Enam
"Halo?"
"Iya, halo. Aku udah di depan kampus kamu, Ra."
Raiya menyeritkan alisnya bingung. Masalahnya ia tidak memiliki kekasih atau apapun itu namanya dengan seorang laki-laki, lantas siapa yang tiba-tiba meneleponnya dan mengatakan hal tersebut?
"Maaf, ini siapa ya?"
"Ini Arsya."
Mata Raiya membulat ketika mendengar kata tersebut. Untuk apa lelaki itu menjemputnya? Dan darimana pula Arsya mendapatkan nomor ponselnya?
"Terus?"
"Aku di depan kampus kamu. Ada yang mau aku omongin."
Aduh Raiya jadi mendadak sakit perut. Seingatnya, saat beberapa waktu lalu diantar pulang oleh Arsya ia tidak melakukan kesalahan apapun, lalu kenapa lelaki itu mendadak ingin membicarakan sesuatu dengannya?
Dengan hati yang berdebar karena menerka-nerka apa yang akan lelaki itu bicarakan, Raiya menghampiri mobil Arsya yang terparkir tepat di depan kampusnya. Arsya langsung keluar dari mobilnya ketika melihat sosok Raiya di luar mobil.
"Masuk, Ra."
Raiya tersenyum, meski sedikit ragu ia tetap masuk ke dalam mobil Arsya. "Kenapa ya, Sya?"
Arsya menyalakan mobilnya, lalu melirik Raiya sekilas sebelum kembali terfokus pada jalanan. "Kamu tau Divya lagi ke luar kota sama team-nya?"
"Tau. Dia kasih tau aku kemarin, kenapa emang?"
Mendengar jawaban Raiya, Arsya tidak kuasa untuk menahan dengusannya. "Serius? Guess what? Dia gak kasih tau aku sama sekali."
Dalam hati, Raiya tidak tau harus memihak atau merespon apa. Karena menurutnya ini sama sekali bukan urusannya. "Masa sih?"
Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, Arsya langsung menunjukan chat dirinya bersama Divya. Bukannya Raiya jelalatan, namun jika ia lihat obrolan mereka berdua benar-benar tidak seperti kekasih pada umumnya. Memang sih Raiya jomblo, tapi bukan berarti ia tidak tau bagaimana cara mengobrol dengan pasangan.
"Kamu kasih nama Divya, D doang?"
Arsya mengangguk. "Dia juga kasih nama aku A doang."
Raiya menggaruk rambutnya karena kebingungan. Astaga apa mereka ini benar-benar sepasang kekasih?
"Tapi, Ra, aku mau tanya deh sama kamu." Arsya menoleh ke arah Raiya, "Divya pernah cerita gak sih ke kamu tentang aku?"
"C-cerita apa?" Raiya gelagapan. Tentu Divya pernah bercerita tentang Arsya, tapi topik yang selalu gadis itu bahas hanya tentang sifat menyebalkan Arsya. Tidak mungkin kan Raiya menceritakan hal tersebut kepada lelaki itu?
"Ya cerita apa kek, tentang sifat aku atau apa gitu?"
"Engga sih.."
Arsya menarik nafas. "Jujur aku udah clueless sama hubungan aku sendiri."
"Maksudnya?"
"Entah kenapa aku merasa aku dan Divya hanya dua orang yang saling terikat tanpa rasa sayang."
Wow apakah Arsya sadar jika ia sedang membicarakan Divya kepada sahabat gadis itu? Raiya bisa saja membocorkan hal ini kepada Divya nanti, namun jauh dilubuk hatinya ia setuju. Karena Divya pun sering mengatakan hal serupa. Mereka sudah terlalu nyaman dengan jarak yang tanpa sadar semakin melebar.
Raiya tersenyum canggung. "Aku no comment deh hehehe. Ngomong-ngomong kamu dapat nomor aku darimana?"
