petugas medis segera melakukan semua prosedur tindakan, lalu membawa anak itu ke rumah sakit. Kerumunan telah bubar, menyisakan Vintari yang menatap takjub pada Zeus. Melihatnya melakukan tindakan darurat seperti tadi, membuat pria itu terlihat sangat hebat di mata Vintari.
“Kau baik-baik saja?” tanya Zeus cemas.
Vintari menunduk, kedua tangannya memilin kasar syal hitam yang melingkar di leher. Tubuhnya masih gemetar, tapi dia berusaha untuk menutupinya dengan baik. “A-aku takut,” ucapnya dengan nada bergetar.
Zeus merengkuh wajah gadis itu untuk memeriksanya. Sebagai seorang dokter, dia bisa mengenali serangan panik yang saat ini sedang dialami oleh Vintari. “Kau sudah melakukan dengan hebat. Terima kasih sudah membantuku.”
Vintari memandang Zeus. Saat ini, dia tak lagi menyembunyikan ketakutan dalam dirinya. Meskipun begitu, tak ada satu kata pun yang bisa dia keluarkan. Gadis itu meringkuk dalam pelukan Zeus.
