Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 – Luka yang Tak Bisa Pulang

Bangkok kembali turun hujan malam itu.

Petir menyambar langit seperti menyayat langit malam yang muram, memantulkan cahaya ke jendela besar kamar 307, tempat dua saudara berdiri dalam diam setelah pertemuan yang seharusnya tak mungkin terjadi.

Isabelle—atau Ilya—masih terisak perlahan dalam pelukan Alvaro.

Namun pelukan itu bukan akhir dari semuanya. Itu hanya jeda. Dalam dunia mereka, bahkan air mata pun bisa beracun.

“Kenapa sekarang?” bisik Ilya lirih.

Alvaro mengusap rambut adiknya. “Karena baru sekarang aku cukup kuat untuk mengambilmu kembali. Dulu aku hanya anak yang ketakutan. Sekarang… aku monster yang mereka lahirkan sendiri.”

Ilya menarik diri perlahan, menyeka air matanya.

“Terlambat, Alvaro. Kau datang terlambat,” ucapnya tanpa marah, tapi juga tanpa harapan. “Aku sudah bukan diriku lagi. Kau tak akan suka apa yang telah kulakukan untuk bertahan.”

Alvaro menatapnya dalam. “Kalau kau harus membunuh untuk hidup, maka semua darah itu ada di tangan mereka, bukan di tanganmu.”

Ia mendekat, menggenggam tangan Ilya.

“Ayo pulang.”

Ilya menggeleng pelan. “Aku tak bisa.”

“Kenapa?”

Ia menunduk. Suaranya pelan, seolah berat mengaku.

“Karena aku bukan cuma bagian dari Jade Fire. Aku... pemimpinnya sekarang.”

Petir menyambar. Alvaro terdiam. Dunia terasa hening untuk beberapa detik.

“Apa maksudmu?”

“Setelah mereka ‘memelihara’ aku seperti boneka, aku belajar. Aku naik. Aku gulingkan atasan. Sekarang semua jalur—narkoba, perdagangan tubuh, senjata ringan dari Eropa Timur—semua ada di bawahku. Aku bukan tahanan, Alvaro. Aku pemilik tempat ini.”

Alvaro menatap adiknya dengan campuran takjub dan pilu.

“Kau jadi seperti mereka?”

“Aku jadi apa yang dibutuhkan agar aku bisa bertahan hidup,” balas Ilya cepat. “Kalau aku lemah… aku akan jadi mayat.”

Alvaro menarik napas dalam. Lalu berkata pelan, “Kalau begitu, aku akan hancurkan semua yang membuatmu menjadi ini.”

Ilya terdiam. Tangannya mengusap pergelangan yang masih hangat oleh pelukan kakaknya.

“Kau pikir bisa melawan sistem yang sudah berjalan dua dekade? Kau pikir hanya karena kau Don DeCastro, semua orang akan tunduk? Dunia ini tak punya hati, Alvaro. Tak ada ruang untuk romantisme keluarga.”

“Aku tahu,” ucap Alvaro. “Karena aku sudah kehilangan semuanya. Dan aku takkan biarkan satu-satunya yang tersisa ikut hilang.”

---

Sementara Itu – Roma, Vila Valezka

Leona duduk di ruang kerja pribadinya, membuka satu per satu file digital yang selama ini dikunci aksesnya. Ia berhasil membobol enkripsi pribadi milik ayahnya, Don Domenico, setelah bertahun-tahun diam sebagai anak patuh.

Di dalamnya, ia menemukan dokumen lama—kontrak, perintah eksekusi, dan satu nama yang mengejutkannya:

> Perintah Serangan: Eliminasi Keluarga DeCastro Ditandatangani oleh: Don Moretti dan... Don Giovanni Valezka

Leona menatap nama itu. Wajahnya pucat.

“Bukan ayahku… tapi kakekku,” gumamnya pelan.

Artinya, ayahnya menyembunyikan kebenaran selama ini—bahwa bukan dia yang memulai perang berdarah dengan DeCastro, tapi Don Giovanni, pendahulunya.

Leona mendesah dalam. Ia menyandarkan tubuh di kursi, lalu membuka laci rahasia di meja.

Sebuah kotak kecil, berdebu. Di dalamnya… cincin keluarga DeCastro. Yang dulu disimpan diam-diam olehnya setelah menyelamatkannya dari reruntuhan malam pembantaian. Ia menyimpannya tanpa tahu kenapa.

Sekarang ia tahu.

“Alvaro… apa yang akan kau lakukan saat tahu semua ini?”

---

Kembali ke Bangkok – Jalan Keluar

Alvaro dan Ilya keluar dari kompleks Jade Fire melalui terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh beberapa orang terpercaya. Marco dan Stefano sudah menunggu di ujung lorong bersama dua kendaraan tempur kecil.

“Aman?” tanya Stefano.

“Untuk sekarang,” jawab Alvaro.

Ilya berjalan di belakang, matanya masih merah. Tapi kini, ada sorot berbeda—seperti ada bagian dari dirinya yang mulai mengingat siapa dia sebenarnya.

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari ujung lorong.

BRAK! BRAK! BRAK!

“Duduk!” teriak Marco, menarik Alvaro dan Ilya ke balik dinding beton.

Pasukan bersenjata hitam, lengkap dengan logo Jade Fire, menyerbu dari arah belakang. Mereka menembak tanpa ampun. Puluhan peluru menghantam dinding dan lantai.

“Apa itu pasukanmu?” tanya Stefano pada Ilya.

Ilya terdiam. Wajahnya berubah tajam.

“Bukan. Itu orang-orang yang ingin menggulingkanku.”

“Kalau begitu, kita punya musuh yang sama,” kata Alvaro sambil menarik pistolnya.

Ilya meraih pistol dari pinggangnya dan berdiri sejajar dengan Alvaro.

Untuk pertama kalinya sejak lima belas tahun, dua saudara itu bertempur bersama lagi.

---

Pertempuran Singkat, Luka Panjang

Tembakan dibalas tembakan. Stefano menjatuhkan satu musuh dari jarak 40 meter. Marco melindungi jalan keluar, menanam granat waktu.

Alvaro dan Ilya bertempur punggung ke punggung, saling menutupi. Gerakan mereka seperti simetri yang telah terlatih bertahun-tahun—padahal keduanya baru bertemu kembali.

Setelah lima menit pertempuran sengit, suara ledakan menggelegar di belakang.

Lorong roboh. Debu memenuhi udara. Para penyerang kabur atau mati.

Ilya terjatuh ke lutut. Bahunya tertembak.

“Isabelle!” Alvaro memeluknya.

“Aku tidak akan mati karena ini,” ucap Ilya dengan tawa lemah. “Tapi mungkin… aku akan mati karena mulai merasa hidup lagi.”

Alvaro mengangkatnya. “Kau akan pulang bersamaku. Luka bisa disembuhkan.”

Ilya menggenggam lengan kakaknya kuat-kuat.

“Kalau begitu… kita mulai perangnya dari sekarang.”

Alvaro menekan luka tembak di bahu Ilya dengan saputangan hitam miliknya. Darah mengalir, tapi Ilya masih bisa menahan nyeri. Matanya mulai kembali jernih, seakan perlahan, ingatannya yang terkubur dalam menjadi nyala api kecil di kegelapan.

“Kita harus keluar dari sini sebelum mereka kirim pasukan kedua,” kata Marco sambil mengecek amunisi dan merakit ulang senjata panjangnya.

Stefano menyalakan kendaraan taktis di ujung lorong. Mesin mendengus kasar, lalu menyala sempurna. “Mobil ini bisa tembus baku tembak ringan. Tapi kalau ada RPG, kita selesai.”

“Kita takkan tunggu sampai itu terjadi,” balas Alvaro.

Ilya dibantu naik ke kursi belakang, wajahnya pucat namun tetap tenang. Dia menatap kaca jendela, lalu berbisik lirih, “Dulu aku pernah berharap bisa mati di sini. Tapi sekarang aku ingin lihat matahari pagi dari Palermo.”

Alvaro tersenyum samar, tapi tak menjawab. Pandangannya mengeras. Dalam diamnya, ia tahu, pemulihan adiknya hanyalah satu dari sekian luka lama yang belum sembuh. Dan semua luka itu punya satu akar: keluarga Moretti dan Valezka.

---

Palermo – Kembali ke Sarang

Empat hari kemudian, mereka tiba kembali di Palermo. Di markas bawah tanah yang tak pernah berhenti berdenyut sebagai pusat operasi DeCastro, para anak buah menyambut kedatangan Ilya dengan keheranan dan keraguan.

Wanita yang dulu mereka anggap sudah mati, kini kembali dalam wujud berbeda. Lebih dingin. Lebih kuat. Dan lebih berbahaya.

