Lima
Arsya tidak tau harus merasa beruntung atau sebaliknya. Sejak pertemuannya dengan Raiya diacara ulang tahun Divya, ia secara tidak langsung jadi sering bertemu dengan gadis itu.
"Aku gak bisa temenin kalian ya? Soalnya aku masih kerja." Kata Raiya.
"Bukannya udah mau tutup?" Tanya Divya.
Raiya mengangguk sambil tersenyum. "Emang. Karena mau tutup aku kan jadi harus beres-beresin dulu."
Awalnya Arsya mengira Divya akan mempermalukan Raiya atau hal-hal lain yang memiliki maksud tersembunyi di belakangnya. Namun hingga detik ini, ia tidak melihat apapun selain ketulusan dari mereka berdua.
"Tapi pulang bareng gue ya?"
"Aku lama loh, Div."
"Aku juga masih lama kok."
Raiya menghela nafas. Ia akan selalu kalah jika harus berdebat dengan Divya si gadis keras kepala.
"Yaudah iya. Aku balik kerja lagi ya? Met makan!"
Arsya mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa melepaskan matanya dari Raiya. Kali ini, ia benar-benar seperti lelaki brengsek. Bagaimana bisa Arsya menatap gadis lain saat ada Divya di sampingnya?
Tapi sungguh, Arsya tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Raiya kali ini. Gadis itu terlihat sangat berbeda ketika menguncir rambutnya, seakan Arsya melihat banyak versi dari Raiya.
"Temen kamu freelance?" Arsya bertanya kepada Divya ketika sosok Raiya sudah pergi.
Divya mengangguk. "Dia freelance dimana-mana. Udah kayak pejuang dollar banget."
Arsya mengangguk. "Kita mau nungguin dia pulang?"
"Hmm."
Satu hal yang selalu Arsya sadari ketika pergi dengan Divya adalah, gadis itu tidak bisa melepas ponsel dari genggamannya. Atensi Divya selalu berpusat kepada ponselnya, dan tentu saja Arsya selalu diacuhkan.
"Sibuk apasih, Div?" Tegur Arsya.
Divya melirk Arsya, lalu menyodorkan ponselnya. "Aku lagi chating sama brand, Sya. Emang ngapain lagi?"
"Oh iya, aku lupa kamu influencer." Kata Arsya sarkas.
"Gak usah ribet gitu deh, Sya. Kamu kan juga tau aku sibuk sama ponsel tuh kerja, bukannya cuman scroll timeline doang."
Sikap Arsya yang seperti inilah yang selalu membuat Divya jengah. Untungnya pesanan mereka tiba sebelum keduanya terlibat perdebatan yang panjang.
Mereka makan dalam diam, tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun hingga mereka selesai dan ingin membayar makanan.
"Meja 31 sudah dibayar, Kak."
Arsya menyerit bingung. "Sama siapa?"
"Sama aku!" Raiya muncul di belakang Divya sambil menunjukan cengiran di wajahnya.
"Ra, kok dibayarin sih?" Protes Divya.
"Emang gak boleh?"
"Bukan gak boleh. Maksudnya kan gue sama Arsya yang makan."
"Terus?"
Divya mendengus, ia mengambil dompet dari dalam tasnya dan memberikan sejumlah uang kepada Raiya. "Nih nih, gue gak mau ah. Nanti gaji lo dipotong!"
Wajah Raiya yang berubah secara mendadak membuat atmosfer diantara mereka langsung tidak enak. "Yaudah, kamu maunya bayar ya?"
Kepala Arsya jadi pening melihat perdebatan antara dua gadis ini. Hanya masalah siapa yang membayar saja jadi heboh dan panjang.
"Gini aja. Gapapa sekarang kita ditraktir Raiya, Div, next time kita yang traktir Raiya. Gimana?"
Akhirnya Raiya dan Divya mengangguk setuju.
Arsya kira, mereka berdua akan canggung setelah perdebatan singkat tadi Divya dan Raiya akan bersikap canggung. Namun kenyataannya malah keduanya semakin lengket.
"Jujur aku capek banget tau, Div, di tempat yang sekarang ini. Tapi upahnya lumayan gitu.."
Arsya melirik dari kaca spion yang berada di dalam mobil ke arah Raiya. Gadis itu menyenderkan tubuhnya sambil meminum boba yang dibelikan Divya tadi.
Divya menoleh. "Lagian, lo ngapain sih, Ra, freelance siang malem? Bukannya lo juga sekarang lagi buka commission?"
Raiya mengangguk. "Ho'oh. Tapi kan bentar lagi aku mau nyusun skripsi, jadi nabung gitu loh. Biar pas skripsi nanti aku fokus ke kuliah aja."
Lagi-lagi Arsya hanya menjadi pendengar. Perlahan-lahan ia mulai mengetahui seperti apa sosok Raiya. Gadis itu sangat pekerja keras dan pantang menyerah.
Suara Raiya perlahan-lahan menghilang, Divya pun kembali sibuk dengan ponselnya lagi. Ketika Arsya melirik kembali, ternyata Raiya sudah tertidur.
Arsya bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan dari wajah Raiya, gadis itu bahkan tertidur dengan tangan yang masih menggenggam cup boba tadi. Sungguh jika sedang tidak menyetir, Arsya akan tidak akan mengalihkan pandangannya dari gadis itu karena penasaran.
Lamunan Arsya terpecah ketika mendengar suara kekehan Divya. Bulu kuduk Arsya langsung berdiri ketika skenario menyeramkan menyapa benaknya. Namun semuanya sirna karena kenyataannya Divya sedang menempelkan ponselnya di telinga.
Oh Divya sedang menelepon seseorang.
"Besok aja deh, Vid. Hehehe iya gue lagi di jalan juga. Hng? Yaudah, jemput ya."
Arsya menyerit kebingungan. Tunggu, siapa yang sedang Divya ajak bicara di seberang telepon? Kenapa terdengar sangat dekat dan...manja?
"Siapa, Div?" Tanya Arsya. Lelaki itu menoleh tepat ketika lampu lalu lintas berwarna merah.
Divya masih memasang senyum meski panggilan teleponnya sudah terputus beberapa waktu lalu. "Ah ini video editor aku, David."
"Dia ngapain?"
"Ajak ketemuan. Sekalian aku kasih file video aku yang harus dia edit."
"Lelaki?"
Mata Divya melirik jengah. "Emang ada perempuan yang namanya David?"
Arsya meninjak pedal gasnya mendadak. "Deket juga ya sama kamu."
Lagi-lagi Arsya menyelipkan sarkasme dalam ucapannya. Divya tentu saja muak, namun ia terlalu malas berdebat dengan lelaki itu.
"Aku rasa kamu juga tau kalau diantara kita sedang gak baik-baik aja." Entah kenapa Arsya tidak merasa menyesal ketika mengatakan hal itu.
"Aku tau."
Arsya ingin menyahuti ucapan Divya lagi, namun suara deheman yang berasal dari kursi belakang membuat ia mengurungkan niatnya.
"Hehehe sorry tapi...kalau kalian lupa gue masih ada disini. Terus, Sya, boleh gak lo jangan ugal-ugalan nyetirnya? Baju gue ketumpahan boba." Raiya menampilkan cengirannya yang kaku. Sungguh ia merasa seperti benalu saat ini.
"Ini ke kosan aku dulu kan, Div?" Tanya Raiya lagi setelah tidak ada respon apapun sebelumnya.
Arsya melirik Divya sinis. "Rumah Divya dulu. Udah terlanjur."
"Iya. Lagian gue juga masih ada kerjaan jadi harus buru-buru sampe rumah."
"Hah?"
Raiya melongo. Kenapa ia jadi terlibat diantara perang dingin kedua orang ini? Ah sial, harusnya tadi Raiya pura-pura tidur saja.
Hingga tiba di rumah Divya, suasana mobil Arsya masih sangat canggung. Bahkan Divya dengan sengaja menutup pintu mobil dengan keras hingga membuat bunyi dentuman yang mengagetkan.
"Parah." Kata Arsya.
Aduh, Raiya harus bagaimana ya? Ia benar-benar kebingungan sekarang. Apalagi terjebak dengan Arsya yang moodnya sedang tidak baik.
Raiya menyenderkan kepalanya di kursi yang sebelumnya Divya duduki, menatap Arsya lalu berkata. "Aku gak pindah depan gapapa ya, Sya? Bawaan aku banyak."
Arsya hanya bergumam.
"Sya, kalau kamu gak bisa anterin aku sampai kosan. Di halte busway depan juga gapapa, semisalnya kamu keberatan--"
"Menurut kamu, Divya masih sayang gak sih sama aku?"
