4. Mantan Suami
****
“Bacalah ayat-ayat Allah, pegang dengan tangan pada bagian tubuh yang sakit, biiznillah sakitmu akan menjadi lebih ringan.”
Ingat perkataan ustadz waktu aku masih ngaji dulu. Tangan ini langsung terulur pada lutut yang dibalut kain putih. Lisan mulai melafazkan ayat-ayat yang hapal saja. Berniat di dalam hati, semoga Allah meringankan sakit ini.
"Selamat malam, Mbak. Maaf, jika saya mengganggu," ucap Rian yang tiba-tiba muncul diambang pintu.
Aku tetap melanjutkan kegiatanku, Rian mengerti dengan hal itu. Dia duduk tak jauh dari tempat tidur, memperhatikan dengan seksama. Prilakunya itu membuatku gugup, cepat-cepat kuselesaikan bacaanku.
"Loh, Mbak. Kok berhenti?" tanya Rian tersenyum manis sekali.
"Udah selesai, kok. Mudah-mudahan Laila baik-baik saja kabarnya," ucapku mengalihkan pembicaraan.
"Laila baik, Mbak. Ketika saya ke rumah alamat yang Mbak berikan, Laila sudah ada di sana. Kata ibu kontrakan Laila menangis kemarin malam. Terpaksa pintu kontrakan dibuka paksa. Tapi sudah diperbaiki lagi kok, Mbak."
Rian menerangkan dengan sangat jelas dan santai. Aku berpikir apakah dia tidak kerja? Hampir setiap saat dia menjaga di rumah sakit.
"Alhamdulillah kalau begitu, Dik Rian. Dari kemarin saya hanya memikirkan Laila. Terima kasih ya, Dik."
"Duh, Mbak ini. Panggil nama saya saja, Mbak. Saya merasa balik ke bocah lagi kalau Mbak panggil begitu," protes Rian cengengesan.
"Baiklah. Jika boleh, saya ingin bertanya sesuatu."
"Silakan, Mbak. Tanya apa saja, nanti saya jawab. Nanya status kek, gmempe
Rian melepas senyumnya lagi. Wajahnya yang bersih tanpa jerawat itu menjadi semakin manis.
"Soal kejadian malam itu," ucapku tanpa menatap Rian.
"Malam itu motor saya mendadak macet remnya, Mbak. Lagi pula saya tidak terlalu melihat dengan jelas. Soalnya kostum yang Mbak pakai serba gelap. Jadi, ya gitu deh. Saya menyesal, Mbak."
"Maksudnya? Menyesal sudah menabrak saya?"
"Bukan, menyesal sudah service motor di bengkel pinggir jalan. Tapi bagus juga sih."
"Bagus?"
Laki-laki ini mulai bicara nggak jelas. Harusnya aku tidak bertanya padanya.
"Bagus, karena saya akhirnya bisa ketemu, Mbak. Kenal dengan Mbak, dan kenal dengan Laila. Gadis kecil yang manis, dan cerdas."
Aku membuang pandangan ke lantai keramik yang dingin ditiup angin ac yang nonstop hidup. Rasa cemas itu muncul begitu saja.
Aku takut termakan sikap manis laki-laki lagi. Dulu, mantan suamiku juga bersikap seperti laki-laki yang ada di ruangan ini.
Aku sampai dibenci keluarga sendiri karena memilih menikah dengan Mas Judid. Aku pikir dia bisa menjagaku, namun ternyata tidak. Alasan itu juga membuatku bertahan di kota yang keras ini. Aku malu kembali ke keluarga.
"Mbak," panggil Rian pelan.
"Iya," jawabku singkat.
"Aku ada sesuatu buat, Mbak."
"Tidak perlu repot-repot, Rian," tolakku halus. Jangan lagi termakan budi, seperti awal kisahku dimulai dengan Mas Judid.
"Eh, ini memang hak, Mbak, kok. Sebentar," ucap Rian beranjak, mengambil sesuatu dari dalam tas punggungnya.
Aku bertanya-tanya apa yang ingin dia berikan. Hakku? Bahkan aku baru kenal dengannya.
"Lihat deh, Mbak. Laila nitip ini pada, Mbak."
Kuterima gulungan kertas yang agak tebal dari Rian. Gulungan itu diikat pita pink yang cantik.
Ketika gulungan itu perlahan aku buka, rasa sesak di dada menyeruak begitu saja. Aku meneteskan air mata melihat apa yang tertulis di sana.
Laila terpilih mewakili TKnya menggambar untuk tingkat kecamatan. Gambar yang ada di sana cukup membuatku tertegun. Gadis sekecil itu sudah harus merasakan kepedihan hati ibunya.
'Bidadari patah sayap'
Kata-kata yang sangat dalam maknanya, seolah Laila sedang menggambarkan diriku.
"Laila sangat berbakat, Mbak. Lukisannya terlalu bagus untuk anak seumur itu. Pasti turunan dari ayahnya, ya, Mbak."
"Bukan, Rian. Sudahlah, tak perlu dibahas turunan dari siapa."
Ayahnya, ayahnya, kata itu membuat luka lamaku kembali berdarah.
"Lombanya dua minggu lagi, Mbak. Mudah-mudahan ketika dia lomba Mbak bisa menemaninya. Saya juga mau menemaninya. Saya juga bisa mengajarkan Laila, Mbak. Kebetulan saya kerja di bidang multi media. Saya juga punya akun youtube, Mbak. Mbak, bi ....”
