Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Satu

Raiya menggeliat malas ketika mendengar suara alarmnya yang memekikan telinga. Rasanya ia masih sangat lelah namun waktu enggan memberikannya jeda. Dengan sangat berat hati, ia bangkit dari kasur dan mengumpulkan kesadarannya.

Dengan cekatan, Raiya mengikat rambutnya asal dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap. Ia menatap pantulannya pada cermin, mengamati lingkaran gelap pada bawah matanya yang semakin mengerikan. Raiya seperti zombie.

Tidak perlu banyak waktu bagi Raiya untuk mandi dan bersiap-siap menuju kampus. Ia hanya menggunakan make up simple yang berfungsi menutupi lingkaran hitam mengerikan itu juga sebuah lipstick berwarna cerah. Bagaimana pun, Raiya tidak mau terlihat seperti mayat berjalan.

Sejak dua tahun yang lalu. Raiya sudah terbiasa menyisikan waktunya untuk menyesap kopi sebagai sebuah suntikan tenaganya menghadapi hari yang panjang ini. Awalnya Raiya tidak pernah suka dengan kopi panas ini. Kayak bapak-bapak, pikirnya.

Namun, setelah menyadari jika satu-satunya hal yang bisa membuatnya menahan kantuk adalah segelas kopi, minuman ini menjadi sesuatu yang wajib bagi seorang Raiya Anzara.

Hanya satu gelas kopi, dan Raiya sudah siap menghadapi hari panjangnya. Kakinya melangkah dengan cepat menuju halte busway, menunggu bus dengan tujuan kampusnya.

Pagi hari di Jakarta tidak pernah mudah. Suara klakson, jalanan yang macet dan segala kerumitan lainnya adalah pemandangan yang menjadi makanan sehari-hari Raiya.

Jakarta dan segala kerumitannya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, bagai sebuah kesatuan yang sudah ditakdirkan untuk saling mengikat.

Raiya menghela napas lega ketika ia akhirnya sampai di kampus, sungguh ia sudah sangat lapar dan ingin segera memakan nasi uduk yang ia beli di jalan tadi. Kakinya melangkah dengan cepat menuju kelas karena pergi ke kantin akan memakan banyak waktu dan yang terjadi malahan Raiya tidak bisa menghabiskan bekalnya.

Senyum Raiya sedikit mengembang ketika melihat sosok cantik yang sedang berpose centil di depan kamera. Divya Talitha, seorang beauty vlogger yang sudah bertahun-tahun menyandang status sebagai sahabat Raiya terlihat sangat menarik seperti biasanya.

Raiya membayangkan berapa banyak waktu yang Divya habiskan untuk tampil cantik seperti itu. Riasannya tidak berlebihan tapi tetap menawan, ciri khas seorang Divya jika pergi ke kampus.

"Good morning survival." Sapa Divya. Raiya terkekeh mendengarnya, itu adalah panggilan yang sering gadis itu berikan kepadanya.

"Good morning Kakak Selebgram." Sahut Raiya.

Divya tertawa, ia menaruh ponselnya di meja dan menatap Raiya. "Hahahha yayaya, ngomong-ngomong sarapan apa pagi ini? Bubur ayam atau nasi kuning?" tanyanya.

Raiya mendudukan diri di samping Divya sambil mengeluarkan plastic berwarna putih dari dalam tasnya. "Nasi uduk! Mau gak?"

Meski seorang beauty vlogger yang cukup hits, Divya tidak pernah sekali pun bersikap sombong. Gadis itu tetap apa adanya seperti dulu saat mereka pertama kali berteman.

"Mau! Tapi suapin dong, gue lagi bikin konten." Katanya dengan suara yang sengaja dibuat semanja mungkin.

"Ribet deh, kebiasaan."

Meski pun begitu, Raiya tetap mengiyakan permintaan Divya. Menyuapi sahabatnya itu nasi uduk yang tadi ia beli sambil sesekali mengintip layar ponsel Divya yang sedang sibuk melihat timeline instagramnya.

"Ohya, Ra, malem minggu nginep di kosan gue yuk?"

"Ngapain?"

"Gue mau menghindar dari pacar gue hahaha, jahat gak kedengarnya?"

"kenapa?"

"Doi nyebelin."

Ngomong-ngomong soal pacar Divya, meski sudah mengenal gadis itu bertahun-tahun tapi Raiya belum sekali pun melihat sosok lelaki yang beruntung menjadi kekasih Divya. Selain karena Raiya yang tidak pernah bertanya lebih lanjut, ia juga selalu sibuk jika diajak bertemu.

"Kenapa gak diputusin?" ledek Raiya.

Divya mendengus lalu menoleh. "Doi ganteng, tapi ya emang nyebelin."

"Siapa namanya? Arya ya?"

"Arsya ih!"

"Iya namanya ganteng."

"Orangnya juga, mau lihat gak fotonya?"

Baru saja Divya ingin menunjukan foto kekasih yang ia selalu banggakan ketampanannya, namun bel sudah bordering dan membuat dua gadis itu panik karena belum menghabiskan sarapannya.

Mungkin lain kali, Raiya akan meminta Divya menunjukan foto kekasih tampannya itu.

***

Persetan dengan semua rasa sakit yang menerpa Raiya dihari yang paling ia tidak harapkan datang. Seandainya ia tidak nekat menembus hujan siang tadi dan tetap bersikukuh untuk melanjutkan pekerjaan paruh waktunya, mungkin Raiya akan baik-baik saja.

"Dengan Ibu Raiya Anzara?"

"Betul."

"Tanggal lahir?"

"30 oktober."

"Pembayarannya menggunakan?"

"Bisa BPJS gak, bu?" Raiya memelankan suaranya ketika menanyakan hal tersebut. Satu lagi kesalahan yang Raiya buat adalah ia malah melangkahkan kakinya untuk berobat di rumah sakit besar seperti ini. Bukannya di puskesmas atau klinik yang sedikit lebih jauh dari kosannya.

"Gak bisa, Bu, maaf."

Raiya yang sudah pusing bukan main semakin ingin tenggelam ketika mendengar ucapan tersebut. Masalahnya ia belum mendapatkan upahnya hari ini, dan ia tidak punya uang untuk menebus obatnya.

"Berapa totalnya, Bu?"

"Empat ratus ribu rupiah."

Tubuh Raiya bergedik ngeri mendengar nominal yang terucap. Empat ratus ribu hanya untuk biaya pengobatan? Itu adalah jumlah uang untuk keperluannya selama seminggu.

Otak Raiya berputar dengan sangat cepat, mencari cara agar ia bisa pergi begitu saja tanpa harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Salah memang, tapi ini adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Toh, Raiya juga tidak bisa membayarkan kan?

"Diluar ada ATM? Saya boleh ambil uang dulu?"

Untungnya staff rumah sakit tersebut mengangguk dan dengan segala kekuatan yang Raiya miliki, ia segera menjauh. Untuk pertama kalinya Raiya merasa lega karena sebuah kebohongan yang berjalan lancar.

Padahal kepalanya sakit bukan main dan tubuhnya juga seperti ingin menyerah, tapi Raiya tetap melangkah. Ia tidak mau pingsan di tempat ini dan berujung mengeluarkan uang untuk membayar biaya pengobatan. Tapi jika ia harus berakhir hari ini juga tidak masalah, sungguh Raiya lelah sekali.

Kehidupannya setiap hari bagai sebuah system yang sudah diprogram. Raiya bangun pagi-pagi untuk ke kampus, lalu mengerjakan tugas hingga siang hari hingga melanjutkan kerja paruh waktu sampai tengah malam. Selalu seperti itu dan Raiya sangat lelah.

Memutuskan hidup tanpa bayang-bayang Bapak dan Ibu tirinya membuat Raiya harus menghadapi konsekuensi yang berat.

Seandainya...airmata Raiya menetes ketika kepalanya sudah mengeluarkan banyak kata-kata seandainya dengan kalimat paling menyedihkan yang selalu Raiya dengar.

Seandainya ibu disini, apa Raiya akan tetap kesulitan?

Seandainya Ibu disini, apa Raiya akan menanggung rasa sakit sendirian?

Seandainya Ibu disini, apa Raiya akan menghabiskan malam ulang tahunnya sendiri?

Raiya terlonjak ketika ada yang menyentuh pundaknya. Ketika membalikkan tubuh, seorang lelaki tinggi dengan pakaian serba hitam dan sebuah topi langsung menyapa penglihatannya.

Jika memang ini saat terakhirnya, Raiya akan sangat bahagia dijemput malaikat pencabut nyawa di malam ulang tahunnya.

"This is my las night, right? Thank you so much—"

"Hmm??" lelaki itu memotong ucapan Raiya sebelum ia menyelesaikannya.

"Kamu malaikat pencabut nyawa, kan?"

Oh sial, bahkan ketika sedang sakit Raiya masih bisa mengagumi sosok yang sangat tampan ini hingga pipinya merona.

"Mba Raiya Anzara, selamat ulang tahun. Maaf kalau tadi saya terkesan tidak sopan karena menguping, but here your gift from me." Lelaki itu menyodorkan plastic putih yang Raiya tahu jelas apa isinya.

Airmata Raiya entah kenapa mengalir dengan sangat deras. "Hng?"

"Selamat ulang tahun, semoga tahun depan Mba Raiya gak sakit lagi di malam ulang tahunnya."

"Jadi kamu bukan malaikat pencabut nyawa?"

"Hahaha engga. Saya Arsya."

Raiya malah semakin menangis, ia tidak tahu harus bersyukur atau kecewa saat ini. Padahal ia sangat mengharapkan untuk segera bertemu Ibu tapi disisi lain, ia masih punya satu tujuan yang belum tercapai.

"Thank you so much." Lanjut Raiya di sela-sela tangisnya, "Makasih. Nanti akan saya ganti ya uangnya, tapi makasih banyak. This is mean a lot."

"Be happy, Mba Raiya."

And she never know, the best thing she ever do is still alive and keep survive.

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel