5. Pak RT
****
"Kaki kamu kenapa? Hmm, itu pasti karma karena tidak becus jadi istri dan mantu dulunya," ucap Ibu mertua bicara asal tanpa berpikir kata-katanya sangat menyinggungku.
"Sebenarnya, Ibu dan Mas Judid mau ngapain kemari, dan tau dari mana saya tinggal di sini?" tanyaku setelah duduk di lantai beralaskan karpet pemberian ibu kontrakan.
"Pakek nanya, goblok banget kamu jadi orang. Sekarang itu sudah canggih, cuma bermodalkan nomor NIK-mu itu, kami bisa menemukan alamatmu yang baru. Satu lagi, kamu itu memang sudah cerai, tapi ingat surat-surat yang bersangkutan dengan hukum belum selesai."
"Terus, Ibu mau apa? Jika mau urus surat cerai ke pengadilan silakan suruh anak Ibu yang mengurus. Saya tidak ada uang," ucapku mulai tak suka.
"Nggak usah dikasih tau, kami juga udah tau, kok. Lihatlah ini! Tempat tinggalmu kecil seperti ini, pengap, panas, bikin saya nggak nyaman lama-lama di sini. Asal kamu tau saja, sebentar lagi Judid akan segera menikah dengan janda kaya beranak satu. Lihat ini, putri kecil yang cantik ini adalah calon cucu saya," ucap Ibu mertua berkobar-kobar seperti orang yang sedang kampanye.
"Saya tidak bertanya, Bu. Saya juga tidak mengundang, Ibu ke sini. Ibu saja yang datang, tanpa diundang, seperti jelangkung tersesat."
"Apa kamu bilang?!"
Ibu mertua melotot, dia marah tidak terima dengan kata-kataku. Wanita bertubuh gempal itu mendekat kepadaku.
Tangannya terangkat hendak menampar wajahku. Secepat mungkin kutangkis tangannya yang tak tau diri itu. Sudah aku duga dia akan melakukannya.
"Lepaskan tangan saya, Rahma!" hardik Ibu mertua. Dadanya naik turun menahan emosi dan sakit hati.
Aku tak menghiraukan perintah darinya. Sekarang aku benar-benar muak, kesempatan ini segera aku manfaatkan. Kucengkram pergelangan tangannya dengan sangat kuat, sekuat sakit hati yang terpendam selama enam tahun.
"Sakit! Judid tolong, Ibu," ucap Ibu mertua. Mas Judid hanya diam saja, mungkin dia masih ingin menonton ibunya yang sedang kugulat.
Tangan ibu mertua yang satu lagi hendak mencakar wajahku, segera kutangkap. Tidak sampai di situ, Ibu mertua masih melawan, dia mengangkat kakinya hendak menendang pinggangku. Dengan kekuatan yang tersisa segera kulepaskan tangannya sambil mendorongnya.
"Aaaaaa!" pekik Ibu mertua.
Tubuhnya terjungkal ke belakang. Pantatnya yang lebar itu terhentak dengan sempurna.
"Ibu, sudah, Bu," ucap Laila mulai panik. Segera Laila berlari keluar, entah kemana dia.
Ibu mertua melolong seperti anjing kena pukul. Tanganku gemetar, rasa takut itu langsung muncul. Kutatap kakiku yang belum sepenuhnya sembuh.
Mas Judid menatapku penuh amarah, tatapannya tajam ke arah kakiku. Sudah kuduga, kakiku pasti akan jadi sasaran pembalasannya.
Mas Judid mendudukkan ibunya yang mengaduh kesakitan. Tak menyiakan waktu aku segera berdiri dan kabur ke luar rumah dengan bersusah payah.
"Tunggu, Rahma! Kamu harus membayar perbuatan bejatmu, ini."
Mas Judid mengejarku, dengan langkahnya yang cepat, dia mendapatkan diriku di ambang pagar kayu.
"Hentikan!" teriak Pak RT, kakak dari ibu kontrakan.
Aku mengucap syukur sedalam-dalamnya. Kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada diriku.
Pak RT mendekat beserta ibu kontrakan, suaminya dan juga anakku, Laila. Mas Judid mundur beberapa langkah.
Laki-laki berkulit hitam manis itu langsung masuk ke kontrakan. Laila berlari ke arahku, dari matanya dapat aku lihat bahwa putri kecilku sangat ketakutan. Kupeluk tubuhnya dengan sangat erat.
"Bu Rahma, tidak apa-apa, 'kan? Mari kita masuk dulu, kita selesaikan pertengkaran ini," ucap Pak RT yang bijaksana.
Aku mengikuti kata Pak RT, aku yakin laki-laki berkumis tipis itu akan menyelesaikan permasalahan ini dengan sangat adil.
Perbincangan di dalam kontrakan berjalan dengan sangat baik. Ibu mertua tak mampu lagi berucap sadis seperti sebelumnya. Dia tak berkutik sedikitpun, begitu juga Mas Judid.
"Sebenarnya kalian ini siapa?" tanya Pak RT tegas.
"A ... anu, Pak. Saya mantan suaminya, dan ini ibu saya. Saya tak terima karena saya datang baik-baik ke sini. Ibu saya padahal bersikap ramah padanya, hendak memintanya menanda tangani surat perceraian kami," ucap Mas Judid memfitnahku.
"Ayah berbohong. Nenek sudah jahat ke Ibuku. Nenek yang duluan tidak sopan pada, Ibu."
Laila segera membelaku, tak sampai di situ, Laila juga menceritakan tindakan ibu mertua.
"Makanya Ibu melawan. Nenek dan ayah yang jahat," ucap Laila meyakinkan.
"Astaghfirullah, Pak. Bapak ini sebenarnya punya otak nggak sih? Udah salah masih saja membela diri," ucap Pak RT mulai gemas.
"Kenapa saya yang salah?"
"Tentu, pertama Bapak ini tamu, harusnya lapor dulu kepada saya. Ke dua, Bapak membiarkan Ibu anda menghina Bu Rahma bahkan ingin mencelakainya. Ke tiga, Bapak justru ikut-ikutan hendak mencelakai, Bu Rahma. Oleh sebab itu, Bapak kami denda. Wilayah yang saya pimpin ini mempunyai aturan tersendiri."
"Keluar uang lima ratus ribu, atau Bapak tidak akan boleh lagi masuk wilayah ini," ucap Pak RT lagi.
"I ... iya, Pak. Maafkan kami sudah melakukan kesalahan. Tapi, tolong minta Rahma memenuhi hajat kami."
Tanpa dikomando lagi, Mas Judid mengeluarkan uang lima ratus ribu. Berbaik hati, segera aku tanda tangani surat itu. Aku sudah tak ingin melihat wajah laki-laki dan wanita gila itu lagi. Setelah urusan selesai mereka segera angkat kaki.
"Sabar ya, Rahma. Besok-besok kalau mantan suamimu datang lagi, panggil ibu dulu," ucap Ibu kontrakan mengusap punggungku.
"Baiklah, saya permisi dulu, Bu Rahma. Uang itu ambil saja untuk keperluan, Ibu. Apalagi keadaan Ibu masih belum pulih.
Kuucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Pak RT, ibu kontrakan dan juga suaminya. Setelah mereka pergi, segera kututup pintu kontrakan dan tak lupa menguncinya.
Masih banyak orang baik di sekitarku. Aku merasa sangat beruntung dan tak sendirian. Tiba-tiba aku jadi ingat kepada Rian, bahkan aku belum bisa mengucapkan terima kasih padanya. Dia laki-laki yang baik sejauh ini.
Apakah aku masih bisa bertemu dengannya?
Tok! Tok!
"Selamat sore!"
Terdengar suara laki-laki di luar sana. Siapa lagi yang datang?
Bersambung....