"Maaf, Rian. Saya ngantuk, saya mau tidur dulu," ucapku terpaksa menghentikan ocehannya.
Ya Robb, laki-laki ini seperti burung beo saja. Tak berhenti bicara.
*****
Beberapa hari berlalu. Hari ini aku akan segera pulang. Kaki yang sakit lumayan sudah bisa digerakkan, akan tetapi belum bisa diinjakkan sepenuhnya.
Rian memilih izin kerja hari ini, aku tidak tau pasti kenapa dia segampang itu bolos. Mungkin dia kerja di perusahaan nenek moyangnya.
"Akhirnya, Mbak bisa pulang juga," ucapnya tersenyum. Kubalas senyumnya itu. Sejauh ini aku merasa dia adalah laki-laki yang sopan dan pandai menghargai wanita.
Kami berjalan menuju kasir, Rian membimbingku, agar tidak jatuh. Sebenarnya aku malu, tapi mau gimana lagi.
"Maaf, Bu. Saya mau menyelesaikan administrasi terakhir," ucap Rian.
Aku menjadi deg-degan berapa biaya yang sudah dihabiskan selama lima hari di rumah sakit ini. Dapat aku lihat Rian mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan, tidak tau berapa jumlahnya, karena wanita yang ada di depan kami hanya menunjukkan nota pembayaran.
Setelah membayar, Rian kembali membimbingku menuju lantai bawah. Tentu saja kami menggunakan lift.
"Mbak, sementara kalau Mbak belum bisa kerja, tak usah sungkan. Biar saya yang menafkahi dulu," ucap Rian sembari menunggu lift terbuka.
Tenggorokan ini terasa tersekat. Aku hampir gagal paham dengan kata-kata menafkahi yang dia ucapkan.
"Lagi pula, itu tanggung jawab saya," ucap Rian lagi.
Akhirnya kami sampai juga di depan parkiran. Sepertinya Rian menunggu seseorang yang akan menjemput kami.
Beberapa menit kemudian mobil Pajero putih berhenti di depan kami. Rian langsung membuka pintu mobil itu. Aku tak ingin mengetahui lebih, yang aku pikirkan adalah ingin segera bertemu Laila.
"Bisa nggak, Mbak?" tanya Rian, melihat aku kesusahan naik. Mobil ini agak tinggi membuatku susah bertopang sebelah kaki.
"Masa nggak peka, Lu. Gendong napa," celetuk laki-laki di belakang setir.
"Mas apa-apaan sih," balas Rian.
Dengan memaksakan diri akhirnya aku bisa naik juga, Rian membantu dengan membimbing tanganku. Kami segera meluncur ke luar pekarangan rumah sakit.
Sepanjang perjalanan aku menjadi kikuk. Ada rasa tak enak dan juga malu. Rian dan laki-laki yang sedang menyetir justru ngobrol tak henti-hentinya.
"Jangan lama-lama. Ntar basi loh."
"Mas ngomong apa sih?"
"Langsung merid dong, Ian."
"Eh iya, saya lupa, Mbak. Yang nyetir itu Kakak laki-laki saya nomor dua. Sebenarnya kami memang laki-laki semua sih," ucap Rian menjelaskan.
"Ini, Mbak Rahma, Mas. Yang Ian ceritakan tempo hari."
"Lu sengaja nabrak apa gimana, Ian. Mana tau modus baru, Lu, 'kan."
Mereka tertawa lepas. Aku hanya diam mendengarkan ocehan mereka.
****
Jalan menuju kontrakan tdak bisa dimasuki mobil, akhirnya kami terpaksa turun di depan gang. Rian tak segan untuk membimbing diriku. Beberapa pasang mata melihat kami dengan saksama. Ya, tetangga sekitar tau kalau aku janda beranak satu.
"Rian, kayaknya Mbak bisa jalan sendiri," ucapku canggung.
"Baiklah, Mbak. Saya paham, Mbak pasti nggak enak dilihat tetangga, 'kan?"
Aku mengangguk, Rian terpaksa melepas genggaman tangannya. Dia berjalan pelan di belakangku layaknya bodyguard.
Beberapa rumah lagi aku sampai di kontrakan. Rasanya sudah tidak sabar bertemu Laila. Ketika sampai di depan gerbang kayu kontrakan, aku melihat pintu kontrakan terbuka. Begitu juga ada beberapa pasang sendal di luar. Sendal yang dulu sering aku bersihkan jika sudah kotor.
"Mas Judid?" Aku terpekik tertahan. Melihat laki-laki itu muncul di ambang pintu, seolah menyambut kedatanganku.
Wajah laki-laki itu berubah ketika melihat ada Rian bersamaku. Tak lama kemudian muncul ibu mertuaku bersama anak kecil, kira-kira sepantaran usia Laila.
"Perempuan tak tahu malu!" ucap ibu mertua menatap sinis.
Deg! Jantungku berdetak tak karuan. Perasaanku menjadi gundah dan resah. Mau apa lagi mas Judid mencariku?
"Maaf, Mbak. Saya pulang dulu, lekas sembuh, ya," ucap Rian setelah memastikanku sampai di depan pintu. Rian juga tersenyum kepada mantan suami dan ibu mertuaku. Namun, mereka tetap jutek tak membalas keramahan Rian.
"Cepat masuk!" perintah ibu mertua.
Bersambung ....
