Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10. Sikap Aneh Zeus

Pelukan hangat berhasil memberikan ketenangan dalam diri Vintari. Gadis itu meringkuk dalam pelukan Zeus seperti anak kecil yang ingin dilindungi. Lalu secara perlahan Vintari melepaskan pelukan itu.

“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Zeus memastikan.

Vintari mengangguk merespon ucapan Zeus. “A-aku permisi. Aku ingin ke toko buku.”

Tanpa menunggu respon dari Zeus lagi, Vintari memutuskan untuk berbalik ke arah toko buku. Rasa cemasnya telah berkurang berkat pelukan Zeus yang menenangkan. Namun, tubuhnya tak bisa berbohong. Lututnya masih terasa lemas saat melangkah, membuatnya berjalan sempoyongan seperti ingin pingsan. Detik selanjutnya, tiba-tiba gadis itu telah berada di gendongan Zeus yang berjalan santai menuju mobilnya.

“Zeus, turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!” protes Vintari sambil berusaha untuk mendorong dada pria itu dari tubunya.

Alih-alih menuruti ucapan Vintari, Zeus justru semakin mengeratkan gendongannya dan membuat gadis itu susah untuk bergerak.

“Zeus, please. Turunkan aku sekarang juga!” seru Vintari kesal.

“Jangan banyak protes dan diam saja. Aku yang semakin repot kalau kau pingsan lagi di sini,” kata Zeus tegas dan menekankan.

Vintari tak bisa protes. Dia juga tak ingin pingsan lagi di depan Zeus. Kejadian kemarin sudah membuatnya sangat malu. Belum lagi semua hal yang terjadi hari ini. Akhirnya, dia memilih untuk diam dan menurut sampai Zeus mendudukkannya pelan di jok mobil. Setelah itu, Zeus bergegas untuk menaruh tas medisnya di bagasi mobil, lalu kembali ke belakang kemudi—memeriksa sabuk pengaman Vintari yang telah terpasang.

“Kuantar kau pulang. Tidurla. Aku tahu kau lelah. Nanti aku akan membangunkanmu jika sudah sampai,” ujar Zeus sambil menyalakan mesin mobil.

Vintari ingin protes karena belum dapat buku materi yang dicari. Namun, dia tak memiliki tenaga yang cukup untuk memulai perdebatan. Pada akhirnya, dia hanya mengangguk dan memutuskan untuk masa bodoh dengan risiko yang akan dia dapatkan dari dosen killer.

Di sebelahnya, Zeus berkali-kali mencuri pandang untuk memastikan Vintari baik-baik saja. Wajah gadis itu masih terlihat pucat. Sesekali juga terlihat mengatur napasnya agar tetap tenang. Hati kecilnya sedikit terganggu melihat kondisinya yang seperti itu.

Kompleks perumahan Vintari sudah di depan mata, tapi Zeus tak melambatkan kecepatan mobilnya sama sekali dan terus melaju sampai melewati gerbang gapura kompleks begitu saja. Vintari yang baru bangun setelah sepanjang jalan memutuskan untuk memejamkan mata, bolak-balik melihat ke belakang dan ke depan untuk memastikan bahwa Zeus memang melewatkan kompleksnya.

“Tunggu, kita mau ke mana? Seharusnya kau berbelok di gerbang tadi,” tanya Vintari bingung.

“Jangan banyak tanya. Diam saja di tempatmu,” jawab Zeus dingin.

Vintari mendengkus kesal. Dia tak masalah jika harus mampir ke suatu tempat, tapi yang jadi masalah adalah cara bicara Zeus yang kembali ketus. Pria itu memang tercipta sangatlah menyebalkan.

Mobil mulai melaju pelan saat masuk ke area taman yang berada di belakang kompleks tempat tinggal Vintari. Meskipun jam hampir menunjukkan tengah malam, tapi situasi di taman masih cukup ramai. Ada beberapa muda-mudi seumuran Vintari yang duduk di bangku taman sambil bersenda gurau.

“Tunggu di sini dulu,” ucap Zeus dingin.

Vintari mengangguk tanpa protes karena tak ingin dimarahi oleh pria itu lagi. Dia duduk di bangku yang telah ditunjuk Zeus, dan melihat punggung pria itu yang semakin menjauh. Dalam hati, dia masih berusaha untuk mencerna keadaan bahwa pria dingin, angkuh, sombong, dan galak itu adalah calon suaminya.

Tak lama, Vintari melihat sosok dingin itu sedang berjalan ke arahnya dengan membawa permen kapas dan beberapa balon berwarna pink pastel yang saling menyundul di atas kepalanya.

“Untukmu,” ucap Zeus sambil menyodorkan itu semua di depan wajah Vintari yang masih duduk di bangku.

Vintari meraih tali dari balon-balon itu, dan mengambil permen kapas dari genggaman Zeus. “Kenapa kau beli ini?”

“Sebagai ucapan terima kasih karena telah membantuku untuk menolong pasien tadi,” jawab Zeus sambil duduk di samping Vintari.

Raut wajah Vintari kembali memucat saat mengingat genangan darah yang telah dia lihat tadi. Meskipun dia berhasil mengatasi ketakutannya dan berhasil membantu Zeus untuk melakukan tindakan pada bocah tadi, tapi ternyata masih tidak membuatnya menjadi baik-baik saja.

“Sebenarnya, aku memiliki phobia dengan darah. Aku takut sekali melihat darah. Dad ingin aku menjadi seorang dokter, tapi aku menolak karena kondisiku. Maafkan aku karena tidak segera melakukan tindakan saat kau memintaku tadi,” kata Vintari lirih, merasa bersalah.

Zeus tersenyum samar mendengar kejujuran Vintari. “Terima kasih karena telah membantuku, meskipun kau memiliki phobia terhadap darah. Kau hebat bisa melawan rasa takutmu, dan aku minta maaf karena telah memaksamu untuk melakukannya.”

Vintari menoleh pada pria itu, tersenyum lega karena melihat ketulusan pada sorot mata Zeus. “Tapi, kenapa kau memberiku ini? Memangnya aku ini anak kecil?”

Zeus tertawa kecil, kemudian berdiri menghadap Vintari. “Kau kan, memang masih kecil. Bocah kecil yang selalu menyusahkanku,” ucapnya kemudian berbalik dan melenggang begitu saja tanpa merasa bersalah karena telah mengucapkan kata-kata yang menyebalkan.

Vintari melotot pada Zeus. Dia mulai sadar, meskipun ada kebaikan yang telah dilakukan pria itu padanya, tetap saja sosok seorang Zeus adalah laki-laki angkuh tanpa perasaan. Itu yang dirinya nilai tentang Zeus.

“Tunggu, aku!” seru Vintari, sedikit berlari pada Zeus yang tetap tak menghentikan langkahnya.

“Dasar gadis lamban,” ketus Zeus saat mendengar seruan Vintari.

“Zeus, bolehkah aku membeli sesuatu dulu? Kau mau menungguku sebentar di sini, kan?” tanya Vintari bersemangat.

Zeus mengangguk, lalu mengamati Vintari yang berlari kecil dengan riang. Entah karena predikat ceroboh telah tersemat di belakang nama Vintari, saat ini dia jadi merasa memiliki kewajiban untuk menjaganya. Jika sampai gadis itu jatuh atau celaka, dia juga yang akan repot.

Pandangan Zeus masih mengekor pada Vintari yang ternyata menghampiri stan kecil penjual bunga eceran. Sedikit tertarik, Zeus melangkahkan kakinya untuk menyusul Vintari yang mulai memilih bunga.

“Lily putih? Kenapa kau ingin beli itu?” tanya Zeus yang telah berdiri di sebelah Vintari.

Gadis itu tersenyum sambil mengendus aroma lily dari kelopaknya, lalu memandang Zeus. “Karena aku suka.”

Tampang Zeus menjadi berubah saat mendengar jawaban Vintari. Ada sesuatu yang membuatnya menjadi bersikap serius. “Sangat aneh. Biasanya, wanita akan lebih suka bunga mawar. Tapi, kenapa kau malah suka dengan bunga lily?”

Vintari tak langsung menjawab, dia menatap bunga itu kemudian tersenyum lagi. “Karena lily putih adalah bunga yang spesial. Bunga ini selalu ada di pemakaman. Saat semua orang telah pergi, hanya bunga ini yang tetap di sana untuk menemani orang-orang kesepian yang telah meninggal itu. Karena itulah, aku selalu menganggap lily putih adalah bunga spesial. Dia yang akan menemaniku nanti di saat semua orang telah meninggalkanku.”

Raut wajah Zeus menjadi lebih dingin dari biasanya. Sorot matanya semakin tajam, sampai membuat Vintari mundur selangkah karena merasa sedikit takut. Gadis itu merasa aneh pada tatapan Zeus.

Zeus merogoh dompetnya, membukanya dan mengeluarkan lembaran dolar pada Vintari. “Pulanglah sendiri naik taksi,” katanya dingin, lalu berpaling dan meninggalkan Vintari sendirian yang kehabisan kata karena sikap Zeus yang aneh.

***

Sudah hampir tiga pekan setelah Vintari ditinggalkan sendirian oleh Zeus di taman. Sejak itu, dia tak pernah lagi berhubungan dengan pria itu. Lagi pula, tak ada waktu untuk memikirkan pria itu karena hari-harinya semakin sibuk karena urusan persiapan pernikahan.

Well, sebenarnya hanya Jenny yang semakin sibuk karena mengurus persiapan pernikahannya. Vintari hanya mengekor dan mengiyakan semua keinginan Jenny. Mulai dari bertemu dengan Wedding Organizer, memilih design undangan, menentukan venue, serta test food menu yang dipilih untuk hari pernikahan.

“Vintari, jangan lupa kalau lusa kau ada jadwal untuk foto pre-wedding.” Jenny mengingatkan saat Vintari akan berangkat ke kampus.

“Oke, Mom. Zeus bisa datang, tidak? Dia sedang sibuk sekali, kan?” tanya Vintari tanpa perlawanan.

Kali ini, Vintari benar-benar pasrah dengan segala hal mengenai perjodohan ini. Percuma dia membuang tenaganya untuk marah dan protes karena orang tuanya tidak mendengarkannya sama sekali.

Jenny terkekeh mendengar pertanyaan Vintari. “Tentu saja dia datang. Memangnya kau mau foto pre-wedding dengan siapa? Tidak mungkin dengan Mommy, kan?.”

Vintari menghela napas panjang, tak mengatakan apa pun.

Di sisi lain, David yang baru pulang dari luar negeri langsung menerobos ke ruangan Zeus. Berminggu-minggu dia tidak dapat menghubungi anaknya itu. Banyak alasan yang diberikan padanya. Jadwal operasi, ke luar kota untuk mengisi seminar kedokteran, dan alasan lain lagi.

“Zeus, kenapa kau seperti menghindari persiapan pernikahanmu sendiri? Bukannya kau yang minta untuk selalu dilibatkan dan diskusi terlebih dulu untuk persiapan itu? Kenapa sekarang jadi seakan tak peduli lagi?” cecar David tanpa basa-basi di kala bertemu dengan putranya.

“Aku sibuk, Dad. Biar semuanya diurus oleh Vintari, aku akan mengikuti semua keinginannya,” jawab Zeus tak peduli.

David mengerutkan keningnya. “Kau tak lupa kalau lusa adalah jadwal kalian untuk foto pre-wedding, kan? Kau harus datang. Tak mungkin Vintari melakukannya sendirian.”

Zeus berdiri, mengenakan snelli yang tergantung di gantungan baju dekat mejanya. “Lihat saja nanti. Ada pasien darurat, aku harus pergi, Dad.”

“Zeus, aku belum selesai bicara! Beraninya kau pergi!” seru David dan tak dihiraukan oleh Zeus.

David berdecak kesal. “Anak itu benar-benar membuatku sakit kepala. Apa yang sebenarnya ada di isi kepalanya itu? Awas saja kalau berani mencari masalah.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel