Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Rahasia Amplop

***

Laki-laki berkemeja hitam berpadu merah tersenyum lebar ketika pintu sudah terbuka lebar.

"Siang, Bu. Apakah ini, Ibu Rahma?"

Laki-laki itu melihat buku catatan yang ada di tangannya.

 

Ada apa ini, ya Allah. Bibir bawah kugigit pelan. Belum selesai masalah yang satu, sekarang ada lagi masalah baru.

 

"Benar, 'kan, Bu?" Laki-laki itu mengulangi pernyataannya.

 

"Maaf, Pak. Sebenarnya ada apa, ya?" Aku menjadi takut, dan khawatir tak jelas.

 

Laki-laki itu memainkan alisnya, mungkin dia bingung. "Ehem," seseorang berdehem dari samping kontrakan. Badanku langsung memutar ke arah sumber suara.

 

"Rian?"

 

"Benar sekali, Mbak."

 

Huft, aku merasa lega. Siapa tahu ada orang nggak jelas yang ingin ngeprank 'kan.

 

"Maaf, silakan masuk, Rian."

 

"Terima kasih, Mbak."

 

"Pak, gimana dengan mesin cucinya," ucap laki-laki tadi, sepertinya dia mulai bosan karena sudah menunggu lama.

 

"Tolong, dibawa masuk, ya, Pak."

 

"Rian, maaf. Saya, nggak merasa pesan mesin cuci," protesku.

 

"Memang bukan, Mbak yang pesan. Tapi ....”

 

"Jangan begitu, Rian. Tolong, bawa kembali mesin cucinya."

 

Aku benar-benar tak suka. Tidak ingin lagi, berhutang budi kepada laki-laki. Jangan sampai kisah masa lalu terulang kembali.

 

"Ibu, itu hadiah dari aku, Bu."

Tiba-tiba Laila ikut bicara. Mataku membulat sempurna. Sejak kapan Laila punya uang sebanyak itu?

 

"Kamu, serius, Nak?"

 

"Iya, Bu. Dapat hadian kemarin. Tadinya mau memberi tahu ke, Ibu. Tapi, Ibu malah kena musibah."

 

Bukannya tak terima, jika Laila dapat uang kenapa harus dibuang-buang untuk membeli mesin cuci. Pikirku sih, begitu.

 

"Tapi, Bu. Uang hadiahnya cuman tiga ratus. Selebihnya, Oom yang ngasih," ucap Laila cengengesan.

 

"Laila? Kamu bikin, ibu kecewa."

Tidak percaya, Laila melakukan ini. Anak enam tahunan sudah berani sejauh ini.

 

"Masuk ke dalam kamar, Laila."

Laila menundukkan kepalanya, segera masuk ke kamar.

 

Sebenarnya bukan kamar. Akan tetapi, ruangan yang kami jadikan kamar. Kontrakan ini hanya satu ruangan memanjang tanpa sekat.

 

"Mbak, jangan gitu kepada, Laila."

Rian ikut membela putriku. Apa hak dia? Aku lebih tahu apa yang terbaik untuknya.

 

"Rian, tolong. Kamu bawa kembali mesin cuci itu," ucapku menunjuk mesin cuci yang sudah ada di ambang pintu.

 

"Tenang dulu, Mbak. Jangan marah. Laila nggak salah, dan saya juga nggak berniat macam-macam."

 

"Saya tidak pernah meminta-minta. Jika itu saya lakukan, maka akan lebih tepat itu saya lakukan pada ayah anak saya. Kamu siapa? Kamu bukan siapa pun bagi kami," ucapku mulai meradang.

 

Rasa kecewa bercampur amarah sudah berbaur satu dengan yang lainnya.

 

Wajah Rian mulai berubah, mungkin dia tersinggung dengan ucapanku.

 

"Ibu, Oom nggak salah. Laila yang salah. Laila yang cerita kepada, Oom. Terus, Oom ngasih duit. Lalu, Laila terima. Kata, Ibu. Tidak boleh menolak rezeki. Uang itu Laila simpan, terus pas Oom mau jemput, Ibu. Laila minta tolong belikan, dan ngasih uang itu lagi."

Tiba-tiba Laila keluar kamar, dan menjelaskan panjang lebar.

 

"Kapan Ibu ngajarin kamu menjual kesedihan, Nak? kapan?"

Laila tak mampu menjawab. Dia langsung berlari ke kamar. Aku jadi serba salah.

 

"Sudahlah, Mbak. Tolong, diterima saja, Mbak. Anggap saja itu sebagai tanggung jawab saya, karena sudah menabrak, Mbak."

 

Aku diam saja. Menjual kesedihan, itu tidak ada dalam pikiranku. Jika masih bisa berusaha, kenapa harus meminta-minta.

 

Begitulah yang aku tanamkan prinsip dalam hidupku. Terlebih setelah aku menuai hasil dari memakan budi orang.

 

Rian mengangkat mesin cuci itu. Memposisikan menurut sepantasnya. Tidak lupa juga dia mengatur letak colokannya. Setelah beres dia kembali menemuiku yang duduk di lantai.

 

"Jika, Mbak marah. Saya minta maaf. Tapi, tolong jangan marah ke Laila, Mbak. Dia itu masih kecil. Saya janji tidak akan mengganggu, Mbak lagi. Saya permisi dulu."

 

Aku tak menjawab sepatah kata pun ucapan Rian. Sebelum pergi, dia menatapku beberapa saat.

 

"Saya permisi, Mbak."

 

Kutatap punggungnya yang semakin menjauh dan kemudian hilang begitu saja. Apakah aku salah?

 

Dia laki-laki yang baik. Karena itulah aku menjadi takut. Takut merasa nyaman dengan segala kebaikannya. Aku rasa, keputusanku sudah tepat. Untuk tidak terlalu akrab dengannya. Bisa jadi hari ini adalah pertemuan terakhir kami.

 

****

Laila meringkuk di kasur yang mulai menipis. Maklum saja, sudah setahun kasur itu menemani kami. Sampai saat ini masih setia.

 

Bukan pelit, nyari uang itu susah bagiku. Makanya tetap betah memakai barang yang ada. Sering, aku merasa kasihan kepada putriku. Tidur di kasur yang sudah tak layak pakai.

 

"Laila, bangun, Nak. Segera mandi, kamu mau ngaji, 'kan?"

 

Tangannku menyentuh tubuh Laila yang masih meringkuk. Mungkin dia marah padaku.

 

"Laila, marah? apa nggak sayang lagi? apa tega tak menghiraukan, Ibu? padahal kaki ibu masih sakit, ini."

 

Tubuh kecil itu langsung bangun. Laila langsung memelukku, dia menangis sesungguhan. Pelukan siapa lagi yang bisa menenangkannya selain pelukanku?

 

"Maafin, Ibu."

 

Laila menatapku. Matanya basah, benar, dia menangis sejak kejadian siang tadi.

 

"Mau 'kan maafin, Ibu?"

Putri kecilku mengangguk. Dia mulai tersenyum. Itu menandakan bahwa dia tidak marah lagi.

 

"Maafin, Laila, Bu. Laila sudah salah menceritakan kesusahan, Ibu, pada om Rian."

 

"Sudahlah, Nak. Nanti kamu terlambat."

 

Laila bangkit, segera beranjak. Beberapa saat kemudian aku mendengar air yang dinyalakan.

 

Sore itu Laila berangkat ngaji dengan semangat. Aku bersyukur, anakku termasuk anak yang pengertian dan kuat. Segala kesedihan tidak dia pendam lama-lama.

 

Laila pergi, aku beranjak untuk mengerjakan salat asar. Dua jam lagi anakku pasti pulang. Selesai salat aku akan langsung masak.

*****

Martabak mie, cabe goreng dan semangkuk nasi sudah tersaji di bawah tudung saji. Aku tersenyum lega. Pulang nanti Laila bisa langsung makan.

 

Uang pemberian dari Pak RT kusimpan dengan baik. Bisa digunakan jika ada kebutuhan yang mendadak.

 

"Assalamu'alaikum, Bu. Laila pulang."

 

Aku beranjak mendekati pintu.

 

"Wa'alaikumussalam," ucapku senang melihat putri kecilku sudah pulang.

 

"Makan, yuk!"

 

"Ibu sudah, masasud

 

"Sudah, Sayang."

 

"Hore ... eh tapi, Bu."

 

"Apa, Sayang? kamu kok cemberut," ucapku mengusap pipi Laila.

 

"Tadi, Om Rian nitip sesuatu," ucap Laila segera membuka tas punggungnya.

 

Apa lagi itu. Laila menyodorkan amplop putih yang tertutup rapat. Kusimpan dulu ke saku gamis. Setelah mengambilkan Laila makan, aku langsung masuk kamar untuk membukanya.

 

Mataku langsung membulat kaget setelah amplop itu berhasil dibuka. Isinya benar-benar membuatku syok. Ya Allah.

Bersambung ....

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel