BAB 5 - Tempat Kita Terakhir Melihat Bulan
Langit Palermo diselimuti awan tebal malam itu, seolah turut menyembunyikan gerakan Alvaro yang menembus kegelapan menuju pinggiran kota. Di balik jaket kulit hitamnya, ia menyelipkan pistol kecil dan belati baja, tak seperti biasanya yang membawa senjata panjang atau rompi tempur.
Ini bukan misi. Ini juga bukan pembantaian.
Ini… pertemuan.
Marco sempat mencoba mencegahnya. “Kita tak tahu niatnya, Boss. Apa dia memancingmu ke perangkap?”
Tapi Alvaro hanya menjawab, “Kalau dia ingin aku mati, dia sudah bisa lakukan itu malam ketika bibir kami bersentuhan.”
Dan kini, Alvaro melangkah di jalan tanah berkerikil, memasuki area tua bernama Monte Grigio, bukit kecil yang dulu jadi tempat rahasia masa kecil mereka. Di sanalah, bertahun-tahun lalu, Alvaro dan Leona pernah duduk berdua, memandangi bulan purnama, sembunyi dari dunia penuh darah.
Dari jauh, Alvaro melihat siluet seseorang berdiri di bawah pohon zaitun tua yang kini nyaris mati. Hanya satu orang yang akan memilih tempat ini untuk pertemuan pribadi:
Leona Valezka.
---
Pertemuan yang Tak Pernah Damai
Leona mengenakan mantel panjang, rambutnya tergerai, dan tatapannya kosong. Di tangannya ada termos kecil—mungkin berisi kopi hitam seperti yang dulu selalu ia bawa.
“Sendirian?” tanya Alvaro, berdiri lima meter darinya.
“Ya,” jawab Leona.
“Bohong.”
Leona tersenyum tipis. “Baiklah. Ada dua sniper di lereng selatan. Tapi mereka hanya akan menembak kalau aku berhenti bernapas.”
Alvaro tidak terkejut. Ia berjalan mendekat, melewati batas kepercayaan di antara dua musuh lama.
“Kenapa kau panggil aku ke sini?” tanya Alvaro.
“Karena aku tahu kau akan datang.”
Ia menyodorkan termos. Alvaro menerimanya, mencium aromanya.
“Kopi hitam?”
“Tanpa gula. Seperti dulu.”
Alvaro menyesapnya, lalu menatap Leona.
“Katakan yang ingin kau katakan.”
Leona menatap langit. “Kau ingin tahu siapa yang memberi perintah membantai keluargamu, kan?”
“Ayahmu.”
“Bukan,” jawab Leona tegas. “Ayahku hanya pewaris konflik. Perintah datang dari satu orang yang sudah menghilang dari sejarah mafia Italia.”
Alvaro menyipitkan mata. “Jangan katakan itu kakekmu.”
Leona mengangguk.
“Don Giovanni Valezka. Dia menginginkan wilayah DeCastro karena jalur pelabuhan kami terlalu kuat. Dia pakai Moretti sebagai perpanjangan tangan, lalu menyusun persekongkolan yang menjatuhkan DeCastro dari dalam.”
Alvaro diam. Jantungnya berdegup lebih cepat.
“Jadi seluruh dendamku… salah alamat?”
“Tidak sepenuhnya,” kata Leona. “Ayahku membiarkanmu hidup malam itu. Dia bisa membunuhmu. Tapi dia hanya... membungkam dan menyerahkanmu pada pelarian.”
“Untuk apa?” tanya Alvaro dengan suara dingin.
Leona menatapnya lama.
“Karena aku memohon padanya.”
---
Wajah yang Retak
Kata-kata Leona menghantam seperti peluru tanpa suara. Alvaro memejamkan mata. Semua kenangan yang selama ini ia percayai… kini bergeser.
Ia bukan satu-satunya yang terluka malam itu. Leona juga membayar harga dengan bertahun-tahun menyimpan rahasia yang bisa membuatnya dihukum mati oleh klannya sendiri.
“Kenapa kau beritahu aku sekarang?” tanya Alvaro.
Leona mendekat satu langkah. “Karena kalau kau membunuh ayahku tanpa tahu semuanya… kau tak lebih baik dari orang yang membantai keluargamu.”
“Dan kalau aku tahu semuanya, lalu tetap membunuh?”
Leona terdiam sejenak. “Maka setidaknya aku tahu, kau memilih membunuh dengan sadar… bukan karena kebencian buta.”
Alvaro mengangguk pelan.
“Dan Isabelle?”
“Aku tak pernah tahu dia selamat. Aku bersumpah.”
Alvaro percaya. Entah kenapa, dari dulu dia tak pernah bisa sepenuhnya menolak suara Leona.
Lalu hening.
Mereka berdiri dalam jarak yang terlalu dekat untuk dua orang yang saling mengancam, tapi terlalu jauh untuk sepasang hati yang pernah saling mencintai.
“Kenapa ciuman itu terasa nyata?” bisik Leona.
Alvaro menghela napas. “Karena itu memang nyata.”
Dan sebelum salah satu dari mereka bicara lagi, suara tembakan memecah malam.
DOR!
Alvaro langsung menjatuhkan Leona ke tanah dan menarik pistolnya. Matanya menyapu sekeliling.
“TEMBAKAN DI LERENG UTARA!” teriaknya ke udara, tahu anak buahnya pasti mengawasi dari kejauhan.
Leona bangkit cepat, menggenggam lengan Alvaro.
“Bukan anak buahku!”
Mereka berdua lari menyusuri sisi bukit, ke tempat yang lebih terlindung. Tapi tembakan kedua sudah terdengar—dan peluru itu tidak meleset.
DOR!
Darah mengucur dari lengan Alvaro.
“Sial!”
Leona membantu menekan luka.
“Ada yang tak ingin kita bertemu. Ini bukan Moretti. Ini bukan ayahku. Ini… seseorang yang lebih dalam.”
Alvaro mengertakkan gigi. “Pecundang bersembunyi di balik bayangan. Tapi aku akan buat dia keluar.”
Leona mencabut senjata dari pinggangnya. “Kita lawan bersama.”
Alvaro menatapnya. Mata mereka bertemu.
Dua musuh lama. Dua korban masa lalu. Dua pelaku masa depan.
“Kalau kita mati malam ini,” bisik Alvaro. “Kau masih menyesal menciumnya waktu itu?”
Leona tertawa lirih, meski nyaris tak terdengar.
“Tidak. Tapi aku akan lebih menyesal kalau tak melakukannya lagi.”
Dan dalam bayang-bayang peluru, mereka kembali saling mendekat.
Dan mencium.
Ciuman bukan untuk selamat. Tapi untuk memastikan… bahwa jika mereka mati malam itu, mereka mati dalam kejujuran.
Di balik kegelapan Palermo, seseorang menonton dari layar monitor—sosok bertubuh besar, berseragam loreng hitam, duduk di ruang bawah tanah yang remang. Tangan kanannya memegang cerutu, sementara tangan kirinya memegang foto tua keluarga DeCastro yang hampir terbakar separuh.
“Waktunya menghapus semua nama lama,” bisiknya.
Di belakangnya, dinding penuh foto: Alvaro, Ilya, Leona, Don Domenico, Don Moretti.
Semuanya disilangkan dengan tinta merah.
Satu nama ditulis besar di tengah papan itu:
> “PROJECT EXODUS.”
Alvaro dan Leona terus berlari di tengah gelapnya semak-semak dan batu curam yang mengelilingi bukit Monte Grigio. Tembakan sudah berhenti, tapi napas mereka belum tenang. Luka di lengan Alvaro semakin banyak mengeluarkan darah. Ia mulai kehilangan keseimbangan, dan akhirnya bersandar di pohon tua.
Leona segera merobek sebagian bawah mantelnya, membungkus luka itu dengan tangan yang gemetar. Bukan karena takut—tapi karena cemas. Ia belum pernah melihat Alvaro terluka separah ini dalam jarak sedekat itu.
“Aku bisa berjalan,” kata Alvaro pelan, tapi nafasnya berat. “Jangan panik.”
“Diam,” sahut Leona cepat. “Kau pikir aku datang ke sini untuk melihatmu mati seperti ayahmu dulu melihat keluargamu terbantai?”
Alvaro terdiam. Matanya memandang wajah Leona lekat-lekat. Kata-kata itu mengandung lebih dari sekadar ancaman.
Ada luka di dalamnya. Luka yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan dendam.
“Siapa yang menyerang kita?” Leona akhirnya bertanya setelah berhasil menghentikan pendarahan untuk sementara.
“Kalau bukan orangmu, dan bukan orang Moretti… maka hanya ada satu kemungkinan,” sahut Alvaro sambil mencabut ponselnya dari saku dalam.
Ia membuka kontak terenkripsi, lalu menekan tombol merah bertanda “Exodus”.
“Dulu, keluarga kita punya sistem penghancuran terakhir. Proyek darurat untuk menghapus semua jejak jika keluarga jatuh. Namanya… Project Exodus.”
Leona menatapnya lekat-lekat. “Kau bilang itu cuma legenda internal.”
“Dulu aku pikir begitu. Tapi seseorang mengaktifkannya. Dan dia memburu semua pewaris sah—termasuk aku, Ilya, bahkan kau.”
Alvaro menekan kode pengaman ponsel dan mengirim sinyal darurat ke Palermo. “Kalau benar ini Exodus… kita tidak hanya menghadapi mafia. Kita menghadapi bayangan dari masa lalu yang diciptakan untuk membakar semua fondasi yang tersisa.”
---
Markas DeCastro – Tiga Jam Kemudian
Ilya berjalan mondar-mandir di ruang kendali bawah tanah. Wajahnya tegang, namun matanya tajam, seperti kembali menjadi “Ilya” yang memimpin Jade Fire, bukan “Isabelle” yang baru saja kembali menjadi adik.
Marco mendekat dengan headset masih menempel di telinga. “Kami tangkap sinyal dari Monte Grigio. Peluru datang dari drone taktis. Penggunaan peluru uranium kecil. Itu bukan senjata mafia biasa.”
Ilya memandang layar radar besar. Ada satu titik merah yang melintas cepat di arah tenggara Palermo.
“Itu drone pengintai. Mereka tahu semua gerakan kita.”
Stefano mendekat. “Kau yakin ini Exodus?”
Ilya mengangguk. “Di dunia bawah, kami menyebutnya Hantu Hitam. Mereka bukan pembunuh. Mereka pembersih. Sekali nama masuk dalam daftar… tidak ada yang bisa lari.”
Marco menatap Ilya ragu. “Kau pernah melihat mereka?”
“Satu kali. Saat salah satu jenderalku mengkhianati sindikat. Tubuhnya ditemukan di laut, utuh… tapi semua tulangnya hilang.”
Hening.
Stefano menatap layar. “Boss masih hidup. Tapi kalau ini memang Exodus, kita perlu jaringan luar negeri untuk menangkalnya.”
Ilya menarik napas panjang.
“Kita perlu satu orang.”
“Siapa?” tanya Marco.
“Navarro Reyes. Mantan pemburu bayaran yang pernah jadi bagian dari Exodus sebelum keluar dan pura-pura mati.”
Marco mengerutkan kening. “Yang tinggal di Manila?”
Ilya mengangguk. “Ya. Dan hanya dia yang tahu bagaimana mematikan sistem Exodus dari dalam.”
---
Kembali ke Monte Grigio – Subuh
Langit mulai memucat. Alvaro dan Leona berhasil mencapai mobil taktis yang disembunyikan di balik pepohonan. Leona mengemudi, sementara Alvaro duduk di samping, dengan tubuh separuh lunglai.
“Kita pulang dulu ke Palermo,” ucap Leona. “Aku akan tinggal di sana.”
Alvaro meliriknya. “Bukan tempat aman untuk putri mafia.”
Leona menggeleng. “Terlalu banyak rahasia dalam keluarga. Aku lebih percaya padamu sekarang, meskipun kau pernah bilang ingin memotong nadi semua Valezka.”
Alvaro tersenyum miring. “Aku masih ingin. Tapi tidak malam ini.”
Suasana dalam mobil sunyi, hanya diisi suara roda yang menggilas kerikil dan suara radio panggilan dari markas.
Lalu Leona membuka mulut pelan.
“Kau tahu… malam sebelum ayahmu dibunuh, aku pernah berbicara dengannya. Dia tahu ini akan terjadi. Tapi dia tidak lari.”
Alvaro menoleh. “Apa yang dia katakan?”
“Dia bilang, ‘Kalau seseorang harus mati agar Alvaro hidup, maka biarlah itu aku.’”
Air mata menetes di pipi Alvaro, tanpa peringatan. Tapi ia tidak menyekanya.
Hanya diam, menerima bahwa bahkan dalam dunia kelam mafia… masih ada cinta dalam bentuk paling sunyi.