"Oh itu, Divya kasih aku sih beberapa waktu lalu. Katanya siapa tau aku ada perlu sama dia dan misalnya Divya sibuk, aku bisa hubungi kamu."
Sebenarnya Raiya merasa janggal, untuk apa Divya memberikan nomor teleponnya kepada Arsya. Padahal ia juga tidak selalu bersama dengan Raiya kan?
"Kamu mau gak, Ra, jadi temen curhat aku?"
***
"Aku kalau lagi cheat day, suka makan nasi bebek disini."
Raiya hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Arsya. Masalahnya untuk apa lelaki itu mengajaknya makan? Raiya jadi tidak enak dan terus terbayang-bayang dengan Divya.
"Kamu gak suka nasi bebek?" Tanya Arsya.
"Suka. Eng...Sya, nanti aku pulang naik busway aja ya? Soalnya masih ada yang harus aku lakuin."
Arsya menatap Raiya penuh tanya. "Kenapa? Kamu mau lanjut kerja? Aku anter aja gapapa kok."
Haduh, bagaimana caranya memberitahu Arsya ya jika Raiya tidak nyaman berlama-lama dengan lelaki itu? Raiya takut ada kesalah pahaman diantara dirinya dan Divya nanti. Bagaimana pun kan Arsya tetap milik sahabatnya.
Melihat sikap Raiya yang gusar sedari tadi, Arsya paham betul apa yang sedang menghantui pikiran gadis itu. "Ra, aku udah ngomong kok sama Divya mau ajak kamu ketemu. Katanya gapapa dan malah aku harus pastiin kamu safe sampe kosan."
Mata Raiya membulat kaget. "Kamu ngomong sama Divya?!"
"Hmm..."
Pundak Raiya langsung lemas, kalau Divya marah nanti bagaimana?
"Sya, kenapa kamu pake ngomong segala?"
Arsya menatap Raiya lekat. "Kenapa? Bukannya kalau aku gak ngomong malah nanti salah paham ya?"
"Bukan gitu--"
"Lagian Divya gak bakal peduli kok aku pergi sama siapa atau mau ngapain."
Astaga Raiya salah apa ya, sampai bisa-bisanya terjebak diantara kisah cinta rumit sahabatnya ini? Dan kenapa juga Arsya benar-benar seperti sad boy?
"Divya gak segitunya kok, Sya." lanjut Raiya, "saran aku, kalau memang kalian ada masalah dibicarain aja. Dicari solusinya, biar kamu ataupun Divya sama-sama enak."
Sebelum Arsya menyahuti, pesanan mereka tiba. "Gimana aku mau ngomong kalau Divya selalu menghindar?"
Raiya menyuap nasi bebek tersebut lalu mengangguk. "Yaudah nanti aku yang ngomong deh pelan-pelan sama Divya."
Setelah itu mereka sama-sama terdiam, terlalu tenggelam dengan rasa nikmat nasi bebek yang menjadi santapan mereka. Seharusnya, Arsya tidak perlu mengajak Raiya ke tempat ini, karena bahkan Divya pun tidak pernah. Arsya tidak suka membagi hal yang menjadi kesukaannya, namun kali ini entah kenapa ia merasa harus. Apalagi melihat Raiya yang makan dengan lahap, hal yang tidak pernah ia lihat pada Divya karena gadis itu terlalu sibuk memikirkan dietnya.
"Aku suka deh sama kamu." Raiya tersedak dan menatap Arsya kaget. "Sorry-sorry maksud aku, aku suka pergi sama kamu. Pantas Divya segitu percayanya sama kamu, you are really a good person."
Tatapan curiga Raiya langsung meluap ketika mendengar nama Divya. Entah kenapa ia merasa bahagia jika ada orang yang bisa merasakan betapa dirinya atau Divya saling menyayangi satu sama lain.
"She's my only friend i have." Kata Raiya sambil tersenyum.
Arsya membalas senyuman Raiya hingga lesung pipinya terlihat. "Nope. You have me now, as a friend too."
