

Bab 2 – Silvio, Nama Pertama yang Harus Mati
Dunia mafia tidak mengenal belas kasihan. Saat seseorang menyisakan hidup untuk musuhnya, itu bukan kebajikan—itu kelemahan. Dan kelemahan dalam dunia Alvaro DeCastro hanyalah undangan terbuka untuk dikoyak.
Pagi itu, kota Milan terbungkus dalam kabut tipis. Di luar hotel bintang lima milik jaringan Moretti, dua mobil hitam berhenti tanpa suara. Dari dalamnya, turun tiga pria bersetelan gelap dan wajah seperti patung batu. Tanpa bicara, mereka menyebar, memeriksa sudut-sudut bangunan, berbicara hanya lewat isyarat tangan.
Alvaro turun terakhir.
Jas hitamnya melambai tertiup angin. Wajahnya tertutup masker separuh, tapi sorot matanya tajam seperti silet.
“Silvio Almenti sedang di lantai 17, ruang VIP bar. Dikelilingi dua pengawal pribadi,” bisik Marco yang sudah menyusup lebih dulu melalui sistem kamera.
“Dan dua sniper di atap,” tambah Stefano yang berdiri di dekat mobil, menahan telinga ke dalam alat komunikasi kecil di kerah jasnya.
“Sniper bukan masalah. Yang penting, dia tidak mati cepat,” ucap Alvaro.
Dia berjalan memasuki hotel seperti tamu biasa. Langkahnya ringan, tenang, bahkan senyumnya kepada resepsionis nyaris hangat. Tapi dalam pikirannya, ia sudah membayangkan Silvio berlutut di depannya dengan darah mengalir dari hidung.
Elevator membawa Alvaro naik. Detik-detik di dalam lift terasa seperti bom waktu. Ia tak butuh pengakuan. Hanya eksekusi.
Dan hari ini, nama pertama dalam daftarnya akan dicoret.
---
Lantai 17 – Bar Eksklusif
Musik jazz lembut mengalun. Aroma cerutu mahal dan bourbon memenuhi udara. Di tengah ruangan, Silvio Almenti duduk santai, perut buncitnya menyembul dari balik kemeja putih yang terlalu kecil. Dua pengawal berdiri di belakangnya, ekspresi kosong tapi tangan mereka siaga di pinggang.
Silvio tertawa keras saat melihat Alvaro berjalan mendekat.
“Ah, Alvaro DeCastro… anak yang hilang kembali dari kuburan! Aku dengar kau sekarang bermain di balik layar. Apa yang membawamu ke Milan? Ingin membentuk aliansi?” ejeknya.
Alvaro duduk tanpa undangan. Tatapannya menembus langsung ke mata Silvio.
“Kau tahu kenapa aku di sini.”
“Balas dendam?” Silvio tertawa keras. “Masih terlalu awal untuk itu. Kau sendirian. Kami punya seluruh jaringan. Apa kau pikir bisa menghancurkan Moretti hanya dengan otot dan dendam masa kecil?”
Alvaro mencondongkan tubuh ke depan. “Bukan otot. Bukan dendam masa kecil. Aku bawa neraka bersamaku.”
Dan saat itulah pintu bar dikunci otomatis oleh Marco dari luar. Musik berhenti. Lampu meredup.
Pengawal Silvio menarik pistol, tapi dua peluru cepat menembus pelipis mereka—tembakan presisi dari sniper tim Alvaro di gedung seberang. Tubuh mereka tumbang bersamaan seperti boneka yang diputus talinya.
Silvio terdiam.
“Aku bisa membunuhmu sekarang,” kata Alvaro pelan, menusuk kata demi kata ke dalam otak Silvio. “Tapi aku ingin kau tahu satu hal sebelum kau mati.”
Dia menarik pisau kecil dari dalam jas. Pisau DeCastro, lambang kehormatan dan pembalasan. Lambang yang pernah Silvio buang ke dalam lubang kakus sambil menertawakan kematian Don Sebastian.
“Kau membakar ibuku hidup-hidup. Kau tertawa ketika aku melarikan diri,” lanjut Alvaro. “Dan kau… yang menusukkan pisau ke perut ayahku dari belakang.”
Silvio mulai gemetar. Wajahnya berubah pucat, tubuhnya mundur perlahan.
“A-Alvaro, dengar aku. Itu semua… perintah Moretti. Aku hanya… pelaksana. Aku bahkan tidak ikut saat—”
Pisau itu melesat.
Menancap tepat di tangan Silvio yang mencoba menutupi wajah.
“Dan sekarang kau jadi korban?” Alvaro mendekat. “Kau pikir aku peduli siapa dalang utama? Kau pikir aku akan berhenti di sini?”
Silvio memekik, darah mengalir dari jarinya yang terbelah. Tapi ia tetap hidup.
Belum.
Alvaro berdiri. “Aku takkan membunuhmu. Biar Moretti tahu… aku datang. Dan aku tak akan berhenti sebelum semua dari kalian berlutut dalam genangan darah.”
Dia berbalik, berjalan meninggalkan ruangan.
Tapi saat dia hampir di ambang pintu, ia berhenti sejenak, lalu menoleh.
“Oh, satu lagi…”
Silvio menatapnya, gemetar.
“Sampaikan salam pada Leona.”
Lalu Alvaro menghilang dalam gelap.
---
Markas Moretti – Roma
Domenico Valezka mendengus keras saat laporan dari Milan mendarat di mejanya.
“Alvaro DeCastro…” gumamnya. “Anak jalang itu muncul lagi. Kubilang apa? Kita harusnya memburunya sampai ke lubang tikus waktu itu.”
Seorang pria tua di sebelahnya menunduk. “Kami pikir dia sudah mati di Asia, Don. Dia menghilang selama bertahun-tahun.”
“Dan sekarang dia kembali. Membawa perang.”
Domenico menatap ke arah jendela. Malam mulai turun di Roma. Tapi dia tahu ini bukan malam biasa. Ini adalah malam pertama dari sebuah kekacauan yang akan datang.
“Hubungi Leona,” perintahnya. “Kita akan mainkan taktik lama… umpan dengan kelemahan.”
---
Leona – Apartemen Pribadi, Roma
Ponsel Leona bergetar.
“Ayah.”
“Alvaro mulai bergerak. Dia menyerang Silvio.”
Leona terdiam.
“Aku tahu dia akan kembali,” katanya datar.
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Leona. Kau satu-satunya yang bisa membawanya ke tempat yang kita inginkan.”
Leona menggenggam ponsel lebih erat. “Dan setelah itu? Kalian akan bunuh dia?”
“Kau tahu ini bukan permainan anak-anak.”
Leona memejamkan mata. Di pikirannya, ciuman itu masih membekas. Bukan karena romantis, tapi karena mengikat.
Ia menutup telepon. Lalu berdiri di depan cermin.
“Aku tahu siapa dia… tapi aku juga tahu siapa diriku,” gumamnya.
Mata Leona berubah gelap. Kali ini, bukan karena takut… tapi karena tekad.
Setelah Alvaro meninggalkan bar VIP itu, Silvio terdiam di lantai, menggenggam tangan yang berlumuran darah. Pisau yang tertancap tadi kini tergeletak di lantai dengan ukiran lambang keluarga DeCastro di sisi bilahnya—seekor singa bertaring yang menggigit mahkota.
Dia tahu makna simbol itu. Bukan hanya ancaman. Itu pengingat.
Silvio menoleh ke arah dua mayat pengawalnya yang tergeletak tanpa nyawa, darah menggenang di bawah meja bourbon mahal.
Tubuhnya gemetar, bukan karena nyeri, tapi karena rasa takut yang baru pertama kali ia rasakan setelah bertahun-tahun menjadi raja pengedar narkoba wilayah utara. Alvaro sudah kembali. Dan ia tidak main-main.
Dengan tangan berdarah, Silvio meraih ponsel.
“Domenico… kita punya masalah.”
---
Kembali ke Mobil Alvaro
Mobil Maybach hitam melaju senyap di tengah kabut jalanan Milan.
Marco duduk di depan, mengatur rute pelarian tercepat. Stefano di belakang, membuka dokumen digital yang dikirim jaringan mata-mata mereka di Roma.
“Silvio pasti akan lapor ke Valezka malam ini,” ujar Marco. “Apa kita siap mempercepat jadwal?”
Alvaro duduk dengan wajah dingin, matanya menerawang ke luar jendela.
“Belum. Aku ingin mereka tegang dulu. Biar paranoia mereka memakan satu sama lain.”
Stefano menoleh. “Apa kita benar-benar akan mengincar Leona juga?”
Alvaro tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup untuk menghentikan pertanyaan berikutnya.
“Dia masuk dalam daftar. Aku tak pilih kasih.”
Tapi di dalam hatinya, ada percikan lain yang mencoba hidup—entah itu cinta, dendam yang berbeda bentuk, atau mungkin… perasaan tak bernama yang ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri.
---
Markas Rahasia Keluarga DeCastro – Palermo
Ruangan bawah tanah markas DeCastro kini aktif kembali setelah bertahun-tahun gelap. Komputer, peta, senjata, dan peralatan komunikasi canggih kembali menyala. Alvaro berdiri di depan layar besar, memandangi titik-titik merah yang menunjukkan lokasi musuh.
Salah satunya berkedip di kota Napoli. Lokasi berikutnya: Edoardo Malvani, tukang jagal keluarga Moretti. Orang yang pernah menyeret adik Alvaro—Isabelle—di malam pembantaian, lalu menghilang tanpa jejak.
Alvaro mengepalkan tangannya. Gambar wajah Malvani muncul di layar. Usianya sudah menua, tapi mata tajamnya tetap seperti dulu—mata predator.
“Dia selanjutnya,” ucap Alvaro dingin. “Setelah itu baru Valezka.”
Marco mendekat, membawa setumpuk berkas.
“Dan Leona?”
Alvaro tidak menjawab langsung. Tapi setelah beberapa detik, ia berkata pelan, “Dia bisa saja jadi peluru terakhir… atau lubang peluru di dada.”
Stefano terkekeh. “Kau masih tak bisa memutuskan, Boss.”
“Bukan tak bisa,” jawab Alvaro datar. “Tapi aku akan pastikan... aku tidak salah menembak.”
---
Roma – Kantor Pusat Moretti Corporation
Leona duduk di meja besar kaca, memandangi layar laptop dengan raut wajah tenang. Tapi pikirannya seperti pusaran badai.
Ia tahu Alvaro akan datang lagi. Tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa berat. Yang mengganggunya adalah… kenapa ciuman itu terasa nyata?
Seharusnya semua hanya permainan. Seharusnya ia hanya memancingnya, mendekati, dan menjebaknya untuk Moretti. Tapi saat bibir Alvaro menyentuhnya, ada sesuatu yang kembali hidup di dalam dirinya. Rasa yang dulu pernah ia kubur, saat rumah keluarga DeCastro terbakar bersama masa kecil mereka.
Leona menyentuh bibirnya sendiri. Masih terasa.
Ia lalu berdiri, mengambil sebuah laci rahasia di bawah meja. Di sana, terdapat foto tua—foto dirinya bersama Alvaro kecil. Tersenyum. Tak ada darah. Tak ada pengkhianatan.
Dan di balik foto itu, sebuah surat yang belum pernah ia kirim.
> “Kalau kau membaca ini, berarti aku sudah mati. Tapi jika kau masih hidup, Alvaro… jangan biarkan mereka memaksamu jadi seperti mereka. Jangan bunuh aku hanya karena nama keluargaku. Bunuh aku kalau aku memang layak mati. Karena aku tahu… aku mungkin memang layak.”
Leona merobek surat itu perlahan. Lalu menatap cermin.
“Aku akan menyelesaikan ini. Entah dengan cinta… atau peluru.”
Di malam yang sama, sebuah pesan anonim masuk ke sistem email Valezka:
> "Nama pertama telah tumbang. Darah pertama sudah menetes. Ini baru awal. — Singa Tua"
Don Domenico membaca pesan itu dengan mata menyipit.
"Alvaro mulai main perang gaya lama..."
Di belakangnya, Leona berdiri tenang. Tapi di dalam hatinya, ia tahu—perang ini bukan soal siapa menang. Tapi siapa yang mampu kehilangan paling banyak dan tetap berdiri.
