Empat
Arsya merasa sangat canggung saat berada di dalam mobil bersana dengan Divya dan juga Raiya, mungkin ini hanya perasaannya saja yang berlebihan.
Setelah pesta ulang tahun Divya selesai, ia sebagai lelaki yang berstatus kekasihnya tentu mengantarkan gadis itu pulang. Tapi Arsya tidak mengira jika Raiya akan ikut juga.
"Harusnya tadi gue pulang sendiri aja, Div. Kalau gini kan gak enak jadi nyamuk." Sungguh Arsya tidak merasa terganggu sama sekali dengan kehadiran dan ucapan Raiya barusan, gadis itu terdengar sangat bersalah.
Divya berdecak lalu menoleh ke belakang. "Ya gapapa kali. Lo pulang naik ojol malem-malem gini gak takut?"
"Takut apa?"
"Ya apa kek. Setan kek, begal kek. Apa aja yang bisa ditakutin."
"Enggak tuh."
"Raiya kalau lo cowok kayaknya bakal gue pacarin deh, serius lo aneh tapi keren."
"Yang aneh itu elo!"
Arsya terhanyut dengan obrolan ringan antara Divya dan Raiya, keduanya terlihat sangat dekat dan nyaman dengan satu sama lain. Bahkan Raiya memainkan rambut cokelat terang Divya sembari berbicara.
"Weekend itu yuk, Ra, ke puncak?"
"Ngapain?"
Divya kembali menoleh. "Jalan-jalan. Sama Arsya juga nanti deh, pokoknya enak. Yuk!"
Raiya memandang Divya dengan tatapan penuh arti, sebuah senyum yang terlihat miris terpasang di wajahnya. "Weekend nanti gue mau ke makam Ibu. Kan peringatan lima tahun kepergian Ibu."
Oh shit. Divya benar-benar lupa dan kini ia merasa sangat bersalah dengan Raiya. Bahkan Arsya yang tidak terlibat dalam perbincangan mereka juga merasakan perasaan mengganjal ketika mendengar hal tersebut.
"Ra...sorry banget gue lupa. Maaf ya? Nanti lo kesana sama siapa? Bapak?"
Raiya mengedikan bahunya. "Gak tau, kayaknya sendiri deh. Soalnya tahun lalu Bapak juga gak ke makam."
"Yaudah gue temenin."
"Katanya lo pergi."
"Gampang. Lo di makam gak dari pagi sampe tengah malam kan? Entar biar gue nyusul aja kesananya." Kata Divya sambil memasang senyum.
Satu hal yang Arsya sadari dari Divya adalah, gadis itu sangat ahli memperbaiki suasana. Keadaan yang tadi sedikit sendu bisa dengan mudah Divya netralkan kembali.
Raiya mencubit pipi tirus Divya. "Gak boleh terlalu baik! Nanti gue balasnya gimana?" tanyanya.
Divya tertawa kencang. "Balasnya dengan beliin gue nasi uduk satu porsi sendirian, karena sesungguhnya sebungkus berdua kurang!"
"Serius? Waktu itu lo gue beliin gak dihabisin, katanya defisit kalori lah ini lah. Too much gaya!" Ledek Raiya.
"Kali ini gue habisin karena bb gue udah ideal."
Sungguh meskipun seperti tidak dianggap oleh kedua gadis yang sedang asik sendiri itu, Arsya tidak marah sama sekali. Ia malahan sangat menikmati mendengarkan perbincangan mereka yang mengalir begitu ringan.
"Arsya antar gue dulu ya? Soalnya rumah dia ternyata searah sama kosan lo." Ucap Divya yang mendapat tatapan kaget dari Raiya.
"Ih! Enggak lah, dimana-mana tuh gue dulu. Biar lo bisa ngapain kek gitu!"
Divya tertawa. "Ngapain apaan? Gue udah bilang kok ke Arsya. Lagian kesian pangeran perfeksionis kita kalau sampe kemalaman dan bobonya kurang dari delapan jam."
"Gak usah sarkas." Timpal Arsya.
"Yaudah gue turun di kosan lo." Ucap Raiya. Sungguh ia merasa tidak enak jika harus berada satu mobil berduaan dengan Arsya, apalagi setelah mengetahui jika lelaki itu adalah kekasih sahabatnya.
Divya berdecak. "Apasih? Gak usah ribet deh. Lagian kalau sampai Arsya ngapa-ngapain lo juga nanti gue viralin terus bikin bukunya flop."
"Arsya penulis?!" Tanya Raiya heboh. Ia menatap Divya lalu beralih menoleh ke arah Arsya.
"Suka nulis, tapi belum jadi penulis." Kata Arsya meluruskan.
"Raiya makanya update dong. Lo sih sibuk banget jadi gak tau dunia luar."
"Lo gak pernah cerita ya!" Sahut Raiya tidak terima.
"Hahaha yaudah terserah. Gue dah mau sampe. Pokoknya Sya, jagain temen aku jangan sampai lecet oke?"
Arsya mengangguk dan memberikan isyarat dengan jari jempolnya. "Siap."
"Bye, makasih ya untuk malam ini. Good night kalian!"
Sepeninggal Divya, Raiya benar-benar merasa canggung sekali. Sekarang ia tinggal berdua saja dengan Arsya, kekasih sahabatnya yang beberapa jam lalu menjadi alasan dibalik rasa kasmarannya.
Arsya berdeham dan menoleh ke arah Raiya. "Kamu pindah ke depan bisa? Soalnya aku bukan supir."
Raiya mengangguk dan bergegas pindah dengan cepat. "Oh iya maaf, bentar-bentar."
Bermenit-menit berlalu, tapi tidak ada satupun dari kedua insan tersebut membuka suara. Bahkan Raiya ingin berpura-pura tertidur agar ia bisa melupakan kecanggungan ini.
Namun sialnya, Arsya kembali bersuara. Menjadi satu-satunya yang membuka obrolan mereka.
"Selama pacaran sama Divya, aku gak pernah ngelihat kamu." Kata Arsya.
Sebenarnya sama halnya dengan Raiya, ia juga tidak pernah melihat Arsya. Bahkan di sosial media Divya, sahabatnya itu tidak pernah memposting apapun tentang Arsya.
Raiya melirik sekilas lalu kembali menatap jendela. "Aku juga gak pernah lihat kamu. Bahkan di sosmednya Divya juga gak pernah..."
Arsya terkekeh, lelaki itu menoleh ke arah Raiya lalu kembali menatap jalanan. "Ada orang yang merahasiakan hubungannya karena memang gak mau jadi konsumsi publik, atau..." lanjutnya, "Dia merasa hubungannya gak penting-penting banget. Means nothing."
Raiya terpaku, ia sedang berpikir apa kata-katanya tadi berlebihan atau menyinggung? Pasalnya Arsya langsung menyahuti ucapannya dengan sangat serius.
"Eng...aku gak maksud gitu kok. Maaf ya, kayaknya omongan aku terlalu berlebihan." Raiya meminta maaf dengan sungguh-sungguh karena merasa tidak enak dengan respon yang Arsya berikan.
Tanpa diduga-duga, Arsya tertawa. Lelaki itu menatapnya dengan sebuah senyuman. "Gapapa. Tadi sebenernya itu sedikit curhat, bukan salah kamu kok."
"Oh gitu..."
Mungkin lebih baik Raiya diam saja kali, yah? Ia takut salah berbicara.
"Kamu ngekos atau gimana?" Baru saja Raiya berniat tutup mulut hingga tiba dikosannya, tapi Arsya malah kembali mengajaknya berbicara.
"Ngekos."
"Deket kampus sih ya, jadi enaknya ngekos daripada pp."
"Hehehe aku emang ngekos kok, bukan karena pp."
Ucapan Raiya membuat Arsya sangat penasaran hingga menatap gadis itu lekat. "Maksudnya? Kamu kalau libur pulang kan ke rumah Bapak?"
"Hehehe enggak."
"Loh kenapa?"
"Ya gapapa. Lagian bapak udah tinggal sama istri terus anak-anaknya. Gak enak aja."
Kali ini giliran Arsya yang merasa sangat bersalah karena rasa penasarannya yang mengungkap sebuah fakta baru.
"Sorry...ngomong-ngomong, kamu belum pernah kontak aku ya?"
"Hng?"
"Iya waktu itu aku udah kasih nomor ponsel aku kan?"
"Iya terus?"
"Hehehe enggak."
Astaga, Arsya tolong tahu diri. Jangan sampai ia menjadi lelaki brengsek yang menyebalkan karena sesuatu di dalam dirinya yang bersikap sangat agresif. Arsya harus ingat jika ia masih milik Divya, mereka masih terikat oleh suatu hubungan.
Raiya menunjuk ke arah jendela sambil berkata. "Pager putih berhenti disitu aja, Sya."
"Okee."
Ketika mobil Arsya berhenti, Raiya langsung merapihkan barangnya dan bersiap untuk keluar. "Makasih ya, hati-hati di jalan."
Jantung Arsya berdebar karena ucapan sederhana barusan. Kapan ya ia terakhir kali mendapat pesan seperti itu? Karena sungguh Divya jarang sekali menyuruhnya hati-hati. Loh kenapa sekarang Arsya malah membandingkan Divya dengan Raiya?
"Iya. Sampai ketemu lagi!"
Raiya mengangguk lalu tersenyum, gadis itu melangkah keluar mobil dan terus berjalan memasuki kosannya.
Hingga punggung Raiya benar-benar menghilang dari pandangan Arsya, lelaki itu baru kembali menyalakan mobilnya.
Ternyata setelah bertemu Raiya dan Divya dalam satu waktu yang sama, keadaan semakin rumit bagi Arsya.
