7. Kedatangan Rian
Aku tidak percaya dengan apa yang tertulis di kertas ini. Rian memintaku untuk mengganti seluruh uangnya selama ini. Dadaku terasa sesak, apa yang aku lakukan? Aku tidak punya uang sebanyak itu.
Sekali lagi, kucoba untuk membacanya dengan hati yang tenang.
From Rian
To: Mbak :
Mbak, yang terhormat. Mungkin, aku memang bukan siapa-siapa bagi, Mbak. Bahkan niat baikku, Mbak anggap sebagai sesuatu yang tak baik.
Gini saja, kembalikan saja uang yang sudah saya keluarkan selama ini. Biaya rumah sakit, mesin cuci, dan lain-lain. Jadi, Mbak sudah berhutang sama saya. Oleh karena itu, saya akan menagihnya setiap hari. Sekian, terima kasih.
***
Kutatap jumlah utang yang harus aku bayar. Mata ini jadi perih melihat nol yang berjejer beberapa digit. Entah berapa lama aku bisa melunasinya. Setahun, dua tahun, atau ... entahlah. Ya, Allah. Cobaan apalagi ini?
"Bu.” Panggilan Laila membuatku sadar, hampir saja aku menangis. Tidak, Laila jangan sampai tau ini.
"Iya, Nak. Kamu sudah selesai makannya?"
Aku keluar kamar. Surat dari Rian sudah aku simpan sebaik mungkin.
"Sudah, Bu."
"Alhamdulillah," ucapku berusaha tersenyum. Padahal saat ini aku sedang dalam kebingungan.
"Ibu, nggak makan?"
"Nanti, Nak."
Laila menarikku ke depan, dia memintaku untuk segera duduk. Kemudian dia tersenyum, dan ikut duduk di pangkuanku. Dia sangat manja akan tetapi, juga penurut.
"Ibu, seandainya, Laila bohong. Apakah Ibu, marah?"
"Hmmm, kenapa nanya seperti itu?"
"Ya, cuma nanya, Bu."
"Dari dulu sudah Ibu, bilang 'kan? berbohong itu dosa."
"Baiklah, Ibu. Oh, iya, terus apa yang om Rian berikan pada, Ibu?"
Duh, kenapa Laila harus menanyakan hal tadi? Apa yang harus aku jawab.
"Surat, Sayang."
"Surat cinta, ya, Bu?"
"Hus, tau dari mana anak ibu surat cinta-cintaan?"
"Asal bicara aja tadi, Bu. Benar, ya?"
Aku menggeleng. Pipinya langsung kucubit manja. Kadang-kadang bijaknya membuat aku mati kutu. Namun, semua itu harus aku syukuri.
"Bukan, Sayang. Itu hanya surat info penting saja, kok."
"Ibu. Kalau Laila sudah besar apa boleh minta ayah lagi?" tanya Laila kemudian. Pertanyaan itu membuatku tertegun.
"Laila, jangan bicara yang aneh-aneh, dong. Ya, sudah. Ibu mau ke luar sebentar, ya."
"Loh, kaki, Ibu masih sakit, 'kan?"
"Udah nggak lagi, kok."
"Baiklah, hati-hati, ya, Bu."
Aku mengangguk, sebelum keluar aku mencari jilbab dulu. Sebelum magrib aku mau datang ke rumah langgananku. Biasanya memang aku yang antar dan jemput cucian, maupun kain yang akan disetrika.
Belum jadi aku membuka pintu, seseorang sudah mengetuk pintu.
Tok! Tok!
"Siapa?"
Tak ada jawaban.
Pelan-pelan aku membuka pintu. Masih sore tak akan ada yang berani berbuat jahat.
"Kamu?" Mataku membulat ketika melihat Rian berdiri di depan pintu. Dia membawa koper ukuran 24 inch.
Mau ngapain dia?
*****
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Laila sangat senang ketika tahu bahwa Rian yang datang. Biarlah, dia datang hanya untuk mengajari anakku. Mengapa aku harus menolaknya?
Dari jarak yang agak jauh dapat aku lihat, Laila sangat bahagia diajari, Rian. Begitu juga sebaliknya. Rian tetap fokus mengajari Laila menggambar.
"Ibu," panggil Laila membuatku menjadi deg-degan.
"Iya, Sayang."
"Om Rian, sudah mengajari aku beberapa cara menggambar."
"Baguslah, Nak."
"Ya, sekarang aku mau mencobanya," ucap Laila tersenyum riang.
"Sekarang, coba Laila gambar apa saja yang ada di rumah ini," ucap Rian.
"Baiklah, Om."
Ketika Laila mulai menggambar, Rian justru berjalan ke tempat aku duduk. Aku jadi keringatan, mungkin karena belum mandi. Atau ....
"Mbak, saya mau bicara sesuatu," ucapnya menatapku sebentar. Mungkin dia mau menagih utangku.
Aku beranjak ke kamar. Terpaksa aku mengambil uang pemberian dari pak RT. Lima lembar uang ratusan itu kutatap dengan saksama. .
Sedih rasanya berpisah, bukan karena aku cinta harta. Akan tetapi, rencanaku menyimpan uang ini untuk keperluan mendadak jadi gugur. Sudahlah, membayar utang itu wajib, jadi harus didahulukan.
Selamat tinggal, uang. Kugenggam erat uang itu. Lalu aku kembali ke depan.
"Maaf, ya, Rian. Jadi, kamu mau bilang apa?"
"Gini loh, Mbak. Soal surat itu, saya mau jela ....”
"Iya, Rian. Saya paham, tidak perlu dijelaskan lagi. Ini saya bayar lima ratus ribu dulu," ucapku meletakkan uang itu di depan dia duduk.
Rian menatap uang itu. Mengambilnya dengan tangannya yang mulus itu. Bahkan, tangannya jauh lebih mulus dariku. Uang itu dia hitung, tentu tak butuh waktu lama untuk mengitung uang sebanyak itu.
"Uang ini tidak bisa saya terima, Mbak,” ucapnya menatapku. Mau atau tidak, aku pun juga menatapnya.
"Maksud, kamu?"
"Iya itu, saya tidak menerima pembayaran dengan uang. Tapi," Rian menggantung ucapannya.
"Tapi?"
Aku merasa deg-degan menunggu kelanjutan kalimatnya. Dia tersenyum penuh misteri. Ya, Allah. Apakah Rian juga laki-laki yang licik? Apakah dia akan meminta bayaran dari hal lain?
"Jawablah," ucapku mulai jengkel.
"Om, sudah selesai gambarnya," ucap Laila bersorak dari pojok ruangan.
"Baiklah, Om langsung periksa, ya."
Rian beranjak menghampiri Laila. Aku semakin jengkel dibuatnya. Menggantung kalimatnya membuatku jadi terus menduga-duga. Maksudnya apa?
Azan magrib mulai berkumandang. Aku mendekati Laila, mengajaknya untuk segera melaksanakan salat.
"Laila, ayo kita salat dulu," ucapku mengusap kepalanya yang ditutupi jilbab.
"Iya, Bu. Ayo! Om Rian juga ayo berwuduk dulu. Nanti, Om yang jadi imamnya," ucap Laila.
Rian tersenyum kilas. Mungkin dia mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kepada Laila.
"Laila, Om Rian itu tidak salat seperti kita," ucapku hati-hati.
"Kenapa, Bu? Om Rian berdarah?"
Duh, aku hampir tertawa mendengar pertanyaan Laila. Belum jadi aku menjelaskan Rian sudah langsung menjawab.
"Iya, Sayang. Om lagi berdarah."
Aku melotot mendengar jawabannya. Pembodohan terhakiki ini.
"Ibu, laki-laki bisa berdarah juga ya, pantatnya?"
Tuh kan, benar apa yang aku duga. Putri kecilku jadi bertanya yang aneh-aneh.
"Laila, bukan, Sayang. Hati Om yang berdarah," ucap Rian menatap ke arahku.
"Ibu duluan berwuduk ya," ucapku segera berlalu ke belakang. Walaupun pelan, setidaknya aku bisa beranjak dari mereka.
Tatapan Rian tadi, membuat hatiku berdenyut. Samar-samar masih dapat aku dengar Laila menanyakan bagaimana bisa hati Rian berdarah.
Ada-ada saja dia.
Memberi jawaban kepada anak-anak itu, harus pandai-pandai. Jika tidak, kita sendiri yang mendapatkan akibatnya. Rasain, susah sendiri 'kan.
Aku tersenyum geli.
Bersambung ....
