10. Laila Hilang?
**
Banyak pertanyaan yang timbul di kepala. Kenapa Rian memberikan semua ini, setelah melihat isi koper yang dibawa Rian kemarin.
Satu set gamis yang masih dibungkus plastik. Warnanya sangat cerah, berbeda dengan gamis yang pernah aku beli. Di situ aku menemukan pesan singkat.
'Orang cantik itu, cobalah memakai warna yang agak terang. Biar nggak ketabrak lagi. (Emot tertawa)
Aku tersenyum membaca tulisan itu. Tulisan yang rapi dan indah. Di sana aku juga menemukan beberapa lukisan, sudah bisa aku tebak pasti itu karya tangannya Rian.
Selain itu, alat-alat untuk melukis, dan menggambar. Lalu beberapa kemeja dan juga itu, ya itu. Aku malu menyebutnya. Sempak alias celana dalam.
Dasar, Brondong.
Beberapa barang itu aku asingkan, lalu koper aku angkat dan menumpahkan isinya ke dalam mesin cuci. Sudah setahun aku menjadi buruh cuci, baru kali ini ada orang yang menitipkan celana dalamnya. Maksudnya apa coba? pikiran kotorku tiba-tiba muncul.
Lihat saja, akan aku todong dia dengan pertanyaan.
Selang berukuran dua meter segera aku pasangkan ke tempat penyaringan air mesin cuci. Colokannya kupasang dengan hati-hati. Terakhir aku isi dengan air.
Biar hemat tenaga, air dan waktu aku bergegas ke rumah ibu kontrakan dulu. Mengambil titipan kain kotornya.
Sampai di depan pintu ibu kontrakan, aku langsung mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamu'alaikum, Ibu. Ini Rahma mau jemput cucian."
"Wa'alaikumussalam, sebentar."
Tak lama kemudian ibu kontrakan sudah membuka pintu, di tangannya sudah ada box berisi ikan goreng. Aku bisa melihatnya karena boxnya warna putih.
"Sekalian cuciinnya, ya, Rahma."
"Baik, Bu. Terima kasih banyak untuk ikan gorengnya, Bu."
"Sama-sama, Rahma."
Aku segera pamit. Kepala ini mendongak melihat langit yang mulai mendung. Sepertinya akan turun hujan.
Aku bergegas kembali ke kontrakan. Memisahkan kain yang sekiranya tak bisa dicampurkan. Air kembali aku nyalakan. Dengan bantuan buku petunjuk penggunaan, akhirnya kain kotor itu berhasil aku putar di mesin cuci.
Sambil nyuci aku juga memasak sayur dan oseng tempe untuk makan nanti siang. Sepulang dari sekolah, Laila pasti lapar.
*****
Langit yang mendung kini mulai menitikkan hujan. Rintik-rintik kecil yang tadi jarang, kini berubah jadi hujan lebat disertai angin kencang.
Terpaksa kain yang sudah aku keringkan itu dijemur di depan teras saja. Diangin-anginkan, lambat laun juga akan kering. Kalau cuaca sudah membaik baru akan aku pindahkan ke samping kontrakan yang terkena matahari.
Pekerjaan rumah sudah selesai seluruhnya. Cuaca dingin, dan sejuk, kini mengundang kantuk. Aku putuskan untuk tidur sejenak sebelum waktu zuhur masuk. Tidur sebelum zuhur juga termasuk hal yang baik.
Kurebahkan tubuh ke kasur tipis. Mata ini masih terbuka, tiba-tiba aku teringat kepada Rian. Jam segini pasti dia sedang kerja. Entah kenapa, aku jadi berharap agar dia bisa datang setiap hari. Perasaan apa ini?
Aku bangkit untuk mencari cermin. Kata orang sebelum memutuskan sesuatu harus ngaca dulu. Kuletakkan cermin di atas meja. Penyangga cermin yang masih kukuh membuatku tak perlu memegangnya lagi.
Perlahan kubuka kerudung yang masih terpakai. Menariknya pelan, sekarang aku bisa melihat seluruh wajahku di cermin. Alis mata yang tebal, hampir bertaut, bola mata yang sedang, hidung yang sedang, mancung tidak, pesek juga tidak. Bibirku juga biasa saja.
Aku jadi sadar diri. Buang jauh-jauh perasaan yang tidak jelas ini. Selain kepercayaan kami yang berbeda, pasti masih banyak lagi yang berbeda.
Rian itu pemuda yang keren, ramah, baik, kaya dan pengertian. Istilahnya itu 'The best boy' sedangkan aku? Ergh, hanya janda beranak satu yang dicerai karena tak bisa melahirkan normal.
Tanganku segera meraba perut. Bekas sayatan operasi itu masih setia di sana. Apalagi ini, sangat tak enak bila dilihat.
Rian lebih pantas mendapatkan wanita yang cantik, seksi, dan bertitel. Aku hanya tamatan sekolah menengah atas. Tidak mungkin.
Huft, aku mendesah resah. Mungkin, lebih baik jika Rian tidak ke sini tiap hari. Terkadang rasa nyaman bisa membuat rasa cinta itu tumbuh. Aku takut semuanya terjadi.
Petir yang menggelegar membuatku menyudahi berkaca diri. Aku memilih untuk merebahkan tubuh kembali. Sebelum itu, rambutku yang panjang aku geraikan.
Udara dingin yang menyeruak, membuatku menarik selimut sampai ke dada. Begini lebih nyaman dan hangat. Akhirnya mata ini segera aku pejamkan.
***
"Laila, Sayang. Mulai sekarang panggil ibu, Bunda, ya," ucap Rian mendekati Laila.
"Tidak mau, Om. Ibu sudah berubah," ucap Laila mundur beberapa langkah. Dia menangis. Aku ingin mendekatinya, namun Rian menahanku.
"Biar aku saja yang membujuknya, Bunda."
Rian segera mendapati Laila. Namun Laila terus mengelak dari pelukan Rian.
"Ibu jahat! Ibu tak sayang Laila lagi. Ibu buruk!" maki Laila menatapku penuh emosi.
Aku menjadi terkejut mendengar Laila mengangkat suaranya sambil menghina. Apa yang salah dengan diriku? kuperiksa penampilanku, mulai dari bawah sampai ke kepala. Aku baru sadar, Laila benar. Pantas dia marah padaku karena gamis dan jilbabku sekarang entah di mana. Kostum yang aku pakai bahkan menampakkan aurat.
"Laila, dengarkan ibu dulu," ucapku mengejarnya. Namun dia terus menjauh sampai dia tak tampak lagi.
"Laila!"
Aku tersentak, napasku memburu tak beraturan. Cuaca dingin, namun keringat masih muncul di permukaan kulitku. Mimpi apa ini?
Aku segera berlindung kepada Allah dari tipu muslihat setan dan meludah tipis ke kiri tiga kali.
Tujuannya agar mimpi buruk ini tidak mendatangkan mudharat.
Aku melangkah ke luar. Melihat jam, ternyata sudah zuhur. Laila masih belum pulang juga. Setelah salat zuhur nanti, aku putuskan untuk melihat Laila ke TKnya.
***
Hujan yang masih lebat aku terobos begitu saja. Walaupun menggunakan payung, angin kencang tetap membuat curahan hujan mengenai pakaianku.
Aku melangkah dengan sangat hati-hati. Tidak ingin kaki yang sudah berangsur pulih ini kembali sakit.
Genangan air hujan di aspal membuat kaos kaki yang kukenakan menjadi basah. Tidak peduli lagi, dalam benakku hanya ingin menemukan Laila saat ini juga.
Akhirnya TK tempat Laila mencari ilmu sudah kelihatan. Aku mulai lega. Pasti Laila berteduh di dalam. Aku segera masuk ke dalam perkarangan. Menyisir dengan mata setiap ruangan yang ada.
Ruangan di TK ini tidak terlalu banyak. Jadi, tak membutuhkan waktu lama untuk mengeceknya. Di mana Laila?
Satu per satu ruangan yang aku intip kosong. Tidak ada Laila di dalamnya.
Jantungku langsung berdetak kencang. Putri semata wayangku sekarang entah ke mana. Ibu mana yang tidak akan resah, jika tidak menemukan anaknya.
Aku berusaha bertanya ke penjaga warung di dekat sekolah.
"Maaf, Ibu. Apakah Ibu melihat anak TK yang terakhir pulang?"
"Tadi sih ada, Mbak. Dia sedang duduk di teras itu," ucap Ibu penjaga warung sambil menunjuk ke arah teras.
"Setelah itu, Ibu melihatnya tidak?" tanyaku, berharap ibu itu melihat ke mana Laila pergi.
"Tidak, Mbak. Cuma tadi saya mendengar ada motor yang masuk ke perkarangan TK. Motor besar gitu, apa ya, namanya. Pokoknya bunyi kanalpotnya besar gitu, Mbak."
"Terima kasih, ya, Bu."
Motor besar? Siapa yang jemput Laila? Jangan-jangan Laila diculik?
Aku menjadi panik. Tidak tau mau mencari Laila ke mana. Aku memilih untuk menyusuri jalan aspal. Terus ke depan sana. Berharap Laila bisa segera aku temukan. Mungkin dia main hujan. Karena memang aku ajari dia untuk mandi hujan pada saat hujan turun. Aku berusaha untuk berpikir positif.
Semoga kamu baik-baik saja, Nak.
*****
Aku mulai menggigil menahan dingin. Kakiku yang sakit kemarin mulai terasa ngilu. Warga gang sini aku kurang tahu. Jadi, rasanya sungkan untuk menumpang berteduh. Sejauh ini pencarianku tidak membuahkan hasil.
Aku memilih untuk berbalik ke belakang. Kembali ke kontrakan. Siapa tahu Laila sudah pulang ke kontrakan.
Gigiku gemertuk menahan dingin yang mulai menyerap ke lapisan kulit paling dasar. Dingin itu juga sudah mulai masuk ke daging dan tulangku.
Pembuluh darah seakan mulai membeku. Rasanya aku tak kuat lagi. Sangat pelan sekali aku barjalan.
Tanpa sadar, ternyata aku tadi sudah berjalan cukup jauh ke depan, sehingga butuh waktu yang agak lama untuk mencapai kontrakan.
Pakainku yang basah membuat dingin ini semakin menjadi-jadi. Ngilu, itu yang aku rasakan di sekujur kakiku yang tertabrak.
Aku terbatuk-batuk, rasa mual juga ikut menyerang. Sepertinya aku masuk angin. Perut juga terasa sakit, dan kepala mulai sakit. Tahanlah dulu, aku berharap tetap kuat sampai kontrakan.
Beberapa menit berlalu aku masih berjalan tertatih-tatih. Hujannya begitu awet. Membuat warga malas ke luar rumah, sehingga jalanan menjadi sepi. Hanya satu atau dua saja, motor yang lewat.
Aku lega karena kontrakan sudah terlihat. Kudorong pintu pagar kayu itu. Mencari kehadiran Laila yang mungkin sedang menungguku. Namun hasilnya nihil. Bahkan yang aku temukan adalah Rian. Dia berdiri di depan pintu seorang diri.
"Mbak Rahma," ucap Rian kaget melihat pakaianku basah.
Aku berusaha tersenyum padanya. Lemah terasa persendian tubuhku. Apalagi setelah tahu bahwa Laila tidak ada di kontrakan.
"Mbak, kenapa basah kuyup begini?" tanya Rian lagi. Namun pertanyaan itu tak bisa aku jawab. Aku tak kuat lagi menopang tubuhku.
"Rian, Laila," ucapku ambruk ke arahnya. Rian menangkap tubuhku yang basah. Pemandanganku menjadi gelap. Bahkan aku tak bisa melihat wajah Rian. Namun, samar-samar masih aku dengar Rian bersuara.
"Mbak, Mbak Rahma kenapa? Mbak bangun, Mbak."
Bersambung ....
