Bab 3 – Harga dari Luka Lama
Palermo, pukul 02.47 dini hari.
Angin laut membawa aroma asin yang menusuk hidung, bercampur dengan bau oli tua dan tanah basah. Gudang tua di pelabuhan yang sudah puluhan tahun tak dipakai kini menyala terang di bagian dalamnya. Mesin-mesin tua berkarat bersandar di tembok, saksi bisu dari masa lalu yang telah dikubur dalam debu.
Namun malam itu, tempat sepi itu berubah menjadi ruang interogasi brutal.
Suara teriakan pecah menggema, dibungkam sesaat oleh bunyi hantaman keras—tulang yang dipukul, kulit yang sobek, dan napas yang terkoyak.
Di tengah ruangan, seorang pria diikat ke kursi besi. Wajahnya babak belur, satu matanya membengkak, darah menetes dari sudut bibirnya. Namanya Vittorio Zeno, salah satu informan bayaran yang dulu menjual informasi keluarga DeCastro kepada musuh.
Alvaro berdiri di hadapannya. Dingin. Tak bergetar sedikit pun, meski pria di depannya pernah menjadi sahabat keluarga.
“Berapa harganya, Vittorio?” Suara Alvaro tenang, tapi menghantam lebih dalam dari pukulan. “Berapa yang mereka bayar agar kau membocorkan lokasi rumah kita malam itu?”
Vittorio tertawa kecil, batuk berdarah. “Kau pikir aku bisa menghitung itu sekarang? Sudah lima belas tahun, Alvaro. Semua orang memilih sisi mereka. Kau yang terlalu lambat memilih.”
Alvaro tidak menjawab. Ia menatap mata pria itu seperti menyisir kebohongan demi kebohongan, mencari sisa-sisa kebenaran yang mungkin masih tertinggal.
“Tapi aku tahu sesuatu tentang adikmu,” ucap Vittorio cepat, mencoba memanfaatkan satu-satunya kartu yang ia punya. “Isabelle. Kau pikir dia mati? Kau salah. Dia—”
BRUK!
Satu pukulan keras mendarat di rahang Vittorio dari Marco.
“Jangan main-main dengan nama itu,” desis Marco tajam. “Kalau kau bohong, Boss akan potong lidahmu.”
Alvaro mengangkat tangan, menghentikan Marco.
“Lanjutkan,” katanya pelan.
Vittorio tertawa lirih, darah meleleh dari hidungnya. “Dia tidak mati… tapi dia bukan lagi Isabelle yang kau kenal. Moretti memeliharanya seperti binatang. Diperjualbelikan. Diberi identitas baru. Aku tahu di mana dia…”
Alvaro mencengkeram kursi besi itu. Nafasnya mulai berat. Dada kirinya terasa seperti diremas dari dalam. Luka lama yang selama ini ia pendam perlahan merobek kembali.
“Katakan sekarang juga.”
“Tapi aku mau jaminan. Nyawaku—”
DOR.
Stefano menarik pelatuk. Peluru menembus lutut kanan Vittorio. Teriakan pria itu menggema sampai langit-langit.
“Jangan main tawar-menawar dengan Don yang kehilangan seluruh keluarganya,” bisik Stefano ke telinga Vittorio.
“Bangsat kalian semua!” Vittorio meraung. “Dia di Bangkok! Di bawah kendali sindikat Timur Moretti. Namanya sekarang… Ilya. Dia... bukan lagi adikmu, Alvaro.”
Hening.
Nama itu—Ilya—terasa asing dan akrab di waktu bersamaan. Isabelle, gadis kecil yang dulu suka membaca puisi di bawah pohon zaitun halaman rumah mereka. Gadis yang terakhir ia lihat sedang menangis sambil memeluk boneka rusak.
Dan sekarang… menjadi milik kartel perdagangan wanita.
Alvaro memutar badannya, menatap tembok beton yang dingin. Fajar hampir datang, tapi langit masih gelap. Ia menarik napas panjang.
“Marco, siapkan penerbangan ke Bangkok. Kita berangkat besok malam.”
Marco mengangguk cepat.
Stefano menatap Vittorio yang masih merintih.
“Dan dia?” tanya Stefano.
Alvaro tidak menoleh. Hanya berkata satu kalimat pelan:
“Bakar gudangnya.”
---
Roma – Vila Valezka
Leona berdiri di balkon, memandangi taman yang disiram lampu-lampu malam. Ia belum tidur sejak kabar dari Milan sampai ke telinganya. Bahwa Alvaro masih hidup bukanlah kejutan. Tapi bahwa dia masih mencari Isabelle—itu seperti ledakan diam yang menggetarkan pikirannya.
Ia tahu siapa Isabelle.
Ia tahu betul.
Bertahun-tahun lalu, setelah pembantaian keluarga DeCastro, Isabelle dibawa oleh salah satu jenderal kepercayaan ayahnya—dalam keadaan setengah hidup, penuh luka dan trauma. Leona hanya gadis remaja waktu itu, tapi ia menyaksikan langsung bagaimana gadis kecil itu dibekukan hatinya, diprogram ulang, dijadikan aset.
Dan sekarang, Isabelle hidup dengan nama baru: Ilya. Salah satu pemikat paling berbahaya di jaringan intel Moretti.
Leona menggenggam pagar balkon, matanya panas. Ia tahu, jika Alvaro dan Isabelle bertemu… dunia bisa runtuh. Atau lebih buruk—saling menghancurkan.
Ayahnya, Don Domenico, muncul di balik pintu.
“Kau terlihat gelisah,” katanya datar.
“Karena aku tahu kau menyimpan adik Alvaro selama ini. Di tempat seperti... kandang hewan.”
“Kau pikir aku kejam?”
“Aku tahu kau kejam. Tapi aku tak tahu kalau kau juga pengecut.”
Domenico menyipitkan mata. “Jaga bicaramu.”
“Aku sudah menjaga terlalu banyak hal. Tapi sekarang, aku tidak akan diam melihat api yang kau nyalakan membakar semuanya.”
Don Domenico mendekat, suaranya penuh tekanan. “Kalau kau masih punya simpati pada anak DeCastro itu, ingat satu hal—dia datang bukan untuk negosiasi. Dia datang untuk menyembelih semua yang bernapas dalam rumah ini. Termasuk kau.”
Leona menggeleng pelan. “Mungkin aku akan membiarkan dia membunuhku. Tapi sebelum itu… aku ingin tahu siapa yang pertama kali memerintahkan penyerangan ke rumah mereka malam itu.”
Don Domenico diam. Wajahnya mengeras.
“Bukan aku.”
Leona memutar tubuhnya, menatap langsung ke mata ayahnya.
“Kalau bukan kau… siapa?”
---
Palermo – Kembali ke Markas DeCastro
Alvaro duduk sendiri di ruang bawah tanah. Lampu gantung menggoyang pelan di atas kepala, menebar cahaya temaram. Di depannya tergantung peta besar rute ke Bangkok. Gambar-gambar wajah musuh dipaku seperti target tembak.
Ia menatap titik kecil bertuliskan “Ilya – Bangkok – Kompleks Jade Fire.”
Gambar itu disandingkan dengan foto tua Isabelle yang sudah lusuh dan mulai pudar.
“Sabar, dik,” bisiknya. “Aku akan membawa kita pulang…”
Tangannya menyentuh dada, tempat tato singa DeCastro terpatri di kulit.
Dan untuk pertama kalinya, suara Alvaro terdengar goyah.
“Aku janji… kau takkan jadi ciuman terakhirku.”
Fajar mulai mengintip di ufuk timur Palermo. Matahari masih malu-malu menyinari kota tua itu, namun di dalam markas DeCastro, pagi tidak membawa harapan—melainkan pergerakan.
Marco dan Stefano sibuk mempersiapkan semua dokumen perjalanan palsu menuju Bangkok. Senjata, paspor, peta digital, hingga sandi komunikasi disusun rapi. Alvaro hanya duduk di depan meja panjang, menatap foto adiknya yang kini menggunakan nama “Ilya” dalam jaringan sindikat.
“Bagaimana kita akan menembus markas Jade Fire?” tanya Marco sambil melipat surat jalan.
“Pakai jalur lama. Aku punya kontak di distrik Nana, mantan penyelundup senjata,” jawab Alvaro. “Kita masuk dari pasar gelap. Ilya dijaga ketat, tapi bukan tak bisa dijangkau.”
Stefano menoleh, mengernyit. “Boss, ini bukan cuma misi penyelamatan. Jika Ilya benar-benar telah berubah… bisa jadi dia membunuhmu sebelum mengenali siapa kau.”
Alvaro mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi aku akan bicara dengannya sebelum peluru yang bicara.”
Marco mendekat. “Dan kalau dia sudah tidak bisa diselamatkan?”
Suasana menjadi senyap.
Alvaro bangkit. Ia mengambil pistol miliknya, meletakkan satu peluru emas di atas meja.
“Kalau Isabelle benar-benar telah mati… maka ‘Ilya’ juga harus.”
---
Bangkok, Tiga Hari Kemudian
Lampu-lampu merah muda menyala terang di gang-gang sempit kota tua Bangkok. Musik elektronik berdentum dari klub-klub malam bawah tanah, aroma alkohol dan parfum murahan memenuhi udara seperti kabut dosa.
Di tengah keramaian itu, ada sebuah bangunan tiga lantai yang tampak biasa dari luar—namun di dalamnya, itu adalah sarang dari Jade Fire, organisasi perdagangan manusia tingkat tinggi di bawah Moretti.
Di salah satu ruangannya, seorang wanita duduk di kursi rotan. Rambut peraknya digulung tinggi, kulitnya mulus, matanya berwarna abu kehijauan yang menyihir siapa saja yang melihat. Wajahnya tak asing… tapi juga sulit dikenali.
Dialah Ilya. Nama sandi. Nama boneka. Nama baru dari Isabelle DeCastro.
Dia sedang membaca buku kecil berbahasa Prancis. Di tangannya, secangkir teh panas.
Seorang lelaki bersetelan ketat masuk, berlutut di depannya.
“Madame Ilya, kita menerima sinyal. ‘Dia’ ada di Bangkok. Don DeCastro.”
Ilya tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya, memandang bayangan dirinya sendiri di jendela.
“…Alvaro,” gumamnya pelan.
Suara itu penuh retak. Bukan karena lemah, tapi karena luka yang belum sembuh.
Ia meletakkan cangkir tehnya, bangkit perlahan.
“Berikan dia jalan masuk.”
Pria itu mengangkat kepala, terkejut. “Madame? Kita tidak langsung menembak?”
“Tidak. Aku ingin melihat matanya… sebelum aku menembaknya sendiri.”
---
Sementara Itu – Di Dalam Mobil Pengintai
Alvaro duduk di kursi belakang van gelap, mengenakan hoodie dan sarung tangan. Di tangannya, ia memegang lencana tua milik Isabelle yang dulu ia simpan sejak mereka kecil—lencana kecil singa emas yang dulunya tersemat di boneka kesayangan adiknya.
Ia menatap benda itu dalam-dalam, lalu menyimpannya kembali ke dalam saku dada.
Marco menyodorkan tablet. “Lokasi utama Ilya di lantai tiga. Dua jalur keluar, tapi hanya satu yang tidak dijaga penuh.”
“Berarti kita masuk dari atap,” ucap Alvaro.
“Gila. Kau yakin ini bukan misi bunuh diri?” tanya Stefano dari kursi kemudi.
“Kalau iya pun, aku tetap masuk,” jawab Alvaro dingin.
---
Beberapa Jam Kemudian – Kompleks Jade Fire
Langit malam Bangkok berpendar merah jingga. Alvaro dan timnya menyusup melalui atap gedung. Diam. Tanpa suara. Tali pengaman menggantung di pinggang, pisau disarungkan di pergelangan kaki, senjata disiapkan.
Satu per satu mereka turun dari ventilasi. Aroma asap rokok dan parfum sintetis menyambut mereka.
Alvaro berjalan sendiri menuju kamar 307. Di balik pintu itu, dia tahu siapa yang menunggunya.
Ia mengetuk tiga kali. Tak ada balasan.
Ketika ia mendorong pintunya… ruang itu sunyi.
Hanya ada satu wanita berdiri membelakanginya, menatap jendela kaca besar yang memperlihatkan langit malam.
Alvaro menutup pintu. “Isabelle…”
Wanita itu tak bergerak. Lalu perlahan berbalik.
Mata mereka bertemu.
Mata yang sama. Warna yang sama. Tapi cahaya yang berbeda.
“Ilya,” wanita itu berkata. “Nama lamaku mati bersama keluarga kita.”
Alvaro maju setapak. “Tidak, kau masih hidup. Aku tahu itu. Aku lihat di matamu.”
Ilya menatapnya lama. Hatinya bergetar, tapi bibirnya berkata lain.
“Kalau kau benar-benar kakakku… kenapa kau tidak datang mencariku lebih cepat? Lima belas tahun aku hidup sebagai hantu, Alvaro.”
Alvaro terdiam. Wajahnya terluka, tapi matanya tidak bergeming.
“Aku salah… aku terlalu lambat.”
Ilya menunduk, lalu mengangkat pistol dari balik gaunnya.
“Kalau begitu… kau bisa menebusnya sekarang.”
Ujung pistol diarahkan ke dada Alvaro.
Namun ia hanya berdiri.
“Kalau kau ingin membunuhku… lakukan. Tapi aku di sini untuk menjemputmu pulang. Bukan berperang.”
Ilya menggigit bibir. Tangannya gemetar.
“Jangan lemah…” gumamnya ke diri sendiri. “Jangan…”
Pelatuk ditarik—tapi tak pernah dilepaskan.
Tangan Alvaro menggenggam pergelangan Ilya dengan cepat dan tegas. Pistol jatuh ke lantai.
Mereka saling menatap. Napas keduanya berat. Dunia terasa membeku.
Lalu pelukan.
Bisu. Panjang. Penuh luka. Penuh penyesalan.
“Ilya atau Isabelle… aku tetap kakakmu,” bisik Alvaro.
Air mata jatuh untuk pertama kalinya.
