3. Identitas
****
"Ini, KTP saya, Mbak. Sebagai jaminan, jika saya macam-macam ke anak Mbak, laporkan saja ke polisi," ucap Rian terus terang, tangannya yang putih itu mengulurkan kartu Identitas dirinya.
Mata ini, tak bisa ditahan untuk melihat data-data laki-laki itu. Ternyata dia masih muda, empat tahun di bawah umurku.
Sebentar, aku menajamkan mata melihat kepercayaan yang dia anut. Ternyata Rian tak seiman denganku. Untuk apa aku pikirkan itu?
"Baiklah, saya akan memberikan alamat, tapi bukan alamat kontrakan saya," ucapku mengembalikan kartu identitasnya.
"Terserah, Mbak saja. Yang penting saya bisa memberi kabar kepada anak, Mbak atau tetangga."
Aku mengangguk. Mencari sesuatu, kertas atau pulpen untuk menulis alamat rumah ibu kontrakan. Sepertinya Rian paham tanpa aku beri tahu.
"Ketik di HP saya saja, Mbak."
Tanganku gemetar ketika menyambut benda pipih yang disodorkan Rian. Aku yakin benda ini sangat mahal.
Dulu, mantan suamiku bahkan menghantamku dengan sumpah serapahnya hanya karena aku tak sengaja menjatuhkan benda pipih miliknya. Tak bisa aku lupakan setiap luka yang dia goreskan.
Aku hati-hatu menerima benda itu. Jempol ini mencoba menekan tombol on of pada samping kiri. Di layar dapat aku lihat foto Rian yang sedang tersenyum. Fotonya terlihat sangat tampan. Apa-apaan pikiran ini?
"Maaf, bagaimana cara bukanya? Sepertinya dikunci."
"Maaf, Mbak. Sebentar," ucap Rian mengambil gawainya dari tanganku.
Tentu saja tangannya yang lembut itu tak sengaja menyentuh jemari tanganku. Hanya sedikit dan sekilas.
"Ini," ucap Rian mengembalikan benda itu padaku.
Walaupun tidak punya gawai sekarang ini. Aku masih ingat bagaimana memainkan benda mahal ini. Dulu aku pernah memilikinya, walaupun hanya yang murah. Namun, terpaksa dijual karena menambah biaya melahirkan.
"Sudah," ucapku pada Rian. Laki-laki itu tersenyum. Aku tidak berani menatap wajahnya lama-lama.
"Baiklah, Mbak. Nanti saya pulang dulu. Sekalian saya akan menemui anak, Mbak."
"Itu alamat ibu kontrakan. Nanti kamu titip pesan saja pada ibu kontrakan, sementara Laila saya titip di rumah beliau dulu."
"Laila, nama yang sangat indah. Pasti memiliki arti 'kan, Mbak?"
Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Rian. Maksudnya apa bicara seperti itu. Tidak nyambung dengan pembicaraan kami saat ini.
"Ya, tentu saja."
"Lail, malam, bukankah begitu, Mbak?"
Aku agak terkejut mendengar ucapan Rian. Dia bisa tahu sejauh itu. Lail artinya memang malam.
"Saya permisi dulu ya, Mbak. Kalau ada apa-apa Mbak bisa minta tolong kepada perawat."
Aku mengangguk. Laki-laki bertubuh tinggi itu pergi, tak lupa ia membawa tas punggungnya. Kutatap punggungnya sampai hilang. Namun aku tergugup ketika tiba-tiba Rian kembali lagi untuk menutup pintu.
****
Suasana di ruangan ini terasa sangat sepi. Sesepi hati ini semenjak menyandang status janda. Dulu, aku pernah mendengar kalimat sumbang orang, bahwa menjadi janda itu sulit.
Memang sulit. Salah-salah bicara pasti langsung dituding. Salah-salah langkah pasti langsung mencerca status janda itu.
Godaannya juga lebih besar, belum lagi pandangan orang yang sudah terlanjur negatif. Katanya ada janda yang rela menjual dirinya, baik itu lewat selingkuh dengan suami orang atau menjadi PSK. Padahal tidak semua janda seperti itu bukan?
Aku sendiri lebih memilih berjuang memeras keringat, dari pada harus menjual diri. Agama mana saja tentu melarang perbuatan itu.
Aku masih ingat cacian mbak Andin—kakak iparku. Ketika aku diusir oleh ibu mertua, dia menyumpahi bakal menjual kehormatan ini untuk menafkahi Laila. Rasanya sangat sakit, seperti jantung ini dihujam dengan belati tajam.
Aku hanya berdoa agar selalu diberi kekuatan dan kemudahan dalam mencari nafkah untuk anakku.
Tanpa terasa bulir bening menggenang di dalam mata ini. Aku tak boleh rapuh, walaupun kadang aku tak kuat. Namun, tetap terus berjuang demi Laila, tak ada lagi penyemangat hidupku selain gadis kecil yang imut itu.
Bagaimana keadaannya sekarang? Hatiku menjadi gundah, kepikiran terus pada Laila. Sudah seharian aku di rumah sakit, tanpa memberi kabar dan tau kabarnya. Semoga laki-laki itu tepat janji.
****
Kicauan burung petang ini sangat jelas terdengar. Dapat aku saksikan beberapa dari burung itu bergelayut di tiang listrik. Mungkin para burung itu tengah menyambut datangnya malam.
Aku mendesah resah melihat keadaan diri ini. Biasanya jam segini aku tengah sibuk menyetrikan baju-baju tetangga yang menitip cucian atau setrikaan. Selama setahun aku menggeluti pekerjaan itu, karena dengan begitu aku bisa tetap bersama anakku.
Jika mencari pekerjaan lain, mungkin bisa saja. Namun, tentu saja tidak akan dibolehkan membawa anak. Itulah yang membuatku memilih mengumpulkan uang empat ribu atau lima ribu per kilo dari pakaian yang aku kerjakan.
"Selamat petang, Bu. Minum obat dulu, ya."
Perawat muda masuk ke dalam ruangan ini. Dia tak lepas dari senyum yang manis itu.
"Maaf, Bu. Kalau boleh tau berapa lama saya dirawat di sini?"
"Sebenarnya kalau dipaksakan bisa saja pulang besok, Bu. Namun itu tadi, suami Ibu menginginkan Ibu tetap dirawat dulu sampai kaki Ibu bisa digerakkan. Suami Ibu penyayang sekali ya, bahkan dia meminta obat yang lebih bagus agar cepat sembuh."
Kata-kata perawat itu membuat jantungku berdetak kencang. Bukan karena ada siraman cinta, melainkan gugup memikirkan berapa biaya perawatanku.
"Cepat sembuh ya, Bu. Latihan untuk menggerakkan kaki Ibu. Tapi jangan dipaksa ya," ucap perawat itu berlalu.
Suami? Dia bukan suamiku. Ingin rasanya membantah perkataan perawat itu. Laki-laki itu hanyalah orang yang sudah menabrakku. Bicara tanpa bertanya sebelumya. Atau? Apakah Rian itu yang mengaku sebagai suamiku? Berani sekali dia.
Bersambung....
