Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tujuh

"Kamu kenapa kasih nomor aku ke Arsya, Div? Terus kemarin, harusnya kasih tau aku dulu kalau Arsya mau jemput aku." Meski sedang protes, Raiya berusaha menekan suaranya. Ia tidak mau terpancing emosi apalagi ketika sedang berbicara dengan Divya.

Divya menoleh, dan tanpa diduga-duga gadis itu tersenyum lebar. "Justru kemarin seneng waktu kemarin dia pergi sama kamu, Arsya bener-bener ke distract. Gak ngerusuhin gue sama sekali."

Raiya melongo, Divya ini masih waras kan? "Maksudnya?"

"Gini, mungkin gue kedengeran rada eror kali ya. Tapi serius deh, sifat Arsya tuh nyebelin banget. Makanya setiap gue pergi gak pernah kasih tau dia ya karena annoying parah. Maaf ya, Ra, terkesan ngumpanin lo ke dia hehehehe."

Sungguh Raiya masih tidak habis pikir. Kok bisa Divya terganggu dengan kekasihnya sendiri. "Bukannya kalau orang pacaran itu malah harus kasih kabar ya?"

Divya mengangguk. "Kalau pacarnya baik. Kalau nyebelin kayak Arsya? Males banget."

Bukannya Raiya tidak percaya dengan ucapan Divya, tapi ketika kemarin pergi dengan Arsya ia tidak merasa jika lelaki itu menyebalkan. Arsya biasa saja.

"Kamu masih sayang gak sih, Div, sama dia?"

Oke Raiya tau itu sedikit berlebihan, tapi ia berjanji akan berhenti menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan Arsya.

Divya menghela nafas. "Lo disuruh Arsya nanya ya?"

"Hah? E-engga. Sorry-sorry..."

"Gue yakin lo tau jawaban gue, Ra. Tapi untuk sekedar confess ke Arsya aja gue udah malas. Parah gak?"

Raiya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kenapa?"

"He's not my type. And i can't be someone he want."

***

L

agi-lagi Raiya dibuat kaget oleh kehadiran Arsya yang tiba-tiba. Jujur ini membuat Raiya sedikit tidak nyaman.

Dengan sangat malas, Raiya mencoba sibuk dengan ponselnya ketika berjalan beriringan dengan Arsya. Mengacuhkan lelaki itu secara tidak langsung.

"Ra, kamu ngomong apa sama Divya?" Atensi Raiya sepenuhnya langsung mengarah kepada Arsya. Cahaya lampu jalanan yang temaram membuat suasana semakin mencekam.

"Maksudnya?"

"Ya kamu ngomong apa."

Raiya membisu. Ia hanya menatap Arsya penuh tanya karena belum mengerti maksud perkataan lelaki itu. Memang Raiya mengatakan banyak hal kepada Divya, tapi itu bukan sesuatu yang negatif apalagi provokatif.

Arsya menghela nafas, melepas topi yang ia gunakan dan menyisir rambutnya dengan jemari-jemarinya. "Divya ajak aku ketemuan untuk ngomongin tentang hubungan ini. And i know what she mean."

Bukankah itu bagus? Mereka akan menemukan jawaban atas kegelisahan dan benang kusut yang selama ini terabaikan diantara keduanya.

"Lalu?"

"Aku tau apa yang mau dia omongin. Tapi bukan itu yang aku ingin bahas, apa kamu bilang sesuatu ke Divya hingga akhirnya dia mau speak up?"

Mata Raiya memicing. Apa sekarang Arsya sedang memojokkan dirinya? "Kamu ngira aku fitnah kamu? Gitu?"

Tanpa diduga-duga, Arsya tersenyum. "Engga. Aku justru makasih sama kamu."

"Hah?"

"I've been waiting for this."

Kepala Raiya hampir pecah karena ucapan Arsya yang sangat membingungkan dan ambigu. Sungguh ia tidak mengerti tentang lelaki itu sama sekali.

Raiya perlahan meninggalkan Arsya di belakangnya. Melangkahkan kaki untuk menjauhi lelaki itu. Namun memang ia tidak ahli dalam hal ini, dengan sangat mudah Arsya menyusulnya.

"Aku anter kamu pulang ya?" Tawar Arsya.

"Gak usah. Makasih, Sya."

Arsya masih berjalan di samping Raiya menyamakan langkahnya dengan gadis itu. "Gak baik cewek pulang sendiri malam-malam."

Raiya menoleh. "Aku setiap hari pulang malam dan i'm still alive. Dan...kamu lupa ya kalau kamu tuh pacarnya sahabat aku? Pantas gak sih sikap kamu kayak gini sekarang?"

Sungguh Raiya menyadari jika ucapannya barusan mungkin sedikit kelewatan. Tapi ia benar-benar tidak bisa menahan diri lagi.

"I'm sorry...i think you already knew that your bestfriend doesn't love me. But i'm really sorry."

Mungkin sikap Arsya kali ini memang terlalu agresif. Padahal awalnya ia memang hanya ingin berteman dengan Raiya, namun lambat laun semua sikapnya mulai melewati batas seharusnya seorang teman.

Raiya menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Sial, lelaki memang sangat menyebalkan.

"Bagaimana pun, kamu masih pacarnya. And thats it."

"Aku cuman mau jadi teman kamu, Ra." Kata Arsya pelan.

Raiya mengangguk. "Aku tau. Tapi mungkin gak gini, Sya. Gak harus kamu jemput aku, pergi berdua. Bukan gitu konsepnya, apalagi saat kamu masih jadi pacar sahabat aku. Aku gak mau ada salah paham."

"Maaf..."

"Fine. Sekarang mending kamu pulang, and let me go home by myself."

Tanpa menoleh ke belakang lagi, Raiya berjalan secepat mungkin menuju halte busway terdekat.

Mungkin jika status Arsya bukanlah sahabat Divya, Raiya bisa membuka hatinya sedikit. Namun ini berbeda.

Raiya dengan sengaja membangun benteng tinggi untuk lelaki itu. Sungguh siapa yang tidak tertarik dengan lelaki seperti Arsya?

Oleh karena itu Raiya tidak ingin mengendurkan pertahanannya karena ia takut kelemahannya nanti akan menjadi sebuah bumerang.

Raiya tidak mau hubungannya dengan Divya yang sudah dirinya miliki selama bertahun-tahun akan hancur bergitu saja karena seorang laki-laki.

Karena sejatinya, tidak ada yang bisa dibanggakan dari menyukai kekasih sahabatnya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel