Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Dipandang Sebelah Mata

***

"Ibu ... Ibu," panggilan Laila membuat aku terbangun. 

 

Napasku menjadi sedikit sesak, keringat muncul diseluruh tubuh. Jilbab dan gamis yang aku pakai menjadi ikut basah. 

 

Aku lega karena gamis dan jilbabku masih terpasang. Setelah merapikan diri, aku beranjak ke luar kamar. 

 

"Iya, Laila. Ada apa panggil ibu?" 

 

"Ibu, ketiduran? dari tadi nggak ada sahutan. Om mau pulang, Bu," ucap Laila memelukku. 

 

Aku menggangguk. Rian menatapku sejenak. Aku juga menatapnya. Aku masih memikirkan mimpi tadi, kenapa aku bisa bermimpi seperti itu? 

 

"Mbak, sakit?" tanya Rian kemudian. 

 

"Nggak, Rian."

 

"Mbak harus istirahat. Ya, sudah saya pulang dulu ya," ucap Rian bersiap untuk pulang. 

 

Kutemani dia sampai pintu. Sebelum pamit Rian menatapku lalu tersenyum. Aku pun ikut tersenyum dan menatapnya. 

 

"Oh, iya. Mbak, potong utang seratus ribu ya."

 

"Maksud kamu?"

 

"Iya, setiap saya datang ke sini, potong  utang seratus. Begitu juga kalau yang lainnya," ucapnya tertawa. Dia senang sekali membuatku bingung. 

 

"Terserah kamu saja, deh."

 

"Aku pamit ya, Mbak. Jaga kesehatannya."

 

"Iya, hati-hati."

 

Rian segera membalikkan tubuhnya. Aku masih betah menatap kepergiannya. Belum sampai di pagar kayu, dia berbalik lagi. 

 

"Loh, kok balik lagi?"

 

"Sepertinya ada yang tinggal, Mbak."

 

"Oh, iya, pasti koper. Sebentar," ucapku hendak mengambilkan.

 

"Mbak, bukan. Koper biar saja di sini dulu. Untuk bawa baju kalau udah kelar dicuci," ucap Rian membuat langkahku tertahan. 

 

"Terus apa, dong."

 

"Hatiku yang tertinggal, Mbak." Rian terkekeh. Rambut ikalnya itu dia mainkan dengan jemari tangannya. 

 

Brondong ini bikin aku salah tingkah lagi. 

 

"Ditaruh di mana tadi?" Aku mulai melayani gurauannya. 

 

"Loh, 'kan sudah aku berikan ke, Mbak."

 

"Kamu ini, pinter sekali ngegombal. Udah sana cepat pulang."

 

"Jadi ngusir nih."

 

Rian semakin menjadi-jadi candaannya. Aku memilih diam, berdiri sambil melipat tangan di dada. 

 

"Mbak, kalau boleh tau. Usianya berapa?"

 

"Siapa?"

 

"Mbaknya."

 

"Coba deh kamu tebak."

 

Rian terdiam sejenak. Seakan-akan wajahnya itu mengisyaratkan orang yang sedang berpikir keras. Aku semakin geli melihat tingkahnya itu. Ternyata dia laki-laki yang humoris. Pantas saja banyak bicara. 

 

"Kalau saya lihat dari wajah, Mbak. Kayaknya umur Mbak, dua puluh enam tahun. Tapi, kalau dilihat dari umur Laila nggak mungkin, 'kan?"

 

Aku tersenyum tak langsung menjawab pertanyaan Rian. Biarkan saja dia berpikir sendiri. Siapa suruh dia suka membuat aku bingung.

 

Mana mungkin usiaku dua puluh enam. Sekarang umurku hampir mencapai kepala tiga. Setahun lagi umurku genap tiga puluh. 

 

"Kemudaan dong kalau umur segitu," ucapku tersenyum. Kasihan juga dia kalau mikir lama-lama bisa cepat tua juga kayak aku nantinya. 

 

"Terus berapa?"

 

"Cari jawaban sendiri. Udah, pulang sana."

 

Reflek tanganku mendorong pelan tubuh Rian agar segera pulang. Kayak anak ayam tersesat saja. Apa nggak dicariin   ibunya ya, brondong ni.

 

"Iya, iya. Saya pulang. Seperti ada sengatan listrik," ucap Rian langsung berlari.

 

Aku tertawa di balik telapak tangan. Laki-laki itu sungguh membuat aku nyaman. Dia pemuda yang baik.

 

Semoga Allah membalas kebaikannya itu dengan sesuatu yang lebih baik. Tiba-tiba aku berpikir sejenak. Kenapa Rian berjalan, ya. Apa dia nggak bawa motor? 

 

Jangan-jangan itu bukan Rian? ilusiku saja? Tidak mungkin. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah. 

 

Rasa penasaran ini membuatku ingin langsung menanyakan kepada Laila. Akan tetapi, Laila sudah tidur. Mungkin dia sangat lelah. Mudah-mudahan dia sudah salat isya. 

 

Kuselimuti tubuh mungil Laila. Tidurnya begitu nyaman. Cuma wajah imut dan polos ini saja yang membuatku bertahan dan tak putus asa untuk terus berjuang. Walaupun, sebenarnya aku juga rapuh. Sanak keluarga? ada, tapi mereka sudah mengabaikanku karena menikah dengan Mas Judid. 

 

Aku masih ingat ketika mengabari keluarga di kampung sana. Tentang lamaran dari Mas Judid. Namun, tak ada yang menyetujui selain ayah saja.

 

Mengandalkan restu dari ayah aku menikah dengan Mas Judid. Ketika itu, ayah datang ke Jakarta. Mas Judid yang membiayai segala keperluan ayah.

 

Ternyata dia pandai bersandiwara, setelah menikah segala kebaikannya berubah jadi keburukan. Keluarga itu, keluarga yang aneh. Ibu mertua, kakak ipar juga seperti itu. 

 

Bisa jadi ini teguran dari Allah, bahwa ridho ibu itu menyertai ridho_Nya. Ibu sama sekali tidak menginginkan aku menikah dengan laki-laki Jakarta. Selain tidak tahu pasti sifatnya, juga jauh dari kampung.

 

Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti yang aku rasakan saat ini misalnya. Mereka terlalu ngelunjak karena keluargaku jauh di kampung sana. 

 

Dari awal niatku ke Jakarta cuma ingin melamar kerja, memang bukan untuk menikah. Namun, takdir membawaku menjadi istri laki-laki yang pelit dan buruk perangai. 

 

Aku hanya tamatan sekolah menengah atas. Lamaranku di toko kue diterima. Pemilik toko tidak mempermasalahkan walaupun aku berjilbab. Info dari teman yang sudah lama kerja di situ, kepercayaan pemilik toko bukan menganut agama Islam. Itu bukanlah menjadi penghalang untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi. 

 

Sekarang, aku menjadi sangat merindukan keluarga di kampung. Sejak aku menjual gawai, aku tidak pernah lagi menghubungi ayah. Bahkan mereka juga tidak tahu aku sudah berpisah dengan Mas Judid. Bagaimana mereka sekarang? Ibu? Abangku? Aku tidak tahu. 

 

Aku hanya bisa selalu berdoa, semoga mereka baik-baik saja. 

 

***

 

'Sepulu juta tiga ratus lima puluh ribu.'

 

Kucatat sisa utang itu di kulit buku yang sudah tak terpakai lagi. Aku simpan sebaik mungkin. Tadinya aku ingin mencatat di tembok kamar. Namun, tentu tidak mungkin.

 

"Laila, sudah siap, Nak?"

 

"Sudah, Ibu. Laila berangkat dulu," ucap Laila menghampiriku ke kamar. 

 

Dia sudah rapi menggunakan seragam TKnya. Meskipun bukan seragam baru, Laila tetap senang memakainya. 

 

"Hati-hati, ya, Sayang."

 

"Iya, Ibu."

 

Setelah mengantarkan Laila ke pintu, aku siap-siap duduk di luar. Menunggu penjual sayur keliling. Siapa tahu jam segini masih ada yang lewat. 

 

***

Beberapa saat berlalu, muncul juga tukang sayur keliling. Aku beranjak untuk menghampiri. Di sana sudah berkumpul beberapa ibu yang rumahnya tidak jauh dari kontrakanku. 

 

"Sudah sehat, Rahma?" tanya ibu kontrakan yang kebetulan ada di situ juga. 

 

"Alhamdulillah sudah, Bu," ucapku sambil melihat apa yang akan aku masak. 

 

"Syukurlah. Siang nanti ke tempat ibu, ya. Jemput cucian, sekalian ibu mau ngasih ikan goreng untuk Laila," ucap Ibu kontrakan. 

 

Aku mengangguk. Salah satu ibu yang belanja adalah Bu Tanti. Sedari tadi aku masih memperhatikan sikapnya. Dia melihatku dengan tatapan tak suka. Mungkin dia iri melihatku yang lebih cantik dari dirinya. Anggap saja begitu. 

 

Lirikan matanya itu seperti sedang memendam unek-unek yang ingin disampaikan. 

 

"Ibu Tanti, mau nitip cucian juga tidak kepada saya," ucapku menyapanya sekadar basa-basi. 

 

"Ehmm, nggak usahlah, ya. Mending juga ke laundry," jawabnya dengan mata yang diputar malas. 

 

"Di saya lebih murah loh, Bu. Selain murah, ibu tak perlu repot antar dan jemput," ucapku kini mulai promosi. 

 

"Maksa banget sih kamu!" 

Bu Tanti kini menatap sinis. Aku memilih diam, takut kena semprot. Setelah aku diam dia justru mulai ngomel tak jelas. 

 

"Laundry jauh lebih baik. Wangi, rapi, dan nggak mahal banget, kok. Lebih baik ngelaundry, dong."

 

"Eh, Tanti. Kamu belum pernah nitip cucian kok sudah pintar membandingkan begitu," bela ibu kontrakan. 

 

"Nitip cucian ke janda mah bisa bikin pamali," ucapnya tak mau kalah. 

 

Aku memilih diam saja. Abang tukang sayur pun hanya diam. Orang yang tinggal di gang sini sudah tau kalau mulut Bu Tanti memang pedas, seperti lada. 

 

"Asal mangap ya, mulut kamu tu," ucap Ibu kontrakan mulai emosi. 

 

"Bukan asal mangap, kemarin saja saya lihat laki-laki ganteng datang ke rumahnya. Dari siang sampe malam baru pulang. Pikir aja deh, kalau janda masukin laki-laki ke rumahnya itu ngapain? Pasti jual diri," tuduhnya tanpa berpikir dua kali. 

 

Ibu-ibu yang lain hanya saling pandang. Mungkin sedang mencerna benar atau tidak ucapan Bu Tanti. 

 

"Maaf, Ibu ini kenapa, ya? Ada dendam apa sama saya? Terus itu anak ibu yang hobi ngelakor udah dijinakkan belum? Jangan suka tajassus, Bu. Urus keluarga Ibu saja," ucapku dengan nada yang pelan. Namun penuh penekanan. 

 

Ibu Tanti langsung terdiam. Dia membayar belanjaannya dan langsung pergi begitu saja. 

 

"Mbak Rahma tidak usah masukin hati tuduhan Tanti itu. Dia memang udah terkenal suka fitnah dan ngegosip. Saya tau kok, laki-laki yang kemarin datang ke rumah, Mbak. Saya yakin Mbak nggak mungkin sembarangan dalam bertindak. Sabar ya, Mbak."

 

Tetanggaku ikut membela. Memang rumahnya tidak jauh dari kontrakanku. 

 

Aku mengangguk. Tersenyum kepadanya. Aku pikir mereka akan langsung memakan mentah-mentah tuduhan ibu Tanti. Akan tetapi, tidak. Syukurlah. 

 

Setelah selesai berbelanja aku memasuki rumah dengan hati lega. Sambil masak aku mau sekalian nyuci baju yang ada di koper Rian. 

 

Ketika aku membuka kopernya. Mataku membulat sempurna melihat apa yang ada di dalamnya. 

 

'Ya ampun.'

 

Bersambung ....

 

 

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel