8. Gombal
*****
"Suara yang sangat merdu," puji Rian setelah aku menyelesaikan bacaan Quran.
"Tidak, juga." Kuletakkan Quran ke rak plastik di sudut ruangan.
"Boleh dong diajari," ucap Rian menatapku. Duh, tatapannya itu sangat lembut. Bahkan mantan suamiku tidak pernah menatap selembut itu.
"Memangnya mau?"
Rian tidak menjawab, dia tersenyum saja. Lalu sengaja menghindar dari pertanyaanku.
"Om, tidur di sini saja, ya," ucap Laila dengan nada yang manja.
Ya ampun, bocahku ini ada-ada saja permintaannya.
"Om Rian, tidak bisa tidur di sini, Sayang."
"Bisa aja, kok." Rian mulai lagi. Brondong ini suka sekali menggoda ibu-ibu sepertiku.
"Om, serius?" Mata Laila berbinar. Putri kecilku itu ternyata berharap terlalu besar.
"Ya, tentu, Sayang. Asalkan, ibu Laila mau jadi pacar, Om."
Laki-laki berambut ikal itu membuat aku jadi salah tingkah.
"Udah, ya, Sayang. Laila belajar dulu, ya. Ibu mau bicara dengan Om," ucapku menyudahi percakapan Laila dengan Rian.
Magrib sudah berlalu, aku putuskan untuk kembali membuka pintu. Tidak enak jika dilihat tetangga bisa menjadi fitnah nantinya.
Aku melangkah keluar, menghirup angin malam yang sejuk ini. Langit biru cerah, dipenuhi bintang-bintang. Kutatap langit yang begitu indah, membuat jiwa terasa nyaman.
"Indah, ya, Mbak. Seperti wanita yang ada di samping," ucap Rian mulai menggombal.
"Nggak mempan loh, Rian. Oh, ya, ngomong-ngomong kamu nggak pulang? betah sekali," ucapku menghindari kata-kata gombalnya.
"Tentu saja betah, Mbak. Ada bidadari di sini," ucap Rian menatap diriku.
Brondong ini entah kesambat di mana. Bisa-bisanya dia menggombal kepada ibu-ibu beranak satu. Seakan tidak ada lagi para gadis di luar sana.
"Terkadang hidup itu unik ya, Mbak. Sesuatu yang buruk menurut orang lain, belum tentu buruk menurut seseorang."
"Maksud kamu?"
Aku menjauh dari Rian. Tidak enak dilihat tetangga jika berdiri terlalu dekat.
"Maaf, sebelumnya. Seperti Mbak, misalnya."
Alis kumainkan, bingung apa sebenarnya yang ingin disampaikan Rian.
"Bagi laki-laki yang pernah memiliki, Mbak. Begitu gampang untuk berpisah dengan, Mbak. Aku tahu, laki-laki yang sempat aku lihat itu adalah mantan suami, Mbak. Aku merasa dia terlalu bodoh untuk membuang berlian."
Aku hampir tersedak mendengar kata terakhir yang Rian ucapkan. Berlian? apakah aku pantas diumpamakan dengan berlian? Bahkan aku tak mampu melahirkan secara normal.
"Kamu mengenal saya baru beberapa hari, Rian. Saya rasa terlalu terburu-buru untuk memberi penilaian."
Rian menunduk. Membuang tatapannya ke lantai. Aku berharap dia bisa menemukan perempuan yang bisa mendampinginya kelak. Siapa pun itu, semoga mereka bahagia.
Tidak seperti kisah cintaku yang sudah kandas. Untuk memulai yang baru rasanya aku belum siap.
"Memang, Mbak. Namun, saya bisa melihat bagaimana didikan yang Laila dapatkan. Dia anak yang manis, pandai dan penurut."
"Saya masih sering salah dalam mendidiknya, Rian. Jangan terlalu memuji seperti itu."
"Iya, deh, Mbak. Mbak terlalu menutup diri. Jangan begitu, Mbak."
Aku memilih untuk diam. Kembali menatap langit yang mulai berubah warna menjadi biru pekat. Menandakan malam semakin larut.
"Mbak, saya tadi bawa koper, loh. Mbak nggak tanya isinya apa?"
"Nggak harus, 'kan?"
"Kalau isinya bom gimana?" ucap Rian mulai bergurau lagi.
"Paling meledak."
"Jangan dong, Mbak. Nggak bisa dong aku melamar, Mbak nantinya." Rian tertawa renyah. Kali ini gigi putihnya kelihatan olehku.
"Pintar ngegombal ya, kamu. Pasti sudah punya pacar ya," ucapku begitu saja.
Eh, kok aku jadi bertanya hal itu? itu adalah privasi Rian. Dasar ya, aku ini.
"Belum, Mbak. Belum ada."
Aku tidak percaya dengan jawaban Rian. Mana mungkin anak muda jaman sekarang tidak memiliki pasangan. Udah nggak jaman!
Masa aku gadis dulu saja, yang tidak punya pasangan selalu diledek. Bahkan aku terus menjadi ledekan teman-teman di tempat kerja.
Dulu, aku kerja di toko kue yang cukup besar di kota ini. Saat itulah aku bertemu ayah Laila. Ketika itu, aku merasa dia laki-laki yang baik. Sejak pertemuan itu, dia sering datang ke toko. Alasan membeli kue.
"Mbak," panggil Rian membuyarkan lamunanku.
"Iya, Rian."
"Mbak percaya nggak? saya belum punya pacar?"
"Terus?"
Rian tersenyum. Matanya menatap ke arahku. Aku berusaha menghindari tatapannya. Akan tetapi, dia justru menatapku terus. Rasanya aku ingin menimpuk bola matanya itu pakai sandal.
"Jika boleh saya meminta, apakah Mbak, tidak keberatan," ucap Rian masih menatapku. Kini dia melangkah ke arahku.
Dasar berondong. Dia mulai lagi menggodaku. Seakan dia senang jika wajahku menjadi tegang, dan jantungku berdebar-debar.
"Eh, kok malah maju?"
"Kalau maju mundur syantik, kayak Syahrini dong, Mbak," ucapnya menahan tawa.
"Nggak lucu, Rian. Kamu mau bicara apa sebenarnya?"
"He-he, tak ada. Saya cuman mau minta tolong Mbak, cuciin baju saya juga. Jadi, saya adalah pelanggan baru, Mbak. Tenang saja, saya bayar kok, Mbak. Lumayan itu sekoper," ucap Rian berlalu ke dalam.
Huft, aku menjadi lega dan senang. Ada pemasukan juga akhirnya.
Sudah beberapa jam berlalu. Rian masih betah mengajari Laila. Aku memilih untuk merebahkan tubuh di kamar. Biarlah mereka belajar sampai bosan dulu. Mataku lambat laun mulai memicing. Aku ingin tidur sejenak.
*****
"Ayo kita menikah, Mbak."
"Kamu serius?"
"Ya, tentu, Mbak."
Rian menggenggam tanganku erat. Kami berjalan diantara beberapa tamu yang berbaris.
Gedung tempat kami menikah sangat tinggi. Di sekitarnya ada beberapa lilin. Para tamu memakai baju yang indah. Para wanitanya memakai gaun yang sangat indah, begitu juga dengan para laki-laki memakai jas. Rian juga memakai jas hitam, aku sendiri memakai gaun indah.
Aku terkejut dengan gaun yang aku pakai. Gaun tanpa lengan melekat ketat di tubuhku. Pundakku tidak ditutupi kain sama sekali. Di leherku terpasang kalung yang sangat indah. Tampilanku begitu menakjubkan, layaknya seorang putri raja. Namun, aku merasa salah dengan tampilanku.
Dimana gamis dan jilbabku?
Bersambung ....
