Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 – Ciuman Terakhir

Hujan turun deras malam itu, seperti berusaha membasuh dosa-dosa yang terlalu pekat untuk dihapus. Petir menyambar langit kota Palermo, memantulkan bayangan menara tua yang berdiri megah namun sepi. Di balik jendela besar yang retaknya tak pernah diperbaiki sejak sepuluh tahun lalu, duduklah seorang pria muda, jas hitam setengah basah, tangan kirinya menggenggam segelas anggur merah, tangan kanannya memegang pistol berlapis emas.

Alvaro DeCastro, 29 tahun. Pemimpin terakhir dari keluarga mafia tua yang pernah mengguncang dunia kriminal Italia. Kini, ia adalah bayangan dari kekuasaan masa lalu—lebih senyap, lebih berbahaya, dan lebih haus darah.

Di hadapannya, seorang pria berlutut. Berdarah, wajah lebam, bibir pecah-pecah. Tapi yang paling hancur dari semua itu adalah harga dirinya.

“Sudah kubilang…” suara Alvaro terdengar pelan namun jelas, “jangan pernah menyebut nama ‘Valezka’ di hadapanku… kecuali kau ingin kehilangan lidahmu.”

Pria itu—anak buah pengkhianat dari klan pesaing—bergetar, menahan rasa sakit di tubuhnya yang nyaris tak bisa digerakkan. “A-Ampun… Don DeCastro… aku hanya diperintah…”

Alvaro berdiri perlahan. Ia berjalan mendekat, sepatu kulitnya menjejak lantai marmer tua dengan suara yang memantul ke seluruh ruangan. Angin dari jendela terbuka meniup jas panjangnya, membuatnya terlihat seperti malaikat maut yang turun dari surga neraka.

Ia jongkok. Tatapannya dingin, tak ada belas kasihan.

“Sampaikan salamku pada saudaramu di neraka.”

Satu tembakan. Peluru menembus dahi pria itu tanpa suara peringatan. Tubuhnya ambruk, darah mengalir dan bercampur dengan air hujan yang menetes dari atap.

Alvaro bangkit, mengembuskan napas panjang seolah itu hanya tugas rutin. Bukan pembunuhan, tapi pembersihan.

Ia menatap langit gelap di luar jendela. “Tujuh orang lagi,” gumamnya. “Tujuh nama dalam daftar.”

---

Sepuluh Jam Sebelumnya – Bandara Internasional Leonardo da Vinci, Roma

“Selamat datang kembali ke Italia, Tuan DeCastro,” ucap petugas imigrasi dengan senyum sopan, tak sadar bahwa pria di hadapannya adalah legenda hidup yang diburu di tujuh negara.

Alvaro hanya mengangguk pelan. Kacamata hitam menutupi separuh wajahnya. Ia berjalan pelan melewati terminal, diikuti dua pria berbadan besar—pengawalnya sejak lama, Marco dan Stefano.

“Pesawat pribadi kita sudah siap untuk Palermo,” bisik Marco.

Alvaro tak menjawab. Langkahnya hanya berhenti saat ia melihat layar televisi bandara yang menayangkan berita:

> “Don Domenico Valezka akan membuka pusat bisnis baru di Roma sebagai bagian dari ekspansi Moretti Corporation. Sang putri, Leona Valezka, akan turut hadir sebagai direktur eksekutif proyek tersebut.”

Nama itu.

Leona Valezka.

Wanita dengan mata kelam seperti badai musim dingin. Suaranya lembut, tapi tajam seperti belati. Putri dari pria yang menghancurkan segalanya yang dimiliki Alvaro. Gadis itu… seharusnya sudah mati di tahun pembantaian itu.

Tapi sekarang dia hidup. Tersenyum di layar, berdiri di samping ayahnya.

Dan entah kenapa, jantung Alvaro berdegup lebih kencang dari biasanya.

---

Malam Hari – Palermo, Rumah Lama DeCastro

Bangunan itu dulunya megah. Sekarang, hanya sisa-sisa kemewahan yang dibakar habis oleh api dan pengkhianatan. Tapi Alvaro kembali ke tempat ini bukan untuk nostalgia. Ia kembali untuk membuka perang yang tertunda.

Di dinding ruang bawah tanah, ia menempelkan foto-foto tua. Tujuh wajah. Tujuh nama. Semua mereka adalah orang yang ikut serta dalam pembantaian keluarga DeCastro lima belas tahun lalu.

Ayahnya, Don Sebastian DeCastro, ditembak dari belakang oleh orang kepercayaannya sendiri. Ibunya dipaksa melihat sebelum akhirnya dibakar hidup-hidup. Adik perempuannya… tidak pernah ditemukan.

Satu demi satu, mereka akan dibunuh.

Dan nama terakhir dalam daftar itu, seperti takdir paling pahit, adalah:

Leona Valezka.

---

Tiga Hari Kemudian – Roma

Di sebuah acara gala mewah yang dihadiri para pengusaha dan tokoh politik, Leona melangkah anggun dengan gaun merah marun yang membungkus tubuh rampingnya. Ia tak menyadari bahwa seseorang menatapnya dari balkon lantai atas. Seorang pria berpakaian formal, berdiri di kegelapan, menyembunyikan nafasnya sendiri.

Alvaro.

Sudah lima belas tahun sejak terakhir kali ia melihat wajah Leona. Ia masih ingat betul: gadis itu menangis di pelukannya saat ledakan mengguncang rumah DeCastro. Ia tidak pernah tahu apakah tangis itu nyata, atau hanya tipu daya keluarga pengkhianat.

Kini, gadis itu telah tumbuh menjadi wanita. Matanya sama, tapi sorotnya berbeda. Tenang, kuat, dan penuh rahasia.

Leona memandang ke arah balkon—seolah menyadari tatapan dari kejauhan.

Mata mereka bertemu.

Alvaro terdiam.

Dan untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun… ia merasa ragu.

---

Kilasan Masa Lalu – 15 Tahun Lalu

“Kalau kita bertemu lagi suatu hari nanti…” bisik Leona, “cium aku sekali saja sebelum kau membunuhku.”

Alvaro menatap gadis itu, wajahnya berdarah, tubuhnya terbakar amarah. “Jangan berharap aku akan memaafkanmu.”

“Aku tidak minta dimaafkan,” jawab Leona. “Aku hanya ingin tahu… kalau perasaanku malam ini benar. Bahwa kau… pernah mencintaiku juga.”

---

Kembali ke Masa Kini

Alvaro menggenggam pagar balkon, jemarinya bergetar.

Ciuman terakhir.

Itu adalah permintaan terakhir Leona… sebelum mereka terpisah dalam kobaran perang keluarga.

Dan kini, mereka berdiri di sisi yang sama-sama salah.

Cinta yang tak sempat tumbuh. Dendam yang belum sempat dibayar.

Perang telah dimulai.

Dan di ujung perang ini, hanya ada satu ciuman terakhir… sebelum semuanya berakhir.

Langkah kaki Leona terdengar mantap saat ia memasuki lorong belakang gedung gala. Di balik kemewahan acara, ia tetap waspada. Sebagai putri dari salah satu Don paling berkuasa di Eropa, Leona tahu betul bahwa setiap pesta bisa jadi pembantaian tersembunyi. Setiap pelukan bisa menyembunyakan pisau di balik punggung.

Ia berhenti di dekat pintu darurat yang terbuka sedikit. Suara langkah sepatu kulit menyentak perhatian telinganya yang terlatih.

“Siapa di sana?” tanyanya tegas, suara perempuan tapi penuh kuasa.

Tak ada jawaban.

Hanya suara pintu yang makin terbuka perlahan.

Jantung Leona berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena firasat.

Sosok tinggi muncul dari balik bayangan. Gelap. Tegap. Dingin. Mata pria itu memandangnya seperti hantu masa lalu yang tak ingin dibangkitkan.

Leona terdiam, napasnya tercekat. Ia mengenali wajah itu meski waktu telah mengubah banyak hal.

“Alvaro…”

Pria itu tersenyum samar, tapi tak ada hangat di matanya.

“Kau tumbuh jadi wanita yang lebih cantik dari yang kubayangkan, Leona,” ucap Alvaro, suaranya dalam, serak karena menahan emosi yang bertumpuk sejak lama.

“Dan kau... tetap menatapku seperti aku musuhmu,” jawab Leona, langkahnya mundur setengah jengkal, tapi tatapannya tak goyah. “Kau datang untuk membunuhku?”

“Belum.”

Satu kata itu cukup membuat atmosfer lorong menjadi membeku. Udara di antara mereka seperti pisau yang menggantung di tengah-tengah. Bukan karena kebencian semata. Tapi karena sesuatu yang lebih rumit—lebih beracun.

“Kenapa sekarang?” tanya Leona, mencoba tetap tenang meski tubuhnya menegang. “Kenapa muncul setelah lima belas tahun?”

“Karena ini waktunya,” jawab Alvaro pelan. “Kalian semua sudah cukup nyaman hidup dalam kebohongan. Sudah waktunya seseorang mengingatkan bahwa dosa selalu ditagih. Dan biasanya… dengan darah.”

Leona mengangguk pelan. “Kalau begitu, lakukan. Bunuh aku sekarang.”

Alvaro maju selangkah. Napas mereka kini saling bersentuhan. Dekat. Terlalu dekat untuk dua orang yang seharusnya saling membunuh.

“Aku akan membunuhmu, Leona…” bisiknya. “Tapi tidak malam ini.”

Leona menggigit bibirnya. “Kau takut?”

Alvaro tertawa kecil, sinis. “Aku tidak takut. Aku hanya ingin memastikan… bahwa kau tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya. Seperti aku dulu.”

Leona mengangkat dagunya. “Maka kau akan jadi sama seperti ayahku, Alvaro. Seorang pengecut yang menghancurkan dari bayang-bayang.”

Mata Alvaro menyipit. Emosi meledak di dadanya, tapi ia menahannya.

“Cium aku,” kata Leona tiba-tiba.

Alvaro terkejut. “Apa?”

“Cium aku sekarang,” ulang Leona, pelan tapi pasti. “Biar kita tutup masa lalu itu. Biar aku tahu, kau benar-benar pernah mencintaiku… sebelum kau benar-benar membunuhku nanti.”

Alvaro menatapnya lama. Bibirnya terbuka sedikit, seolah ingin bicara, tapi tak ada kata keluar.

Lalu ia melangkah mendekat… mendekat hingga wajah mereka hanya tinggal sejengkal.

Tangannya menyentuh pipi Leona. Dingin. Halus.

Dan ia mengecupnya.

Sebuah ciuman. Ringan. Tapi mengguncang tulang.

Bukan karena romantis, tapi karena penuh luka.

Ketika bibir mereka berpisah, Leona menutup mata.

“Aku akan menunggumu,” bisiknya.

Alvaro melangkah mundur. Sorot matanya berubah. Tak ada lagi keraguan. Tak ada lagi belas kasihan.

“Mulai malam ini… neraka akan kembali hidup, Leona. Dan aku yang akan menyalakan apinya.”

Ia pergi, langkahnya berat tapi mantap. Meninggalkan Leona berdiri sendirian dalam gelap, dengan air mata yang tak jatuh. Ia tak boleh menangis. Tidak malam ini.

---

Beberapa Jam Kemudian – Markas Keluarga DeCastro, Palermo

Marco dan Stefano berdiri di dekat meja kayu tua yang penuh dengan dokumen. Alvaro menatap peta besar di depannya—jaringan kartel, jalur senjata, jalur perdagangan wanita, dan daftar nama-nama penting dalam bisnis bawah tanah.

“Kita mulai dari siapa, Boss?” tanya Marco.

Alvaro mengangkat satu nama di kertas.

“Silvio Almenti. Kepala distribusi heroin untuk Moretti.”

“Lokasi terakhir di Milan. Tapi dia dijaga ketat.”

Alvaro menatap mereka, wajahnya kembali menjadi batu.

“Tak ada tempat yang terlalu aman. Tidak untuk mereka.”

Lalu ia menulis sebuah kata di papan besar di dinding:

“PEMBALASAN.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel