Dua
Pertemuan Arsya dengan seorang gadis bernama Raiya beberapa waktu lalu membuatnya tidak bisa melupakan kejadian itu.
Pertemuan itu bukan hanya melekat pada benak Arsya, tapi juga membangkitkan sesuatu yang masih ia tidak pahami artinya.
Wajah gadis bernama Raiya itu memberikan inspirasi baru bagi Arsya hingga ia ingin membuat sebuah buku hanya karena tatapan mata sendu itu. Arsya yakin di balik mata hitam legam itu, Raiya menyimpan banyak cerita yang tidak terungkapkan.
Jauh dilubuk hati Arsya, ia percaya jika Raiya adalah gadis yang kuat, karena ia masih bisa pergi ke rumah sakit saat keadaannya tidak baik-baik saja. Dan yang lebih sakti, gadis itu pergi tanpa menebus obatnya. Hebat sekali.
Sayang sekali Arsya tidak bisa berkenalan lebih lanjut karena Raiya sudah pergi begitu saja setelah mengucapkan terima kasih.
Semoga, ia bisa kembali bertemu Raiya dan tentunya dengan situasi yang lebih baik.
***
Bibir Raiya rasanya pegal sekali ketika harus menyapa setiap pengunjung yang datang dengan sebuah senyuman lebar yang tentu saja tidak digubris sama sekali. Tapi karena ia pegawai baru di toserba ini, mau tidak mau Raiya harus mengikuti peraturan yang ada.
Untuk memenuhi kebutuhannya, Raiya menerima semua jenis pekerjaan paruh waktu yang bisa ia sesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Tapi tentu saja tetap pekerjaan yang halal. Raiya tidak mau menyulitkan perjalanan Ibu di akhirat karena kelakuannya ini.
Dan disini lah Raiya sekarang. Kakinya sudah hampir mati rasa karena berdiri berjam-jam di meja kasir. Pemiliki toko mempercayakan Raiya untuk menjadi asisten kasir karena melihat latar belakang pendidikannya dan juga surat keterangan catatan sipil gadis itu yang masih bersih.
Mata Raiya berkali-kali melihat jam dinding yang tergantung, tinggal dua jam lagi lalu Raiya bisa pulang dan mengistirahatkan tubuhnya yang sudah meronta-ronta kelelahan.
Ketika pintu toko terbuka, Raiya kembali tersenyum namun tidak lama senyuman itu pudar berubah menjadi ekspresi terkejut yang sebenarnya sedikit berlebihan.
Lagi-lagi sosok itu hadir di hadapan Raiya dengan topi berwarna hitamnya, sepertinya itu topi yang lelaki itu kenakan saat mereka bertemu pertama kali.
"Saya mau isi pulsa." Ucap lelaki yang namanya masih Raiya coba untuk ingat-ingat.
"Ah iya, yang berapa mas?"
"Gak nanya nomor saya dulu?"
"Iya maaf nomornya berapa?"
Arsya tidak bisa menahan senyumannya ketika melihat gadis yang beberapa waktu terakhir menghantui pikirannya, kini sedang salah tingkah. "081288899900, yang sepuluh ribu."
Raiya menarik nafas, ia mencoba mengumpulkan fokusnya kembali lalu menatap lelaki itu. "Minimal dua puluh ribu, Mas."
"Gak jadi kalau gitu. Kamu simpan aja nomor saya."
"Yaudah saya isiin ya pulsanya, gapapa saya yang bayarin. Jadi hutang saya tingga 380 ribu, benerkan?"
Suara tawa Arsya terdengar sangat hangat, Raiya juga baru menyadari jika ternyata lelaki ini memiliki sebuah lesung pipi yang sangat menggemaskan. Sebentar, tadi Raiya bilang apa? Menggemaskan?
Arsya menghentikan tawanya dan kembali berkata kepada Raiya. "Itu kan hadiah, jadi gak perlu kamu ganti kok."
Ah iya, Raiya ingak kok jika Arsya mengatakan bahwa obat-obatan yang lelaki itu tebus adalah hadiah untuk dirinya. Namun entah kenapa rasanya cukup mengganjal memiliki hutang budi dengan orang asing yang belum pernah Raiya temui sekali pun.
"Boleh gak kita ngomong sebentar?" Tanya Raiya dengan hati-hati.
Ternyata Arsya mengangguk dan langsung menunggu Raiya di luar toko. Setelah dua menit Raiya meminta izin kepada seniornya akhirnya gadis itu menyusul Arsya dan berdiri di sampingnya.
"Makasih ya." Raiya menatap Arsya lekat sambil mengucapkan kata itu. Sungguh Arsya tidak dapat menahan senyumnya ketika mendengar kalimat sederhana yang begitu tulus dari gadis asing yang ia temui beberapa waktu lalu.
Arsya menoleh, menatap Raiya balik. "Gimana keadaannya, Mba? Udah sehat?" tanyanya.
Raiya mengangguk, ia berhenti menatap Arsya namun matanya tidak terlihat kosong. "Alhamdulillah sehat. Kayaknya ini berkat bantuan masnya juga. Makasih banyak ya, saya bukan hanya utang uang loh sama kamu." katanya.
"Hahahah no! Kan saya udah bilang itu adalah hadiah, jadi gak perlu jadi beban dan kamu gak perlu ganti."
Tidak ada sahutan dari Raiya untuk beberapa detik, Arsya sebenarnya sudah sangsi jika ia mengatakan sesuatu yang salah atau menyinggung perasaan gadis itu. Namun setelah Raiya menoleh, ia bisa melihat dengan jelas jika mata gadis itu sudah berkaca-kaca.
"Saya kira itu malam terakhir saya di dunia, tapi ternyata enggak. Saya gak tau sih harus bilang berapa banyak kata terima kasih atas bantuan kamu, tapi dari hati yang terdalam saya sangat berterima kasih."
Ucapan Raiya malah membuat sebuah pertanyaan besar di kepala Arsya, karena demi apapun yang ia berikan hanyalah sebuah obat yang harganya tidak semahal itu. Namun Raiya bersikap seakan-akan apa yang Arsya berikan adalah sebuah pertolongan paling penting di kehidupannya.
"Saya gak pernah tau kalau hal kecil yang orang asing lakukan untuk saya akan sangat berarti." Ucap Raiya.
Arsya benar-benar kehilangan kemampuan bicaranya di depan gadis ini. Ia tidak tau ucapan apa yang tepat untuk menyahuti semua perkataan Raiya, karena demi apapun Arsya sekarang mendadak melow.
"Kamu memang umur berapa sekarang?"
"20 tahun, kenapa?"
"Kamu hebat." Arsya mengatakan hal itu karena menurutnya sekarang, itu adalah kata-kata yang sesuai untuk mendeskripsikan Raiya.
Raiya mengulas senyumnya tipis. "Tau darimana saya hebat?"
"I don't know, but my heart just said that."
Oh lihat, sekarang Raiya tersenyum dan matanya membentuk bulan sabit yang sangat cantik. Arsya seperti tenggelam ketika melihat senyum itu, padahal hanya beberapa detik sebelum Raiya kembali menatapnya.
"Oh ya, eng...saya harus balik lagi ke toko karena izinnya cuman sebentar. Makasih ya, Arsya. Semoga semua kebaikan yang kamu lakukan akan dibalas oleh yang lebih lebih lebih lagi!" ucapnya antusias.
Arsya terkekeh lalu mengangguk. "Aamiin, you too Ra. Ngomong-ngomong kamu bisa save nomor saya, maybe we can meet another time?"
Untuk pertama kalinya Raiya mengangguk dengan cepat di depan seorang lelaki yang baru ia temui. Raiya juga mengulas senyum sebelum kembali bekerja. "See you when i see you, Arsya!"
Dengan mudahnya, otak Arsya langsung merangkai satu puisi singkat kala menatap punggung Raiya yang menjauh.
She just like the moon
Alone
But shining the most in the dark
Jauh di dalam lubuk hati Arsya, ia berharap akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang terjadi antara dirinya dan Raiya.