Tapi bagi Alvaro, tak ada yang berubah. Isabelle tetap adiknya.

“Selamat datang kembali di rumah,” ucap Alvaro ketika mereka berdiri di halaman markas, di bawah pohon zaitun tua yang pernah menaungi kenangan mereka.

Ilya tersenyum kecil. “Rasanya... aneh. Tapi menenangkan.”

Malam itu, pesta kecil digelar secara tertutup. Marco dan Stefano memperkenalkan kembali Ilya kepada beberapa anggota senior. Namun tak semua menyambut hangat. Ada yang menganggap kehadiran Ilya bisa menjadi ancaman. Apalagi jika sisa loyalis Jade Fire mencium kabar ini.

Dan benar saja…

---

Di Tempat Lain – Roma

Don Domenico duduk di kursi tinggi ruang kerjanya, dengan Leona berdiri di sisi. Wajah Don itu terlihat dingin, tapi ada garis kekhawatiran halus di antara alisnya.

“Jadi… Isabelle selamat. Dan sekarang dia kembali ke sisi Alvaro,” gumamnya.

Leona mengangguk. “Dia bahkan berhasil keluar dari Bangkok. Menang atas orang-orang Jade Fire yang dia pimpin sendiri.”

Don Domenico menatap anaknya. “Kau tahu apa artinya ini?”

“Alvaro sekarang punya dua senjata: dendam, dan adiknya.”

Sang Don mendesah pelan. “Aku tak suka arah perang ini. Terlalu personal. Dan jika perang menjadi soal emosi, kita bisa kalah.”

Leona memandang ayahnya lama.

“Atau… kita bisa kirim seseorang yang juga personal. Seseorang yang dia percayai.”

Domenico memutar kepala. “Kau ingin mendekatinya lagi?”

“Aku ingin menyelesaikan semuanya. Dengan caraku.”

Sang Don tersenyum kecut.

“Kalau begitu, jangan hanya bawa peluru. Bawa juga rasa sakit.”

---

Malam di Palermo – Percakapan yang Tertunda

Alvaro dan Ilya duduk di ruang belakang markas, hanya ditemani cahaya lampu gantung redup dan dua gelas wine tua yang dulu disimpan oleh mendiang Don Sebastian.

“Kenapa tidak pernah kirim kode? Satu sinyal pun. Kau tahu kita selalu diajari cara menyampaikan pesan tersembunyi,” tanya Alvaro.

Ilya menggeleng pelan. “Karena aku tak yakin masih ada yang hidup untuk menerimanya.”

“Aku hidup, Isabelle.”

Ilya menatapnya.

“Kau boleh panggil aku Ilya. Isabelle itu… masa lalu. Tapi mungkin suatu saat nanti, aku akan bisa pakai nama itu lagi.”

Alvaro menyentuh bahu adiknya.

“Nama itu bukan beban. Itu rumah. Kita akan buat nama itu kembali jadi milik kita.”

Mereka bersulang dalam keheningan.

Namun sebelum gelas menyentuh bibir mereka, alarm markas berbunyi pendek.

Tanda: sinyal peretas eksternal.

Marco masuk terburu-buru, membawa tablet.

“Seseorang dari Roma mengakses sistem kita. Tapi dia tidak menyerang. Hanya meninggalkan pesan.”

Alvaro berdiri cepat.

“Apa isinya?”

Marco menyerahkan layar. Satu kalimat muncul di layar hitam:

> "Kau tahu siapa yang sebenarnya memberi perintah membantai keluargamu. Tapi belum tahu semuanya. Aku menunggumu di tempat kita terakhir melihat bulan purnama bersama."

Alvaro membaca berulang kali.

Lalu matanya menyipit. “Leona…”

Ilya menoleh cepat. “Kau yakin?”

“Ya,” gumam Alvaro. “Dan jika dia masih mengingat tempat itu… berarti dia belum sepenuhnya musuh.”

Di luar markas, malam berembus dingin. Namun di dalam dada Alvaro, perang mulai berdenyut.

Dendam yang dulu begitu jelas kini mulai bercampur: dengan kasih, kebingungan, dan cinta lama yang tak pernah selesai.

Dan di tengah semua itu, Leona—perempuan yang ia cium sebelum pergi ke neraka—memanggilnya lagi.

Tapi kali ini, bukan untuk ciuman.

Mungkin untuk peluru.

Atau untuk pengakuan terakhir.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel