Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 – Pemburu yang Lupa Dirinya

Tiga hari setelah serangan misterius di Monte Grigio, suasana di markas DeCastro berubah drastis. Keheningan kini digantikan dengan detak mesin komunikasi satelit, dering laporan pengintaian, dan sorotan mata yang terus bergerak mencari arah ancaman.

Di ruang kendali utama, Alvaro duduk dengan lengan kiri yang dibalut perban, masih segar dari luka tembak, namun matanya tak kehilangan nyala.

Ilya berdiri di sampingnya, membuka file yang mereka simpan selama ini—dokumen kelam tentang Project Exodus. Di layar besar, tampak wajah buram dari seorang pria paruh baya berambut perak dengan bekas luka panjang di pelipis: Navarro Reyes.

“Dia mantan anggota Exodus. Kabur delapan tahun lalu, setelah membantai satu tim penuh karena tak ingin membunuh anak-anak,” jelas Ilya, menunjuk rekaman CCTV di layar yang buram oleh kabut pelabuhan Manila.

“Sejak itu, dia dianggap mati oleh sistem. Tapi laporan dari penyelundup senjata Asia Timur bilang dia masih hidup, pakai nama palsu: Corvino.”

Stefano berdiri di dekat meja, menyilangkan tangan. “Jadi kita akan terbang ke Filipina hanya untuk menemui hantu hidup?”

“Kita akan menemui satu-satunya orang yang bisa buka pintu ke dalam Exodus,” sahut Alvaro. “Kalau dia masih ingat siapa dirinya.”

---

Sementara Itu – Manila, Filipina

Di daerah pesisir gelap dan penuh garam, seorang pria tua berdiri di dermaga tua. Rambutnya memutih, tubuhnya kekar, dan di pundaknya tergantung senapan tua Mosin-Nagant. Dia sedang memberi makan burung camar, melempar ikan kecil satu per satu ke udara.

Anak-anak nelayan memanggilnya “Paman Corvino.”

Namun di balik nama itu, dia adalah Navarro Reyes.

Di gubuk kayu sederhana yang dia tinggali, tersimpan satu kotak logam dengan sidik jarinya sebagai kunci. Di dalamnya—identitas lamanya sebagai algojo Exodus, data pembunuhan dari Afrika sampai Istanbul, dan satu foto tua yang lusuh: dirinya berdiri di atas mayat, namun matanya kosong.

“Dosa tak bisa dihapus, hanya bisa disangkal,” gumamnya setiap kali membuka kotak itu.

Dan pagi itu, ketukan keras membuyarkan rutinitasnya.

DUK! DUK! DUK!

Navarro membuka pintu dengan senapan mengarah, tapi wajah yang dilihatnya adalah sesuatu yang tak ia duga.

Alvaro DeCastro.

---

Pertemuan Dua Hantu

“Kalau kau datang untuk membunuhku, lakukan sekarang,” kata Navarro dengan suara berat.

Alvaro hanya menatapnya. “Kalau aku datang untuk meminta bantuanmu, kau akan tolak?”

Navarro mengerutkan kening. “Sudah terlalu lama sejak ada yang datang padaku untuk alasan lain selain darah.”

Alvaro masuk tanpa undangan. Di belakangnya, Ilya dan Stefano berjaga di luar.

“Aku tahu siapa kau, Navarro. Aku tahu dosa yang kau pikul. Tapi dunia yang menciptakanmu adalah dunia yang sama yang menghancurkan keluargaku. Sekarang dunia itu menghidupkan kembali monster yang lebih gelap… Exodus.”

Navarro tidak menjawab. Ia hanya menyalakan rokok, lalu duduk di kursi kayunya.

“Siapa yang aktifkan sistem?” tanya Navarro akhirnya.

“Belum tahu,” sahut Alvaro. “Tapi dia tahu kami semua. Kami, para pewaris keluarga yang mencoba membangun kembali kehormatan. Dia ingin membakar sisa fondasi terakhir dari dunia lama.”

Navarro menyipitkan mata. “Kalau itu benar, maka bukan hanya mafia yang akan mati. Politisi, pebisnis, bahkan mantan tentara bayaran—semua yang pernah jadi bagian dari sistem bawah tanah dunia akan dibersihkan.”

Alvaro mencondongkan tubuh. “Dan kau tahu bagaimana cara menghentikannya.”

Navarro tertawa pelan. “Kau pikir tombol merah itu benar-benar ada? Exodus bukan sistem digital. Itu jaringan manusia dengan ingatan. Kau tak bisa matikan pikiran. Tapi… kau bisa bunuh pengendalinya.”

---

Rencana Dimulai

Beberapa jam kemudian, di dalam ruang bawah tanah kecil, Navarro membuka kotak logam hitamnya dan menunjukkan peta kuno dengan tinta merah.

“Markas Exodus terakhir berada di bawah gurun pasir Libya, tapi mereka punya jaringan kontrol di Hong Kong. Jika kita lumpuhkan salah satu menara relay mereka, kita bisa matikan sistem pelacakan otomatis dan komunikasi antar agen.”

Ilya menunjuk bagian timur peta. “Ini? Distrik Tai Po?”

Navarro mengangguk. “Markas penyiaran data. Terlindung oleh pengacara, pejabat, dan pasukan upahan. Tapi mereka tidak akan menyangka seorang DeCastro dan seorang pengkhianat Exodus akan datang langsung.”

Stefano mencibir. “Kau yakin tempat ini bukan jebakan?”

Navarro menatap tajam. “Aku bisa merasakan perang. Dan ini baunya sangat familiar.”

Alvaro berdiri. “Kalau kita akan mati… setidaknya bukan di tanah yang kita kenal. Kita akan mati melawan mereka yang mengira dunia ini milik mereka.”

Navarro menyodorkan satu pelat baja kecil—semacam lencana. “Ambil ini. Ini ID lama Exodus-ku. Gunakan saat kita sampai di Hong Kong, dan mereka akan mengira aku kembali.”

Alvaro menatap benda itu, lalu menggenggamnya erat.

---

Palermo – Malam Sebelum Keberangkatan

Di markas, Leona duduk sendiri di balkon tingkat dua, memandangi kota yang mulai sepi. Ilya datang membawakan dua gelas anggur merah.

“Kau tidak ikut?” tanya Leona.

Ilya menggeleng. “Aku akan menjaga sisanya dari sini. Tapi aku percaya padamu… meski kau masih punya darah Valezka.”

Leona tersenyum pahit. “Kadang aku sendiri ingin menghapusnya.”

Ilya duduk di sampingnya.

“Kalau kau mati, Alvaro tak akan memaafkan dunia.”

Leona menatap langit.

“Kalau aku mati… biarkan dia tahu aku mencintainya bukan sebagai musuh. Tapi sebagai luka yang tak pernah sembuh.”

Pagi harinya, tim kecil yang terdiri dari Alvaro, Leona, Stefano, dan Navarro Reyes berkumpul di landasan pribadi di selatan Manila. Pesawat jet hitam tanpa logo resmi sudah disiapkan. Pesawat itu milik seorang kontak lama Navarro—mantan pembuat senjata yang kini menjadi penyedia jalur kabur dunia bawah.

“Penerbangan langsung ke Hong Kong, tapi kita tak bisa mendarat di bandara sipil,” jelas Navarro. “Kita akan turun di dermaga industri Yau Ma Tei. Di sana ada mobil tunggu dan identitas palsu.”

Leona mengenakan setelan hitam, rambutnya dikuncir kuda. Ia tampak seperti seorang diplomat yang siap menghadiri pertemuan rahasia. Tapi di balik mantel panjangnya, ada dua senjata api otomatis mini dan satu pisau lipat beracun.

“Setelah kita masuk wilayah kota, semua harus sunyi. Exodus bisa deteksi suara kita bahkan lewat intersepsi sinyal ponsel,” jelasnya.

Alvaro menatap timnya. “Kalau ini jadi misi terakhir kita, aku ingin kalian tahu...”

Stefano memotong cepat, “Bahwa kita ini bajingan keras kepala yang akan tetap bertarung meski tak dibayar?”

Mereka tertawa singkat. Bahkan Navarro menyeringai sedikit.

“Bukan,” jawab Alvaro, “Tapi aku bersumpah pada nama DeCastro… kita akan kubur monster itu. Bukan untuk kehormatan. Tapi untuk mereka yang tak bisa membalas.”

Pesawat mulai melaju. Getaran mesin mengguncang kabin.

Leona menatap Alvaro sekali lagi, lalu membisik pelan, “Jika kita selamat, izinkan aku menciummu... tanpa peluru menunggu setelahnya.”

Alvaro hanya menunduk, senyum tipis terukir. “Kalau kita selamat, kau bisa lakukan lebih dari itu.”

---

Hong Kong – Dua Hari Kemudian

Malam menyelimuti distrik Tai Po saat tim DeCastro-Reyes mendarat diam-diam di dermaga. Kota ini lebih terang daripada langitnya. Neon dan sorotan billboard menyilaukan mata, tapi di bawahnya… dunia gelap Exodus bersembunyi.

Navarro memimpin langkah ke lorong sempit menuju klub malam eksklusif bernama Phantom Pulse—penyamaran dari menara relay Exodus yang mereka cari.

“Jangan anggap ini tempat hiburan. Di lantai empat bawah tanahnya, ada server yang menjalankan distribusi kode Exodus,” jelas Navarro sambil memberi satu ear-piece pada Alvaro dan Leona.

Mereka menyamar sebagai pasangan pebisnis, masuk melalui lift VIP dengan kode akses yang diberikan oleh mantan informan Navarro. Musik berdentum, asap tipis memenuhi ruangan, tapi mata Alvaro hanya terpaku pada setiap sudut yang mungkin menyembunyikan musuh.

Setibanya di lantai B4, pintu lift terbuka ke lorong beton dingin dan sepi.

“Aku hafal letaknya. Server utama ada di ruang besi belakang tangga utama,” ujar Navarro.

Namun langkah mereka terhenti saat suara dari speaker langit-langit menyapa:

> “Selamat datang kembali, Reyes. Kau akhirnya membawa hadiah ke kuburanmu sendiri.”

Alvaro langsung mencabut pistol. Leona juga. Suara itu tidak asing. Tapi bukan Moretti, bukan juga Domenico Valezka.

“Itu dia,” bisik Navarro. “Orang yang kini memimpin Exodus.”

Pintu di depan mereka terbuka otomatis.

Di dalamnya berdiri seorang pria tinggi, mengenakan jas putih bersih dengan sarung tangan hitam, seolah dokter dalam dunia pembantaian.

“Aku… Dr. Malrick,” katanya sambil tersenyum tenang. “Dan kalian datang di malam yang salah.”

---

Pertempuran Ruang Server

Tanpa aba-aba, alarm dibunyikan. Cahaya merah menyapu ruangan. Dari dinding, puluhan drone kecil keluar—dilengkapi peluru otomatis.

“Bersembunyi!” teriak Navarro.

Mereka menyebar di balik panel-panel server.

Leona melempar alat pengacau sinyal, menciptakan celah dua detik. Alvaro memanfaatkan itu, menembak dua drone tepat di kamera mata mereka.

Navarro sendiri mengaktifkan sidik jari ke pintu server dan mulai mengakses sistem.

“Berapa lama?” tanya Alvaro.

“Dua menit… jika aku tidak mati duluan!”

Tembakan terus berdentum. Darah mulai mengotori panel logam. Leona terkena goresan di bahu, tapi tetap menembak. Stefano dari atas lift meng-cover mereka dengan senapan jarak jauh.

Dr. Malrick masih berdiri di kejauhan, memantau lewat kamera pengawas, senyum tipisnya tak pernah pudar.

“Kalian pikir bisa membalikkan sistem yang kubangun dari darah? Dunia butuh disapu bersih. Dan kalian—sampah generasi lama—akan jadi korban pertama.”

Navarro akhirnya berteriak, “Selesai!”

Sistem mati. Semua drone terjatuh seperti lalat tanpa sayap.

Ruangan menjadi sunyi… untuk sesaat.

Namun dari lantai, satu lubang rahasia terbuka. Pasukan bersenjata hitam naik dengan senapan otomatis.

“Kita harus keluar!” teriak Leona.

Alvaro melempar granat asap, lalu menarik Navarro keluar, dibantu Stefano dan Leona. Mereka lari melalui lorong belakang, naik ke lift darurat yang hanya bisa dibuka dengan ID Exodus—yang masih dikantongi Navarro.

Sebelum pintu lift menutup, Alvaro menatap kamera pengawas. Lalu berkata pelan:

> “Permainan baru saja dimulai, Malrick.”

Di atas atap gedung Tai Po, helikopter rahasia menjemput mereka menuju jalur pelarian laut. Malam masih panjang. Dunia masih gelap. Tapi untuk pertama kalinya… Exodus menerima tamparan yang pantas.

Dan untuk pertama kalinya, Alvaro merasa… mereka bukan hanya bertahan.

Mereka menyerang balik.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel